Menyelamatkan
Pertanian
Posman Sibuea ; Guru Besar Ketahanan Pangan Departemen
Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan, Direktur Tenfoser
KOMPAS,
10 Agustus 2012
Pity the nation that wears a cloth it does
not weave, eats a bread it does not harvest, and drinks a wine that flows not
from its own wine-press. Khalil Gibran
Pelaku industri tempe dan tahu menjerit
karena harga kedelai impor mahal. Persoalan klasik ini berhulu, antara lain,
dari komitmen pemerintah yang kurang menyediakan lahan untuk penanaman kedelai.
Penyelamatan lahan pertanian untuk bahan baku tahu dan tempe belum jadi
prioritas. Penjarahan dan perampasan lahan untuk perluasan kebun sawit dan
areal pertambangan terus berlangsung di sejumlah daerah; yang pada gilirannya
menyusutkan lahan pertanian pangan, sementara kebutuhan pangan meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk.
Peran pertanian untuk pembangunan ekonomi
perlahan melemah. Kehadirannya sebagai penyokong utama kebutuhan pangan
masyarakat termarjinalkan oleh hiruk-pikuk kemajuan sektor industri dan jasa.
Bangsa ini menyandang predikat negara agraris, tetapi pemerintahnya punya hobi
impor segala jenis pangan untuk kebutuhan dalam negeri.
Ironis! Sebagai negara agraris, jutaan hektar
lahan subur, anggaran di Kementerian Pertanian cukup gemuk, tersedia program
kerja peningkatan ketahanan pangan, sebagian besar penduduknya bertani, tetapi
Indonesia acap dihinggapi karut-marut ketahanan pangan. Lahan yang luas tak
menjamin sektor pertanian jadi tulang punggung perwujudan kedaulatan pangan dan
pemerataan kesejahteraan petani.
Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan
kedaulatan pangan sejak lama sudah disuarakan. Tak sekadar berorientasi pada
swasembada beras dan kedelai untuk pilar pertumbuhan ekonomi dan menekan
kemiskinan, tetapi lebih jauh dari itu: kedaulatan pangan memberikan ruang
untuk kian stabilnya kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri.
Rumusan itu tidak berlebihan sebab pangan bisa jadi senjata politik manakala
sebuah negara sangat bergantung pada negara lain. Pangan juga bisa menjadi
pemantik kerawanan sosial ketika kebutuhan tak tercukupi dan itu menetaskan
anarki warga negara. Singkatnya, pangan menempati posisi strategis dalam
berbangsa dan bernegara sebab urusannya: perut.
Namun, petani di negeri subur makmur ini
rudin karena hege- moni pembangunan industri. Kesejahteraan hidup pahlawan
kedaulatan pangan ini terus dibalut lingkaran kemiskinan. Meski suatu daerah
dikenal sebagailumbung beras di Tanah Air, petaninya tak mencerminkan dae- rah
berlimpah beras. Kemiskinan struktural menggilas kehidupan mereka sepanjang
waktu.
Berbagai janji pemerintah dalam teks
revitalisasi pertanian tahun 2005 belum serius dilaksanakan. Upaya yang
seharusnya dimulai dari hal paling mendasar, seperti pembangunan dan perbaikan
irigasi hingga jalan desa, masih jalan di tempat. Bukankah pemerintah wajib
menjamin pemenuhan berbagai sarana produksi yang dibutuhkan petani, mulai dari
benih unggul, pupuk, obat-obatan, hingga alat dan mesin pertanian?
Pembangunan pertanian patut dilakukan lebih
serius untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Kesadaran itu tentu
berimplikasi ekonomi: semua energi dan sumber daya pembangunan akan diarahkan
untuk menyelamatkan sektor ini guna meningkatkan produksi berbagai jenis pangan
sehingga semua warga dapat mengaksesnya karena terjangkau daya beli.
Pemerintah harus punya kemauan politik
menyelamatkan sektor pertanian agar tak lagi termarjinalkan oleh arus
industrialisasi yang didukung kekuatan kapital berskala besar. Jika pemerintah
gagal menjaga stabilitas harga pangan dan hanya fokus pada peningkatan produksi
beras, akan lahir persoalan serius di tengah bangsa ini, yakni jumlah penduduk
rawan pangan bertambah signifikan dan berpotensi mengalami kegelisahan sosial.
Politik pangan impor yang selama ini
dijalankan pemerintah guna mengatasi kemiskinan sudah saatnya diakhiri. Dengan
mengatur tata niaga beras dan kedelai sehingga harganya tetap rendah,
pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Jika sektor pertanian
selalu diposisikan untuk menyediakan beras dan kedelai dengan harga murah guna
mengamankan vari- abel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan),
ini artinya pemerintah lebih memihak pada konsumen ketimbang kesejahteraan
petani. Keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi
semakin lama kian melemah.
Menyelamatkan pertanian patut difasilitasi
dengan menyediakan anggaran yang cukup untuk pembangunan jalan desa, penyediaan
benih unggul, pupuk, serta peralatan mekanisasi pertanian dan pengolahan hasil
pertanian. Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korea Selatan, negara
yang besar-besaran menyubsidi petani guna meningkatkan produksi dan ketersediaan
pangan. Mereka menyadari masalah kebutuhan dasar ini tak boleh bergantung pada
negara lain. ●
Perlu sebuah kesadaran juga bahwa petani adalah pembagi berkah bagi yang lain.
BalasHapus