Membumikan Takwa
Abd A’la ; Guru Besar IAIN Sunan Ampel
KOMPAS,
10 Agustus 2012
Seiring kehadiran bulan Ramadhan 1433 H, umat
Islam—tak terkecuali Muslim Indonesia—kembali menjalankan kewajiban puasa
sebulan penuh.
Kewajiban ini tentu tak berlaku bagi yang
berhalangan atau mendapat kemudahan secara agama. Kendati demikian, mereka
harus tetap menangkap makna puasa dan menyebarkan nilai-nilai puasa dalam
kehidupan. Melalui puasa, penguatan moralitas luhur, sebagaimana dijelaskan
dalam Al Quran dan sunah Rasul diharapkan akan terjadi pada setiap individu
Muslim. Pada gilirannya hal itu harus berdampak konkret pada kehidupan sosial.
Persoalannya, apakah puasa kita sudah seperti itu atau belum, fenomena di
sekitar bisa menjadi salah satu indikator.
Jika mau jujur, fenomena kehidupan yang
menguat hingga saat ini tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda menuju kualitas
kehidupan yang lebih baik sebagaimana tujuan dari puasa. Sekelumit contoh bisa
diangkat dalam hal ini. Di jalan raya, para pengendara yang tentunya sebagian
besar Muslim tetap saja mengemudikan kendaraan seenaknya. Sama seperti sebelum
puasa tiba, mereka tetap kurang memperhatikan pengguna jalan yang lain.
Kesantunan dan ketaatan pada peraturan tetap sulit ditemukan.
Di perkantoran pun setali tiga uang. Geliat
untuk mengedepankan prestasi dan kerja keras, terutama di kalangan pegawai
negeri, masih sulit dilihat secara mudah. Sebagian (besar?) mereka justru
sekadar masuk kantor dan—jika bisa—mereka akan berusaha pulang secepatnya.
Kejahatan dalam bentuk korupsi atau kejahatan
kerah putih lainnya tampaknya juga tetap berjalan ”normal”. Semua ini dilakukan
oleh orang atau oknum yang bisa saja tetap menjalankan puasa. Sebagaimana dapat
dibaca di media massa cetak dan ditonton di media elektronik, dugaan atau kasus
korupsi tetap bermunculan hingga pada bulan puasa ini. Di balik itu, aparat
penegak hukum terkesan kuat masih sedemikian lamban bertindak dan menuntaskan
masalah sampai ke akarnya. Bahkan, nuansa politis dan penegakan hukum yang tebang
pilih demikian kental terasa di mana-mana.
Konkretnya, gema Ramadhan lebih kelihatan
pada semarak ritual bukan pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan,
budaya konsumtif yang sejatinya bertentangan dengan tujuan puasa menggejala
kian kuat justru saat Ramadhan.
Maraknya dosa atau kejahatan sosial itu
senyatanya bertentangan secara diametral dengan tujuan puasa itu sendiri. Al
Quran, surat Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan dengan tegas, tujuan puasa adalah
untuk mengantarkan setiap Muslim menjadi insan-insan yang bertakwa.
Ironisnya, ketakwaan sering diidentikkan
sekadar kerajinan menjalankan ritual agama, semacam ketekunan menjalankan
shalat malam, seringnya mengkhatamkan Al Quran, kesinambungan beriktikaf di
masjid, dan sejenisnya. Penekanan pada transformasi nilai-nilai luhur ke dalam
sikap dan perilaku kurang diperhatikan.
Implementasi nilai-nilai ketakwaan di ranah
publik juga kurang mendapat ruang cukup luas untuk diupayakan secara
sungguh-sungguh. Lebih dari itu, ukuran keberhasilan puasa sering hanya
dikaitkan dengan kesemarakan tadarus Al Quran di masjid-masjid. Paling banter,
indikator yang digunakan terkadang hanya diukur dari banyaknya penutupan tempat
hiburan atau penyisiran minuman keras.
Kerajinan menjalankan berbagai ibadah tentu
penting dan mutlak. Namun, lebih penting lagi adalah bagaimana umat Islam dapat
menangkap makna di balik semua ibadah itu dan ber-mujahadah
mengaktualisasikannya dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, makna itu
menemukan titik labuhnya dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, apa yang disampaikan
sahabat Ubay bin Ka’ab kepada Umar bin Khattab—mengenai takwa—menarik
dicermati. Menurut Ubay, hakikat takwa adalah berusaha menghilangkan kejahatan
di ranah publik secara intens, sistematis, dan berkelanjutan.
Kesenjangan cukup lebar antara tujuan puasa
dan fenomena yang berkembang meniscayakan kita untuk mengevaluasi diri. Kita
pun perlu mengagendakan strategi dan langkah konkret agar puasa bisa lebih
bermakna. Keberpuasaan diharapkan benar-benar bernilai takwa yang dapat
memberikan pencerahan dan kebaikan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
Pencapaian ke arah itu menuntut kita untuk
meneguhkan kembali niat puasa dan mengembalikan makna puasa ke makna asalnya.
Dalam ajaran Al Quran, puasa jelas bukan tujuan, melainkan sarana untuk
menggapai ketakwaan. Perlu ketulusan dan kejernihan hati untuk melakukan hal
itu. Dalam ungkapan lain, sekali kita berniat berpuasa pada saat itu pula kita
harus berkomitmen mengendalikan diri dari dorongan kejahatan nafsu dari yang
tersamar hingga yang paling jelas. Setelah itu, kita lalu bersungguh-sungguh
mengembangkan kebaikan, terutama yang akan berdampak nyata pada kehidupan
sosial.
Tak cukup dengan itu. Agenda yang perlu
dikedepankan adalah menjadikan komitmen itu tak bersifat individual semata. Ia
harus menjadi sistem yang mampu mendorong setiap orang untuk melakukan hal
serupa. Pada sisi ini, organisasi keagamaan mutlak tidak sekadar mengedepankan
program yang berorientasi pada penyebaran kebaikan dan pencegahan terjadinya
kemungkaran atau kejahatan semata. Lebih dari itu, organisasi-organisasi
tersebut harus mewujudkan diri sebagai semacam lembaga penjamin mutu
keberagamaan umat. Setiap organisasi keagamaan diharapkan mampu mengembangkan
pola quality assurance yang dapat memantau religiositas setiap anggotanya.
Untuk itu, unit struktur paling bawah dari
tiap-tiap jam’iyah itu, misalnya, diberi amanah berperan melakukan semacam
pemantauan. Jika ada anggota organisasi yang melakukan hal-hal yang menyimpang
dari pola keberagamaan yang digariskan organisasi, mereka hendaknya diberikan
pembinaan melalui pola-pola yang dialogis dan memberdayakan.
Bisa saja hal itu dianggap mengada-ada dan
tidak realistis, tetapi bukan sesuatu yang tak mungkin. Melalui pertemuan
bulanan anggota, minimal pengurus di tingkat bawah yang langsung berhubungan
dengan warga, upaya pengembangan semacam penjaminan
mutu keberagamaan umat jadi agenda yang sangat mungkin, menantang, dan menarik
dikembangkan.
Melihat karut-marut kehidupan bangsa yang
dari saat ke saat tidak pernah terselesaikan secara tuntas, puasa kali ini
perlu dijadikan momen untuk mengagendakan hal itu. Jika program ini bisa
dijalankan, ketakwaan tidak lagi sekadar berwujud serpihan nilai yang hanya
bermanfaat bagi pelaku, tapi akan jadi sistem kokoh yang akan membuahkan hasil
besar bagi perubahan kehidupan umat. Bahkan hal itu akan sangat bermakna
transformatif bagi pencerahan bangsa dan masyarakat secara keseluruhan.
Mari kita tunggu organisasi-organisasi Islam
meresponsnya. Pemerintah tentu mutlak mendukung dengan penerapan kebijakan yang
berbasis moralitas luhur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar