Banyak Anak
Banyak Pejuang
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
KOMPAS,
10 Agustus 2012
Judul di atas mungkin membuat penasaran.
Penulis meminjam judul tersebut dari sebuah buku yang ditulis Soffa Ihsan: Banyak Anak Banyak Pejuang: Ledakan Penduduk
Feat Fundamentalisme Agama.
Menarik sekali kajian yang dipaparkan buku
tersebut. Kajiannya tentang masalah kependudukan yang dikaitkan dengan
kebangkitan fundamentalisme keagamaan. ”Dua isu besar” yang saat ini tengah
ramai menjadi kegelisahan mondial.
Tak terkecuali di negeri kita, dalam hal
kependudukan, terutama yang diperjuangkan oleh instansi terkait: BKKBN. Maka,
kita pun dibuat kaget belakangan ini banyak bermunculan iklan ”Dua Anak Cukup”,
yang diluncurkan oleh BKKBN.
Mengapa kaget? Selama ini rasanya negeri kita
”tenang-tenang saja” menyangkut masalah kependudukan. Paling-paling yang santer
diberitakan soal penggusuran, kesejahteraan keluarga, atau kemiskinan warga
kota. Mungkin saja lantaran kita lebih ”terlena” oleh arus besar dunia politik
yang setiap hari rasanya menghilirmudiki benak masyarakat.
Soal ekonomi, seperti krisis pangan, krisis
energi, krisis air bersih, atau malah gemerlap dunia selebritas juga
menghirukpikuki jagat keindonesiaan kita. Akibat susulannya, kita jadi ”alpa”
terhadap realitas yang ”mengendap- endap” dan tiba-tiba membuat banyak orang
jadi ”siuman”. Ternyata negeri kita sedang mengalami ”obesitas” di ranah
kependudukan, yang lambat laun bisa menjelma jadi ”ledakan”.
Sementara, di sebelah fakta lain, ada
”gerakan” yang melaju tak kalah pesatnya. ”Gerakan” itu datang dari kelompok
puritanisme dan fundamentalisme agama. Mereka punya ”faham” tersendiri dalam
menafsir keislamannya terkait dengan masalah kependudukan. Ditambah lagi
maraknya klub-klub poligami yang dirayakan dengan gagah dan menterengnya.
Tak pelak, kampanye ”dua anak cukup” menuai
resistensi yang tandas dan garang via kesadaran keagamaan untuk beranak pinak.
Gerakan-gerakan keagamaan bersorak menciptakan ”subkultur” secara berdikari
dengan mengkhotbahkan pentingnya memperbanyak anak. Lahirlah semangat jihad
”banyak anak banyak pejuang”.
Inilah yang sepertinya pantas disebut ”dua
ledakan” yang sedang mengintai negeri kita. Fakta ini menarik untuk dicermati
dan diwaspadai. Sebab, tidak mustahil mampu menimbulkan masalah besar bagi
negeri kita.
Kita boleh simak sepanjang ini para pembuat
kebijakan agaknya masih menempatkan politik dan ekonomi sebagai ”panglima”
pembangunan. Padahal, aspek kependudukan semestinya menjadi pijakan dasar
pembangunan. Artinya, pembangunan mesti berwawasan kependudukan dengan
menyaturagakan berbagai variabel kependudukan dalam perencanaan pembangunan.
Dalam berbagai penelitian dinyatakan bahwa
tantangan Indonesia saat ini dan mendatang adalah adanya struktur penduduk yang
kini didominasi usia produktif (15-64 tahun). Begitu pun persebaran penduduk
yang berbeda antardaerah, tentunya juga akan berdampak pada high cost
pembangunan daerah.
Barangkali masih menghunjam dalam cara
berpikir kita bahwa Indonesia masih luas wilayahnya. Dan daya tampung
lingkungan juga masih sangat memadai. Alhasil, lonjakan penduduk pun tak perlu
dikhawatirkan.
Namun, faktanya, kepadatan penduduk Indonesia
per kilometer persegi justru jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepadatan
penduduk dunia. Kondisi laju penduduk Indonesia yang melesak ini menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia
setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Keprihatinan akan pertambahan jumlah penduduk
yang tak terkendali muncul karena kondisi tersebut dipastikan dapat menjadi
beban bagi pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah tentu
keadaan yang kurang menguntungkan bagi agenda penanggulangan kemiskinan.
Dampak ledakan penduduk tak hanya akan
dirasakan di perkotaan, juga di pedesaan, dan akan jadi persoalan yang sangat
kompleks. Bertambahnya jumlah penduduk akan berbanding lurus pula dengan
bertambahnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi penduduk, seperti pangan, tempat
tinggal, air bersih, listrik, kesehatan, dan pendidikan. Kondisi penduduk yang
tidak berkualitas, yang serba kekurangan dan miskin, akan menjadi bumerang bagi
pemerintah dan masyarakat.
Bila hal itu tak segera diantisipasi, tentu
saja kemiskinan akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Indikatornya semakin
terlihat jelas dengan meningkatnya angka kejahatan, pelacuran, pekerja anak,
termasuk anak jalanan, serta rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan. Tidak
hanya itu, kesenjangan sosial akan kian kentara dan berujung pada muncul
kecemburuan sosial yang dapat berujung konflik.
Masih rendahnya kualitas penduduk Indonesia
yang tecermin dari rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
(peringkat ke-124 dari 187 negara) tak lepas dari lemahnya pembangunan
kependudukan, terutama keluarga berencana (KB). Program KB selama Orde
Reformasi tak lagi jadi prioritas. Berbeda dengan zaman Orde Baru di mana KB
berjalan sukses.
Membahas soal pengendalian jumlah penduduk
rasanya akan mengulang kembali perdebatan soal KB. Dulu, sewaktu KB
diluncurkan, sebagian kalangan Muslim banyak yang menentang karena dianggap
menyelisihi ajaran Islam. Di samping itu, karena adanya represi politik rezim
Orba, kalangan Muslim kala itu juga ditempel oleh syak wasangka. Bahwa, program
KB merupakan bentuk pengebirian umat Islam dan bisa dijadikan oleh kalangan
agama lain untuk berlomba memperbanyak anak demi meningkatkan jumlah pemeluk
agamanya.
Namun, akhirnya KB menuai keberhasilan karena
didukung oleh ormas-ormas Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Ormas
Islam ini kemudian bersigap turut mengampanyekan program-program KB. Saat itu,
tokoh NU, KH Bisri Syansuri, dengan merujuk pendapat Imam al-Ghazali,
menandaskan kebolehan KB walaupun dengan niat supaya istrinya awet muda. Dalam
soal vasektomi dan tubektomi pun sekarang sudah ditetapkan keabsahannya
mengingat ada metode rekanalisasi.
Kini KB menjadi tersendat. Lepas dari
kebijakan yang lalai, cobalah kita tatapi kemunculan komunitas-komunitas
keagamaan yang cenderung puritan. Tak hanya tampilan identitas keislamannya
yang mencolok, tetapi juga pandangi jumlah anak mereka. Kita bisa jadi kaget
karena banyak di antara mereka yang banyak sekali anaknya. Para petinggi
keagamaan dan partai pun memperlihatkan jumlah anak yang mengagetkan. Mengapa?
Fakta banyaknya anak mereka tak lepas dari landasan doktrin yang keukeuh
meyakinkan mereka untuk berpinak banyak. Jadi, bolehlah dinyatakan: ini bukan
semata bersifat ”biologis”, tetapi sudah bersifat doktrinal.
Begitulah, pengendalian penduduk akan terus
berdinamika dalam saling silang faham keagamaan. Namun, dengan bertitik pijak
pada prioritas kebutuhan zaman (fiqh
al-awlawiyyat) serta mengambil kemanfaatan (jalbu al-mashalih), maka program KB semakin mendapatkan ”hak
hidupnya” sebagai cara terbaik dalam mewujudkan kemashlahatan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar