Pohon
Reformasi
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan, Fakultas Ilmu Budaya UGM
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Di sepanjang Jalan Affandi
di Yogyakarta, berderet pohon gelodogan (Polyalthia longifolia). Pohon
setinggi rata-rata empat meter itu membelah jalan yang dulu bernama Jalan
Gejayan menjadi dua jalur, dari pertigaan Jalan Kolombo di sisi selatan
hingga perempatan Jalan Lingkar Utara Condongcatur di sisi utara. Itulah “pohon
reformasi”!
Pohon-pohon itu ditanam
menggantikan deretan pohon terdahulu yang hancur bersama pot-potnya pada
gelombang peristiwa demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto tahun
1998. Pohon yang lama, entah apa namanya, tercerabut hingga ke akarnya.
Berserak bersama tanah, batu dan pasir, pohon-pohon lama meninggalkan suasana
Jalan Affandi bagaikan medan perang pada Jumat 15 Mei 1998. Selama sekitar
tiga bulan, pohon-pohon lama menjadi “saksi bisu” gelombang demi gelombang
demonstrasi yang sering kacau akibat hantaman peluru karet, gas air mata, dan
kejaran pasukan anti huru-hara.
Sekarang, 20 tahun setelah
gerakan Reformasi 1998, pohon-pohon gelodogan tumbuh hijau dan rindang.
Pohon-pohon itu menggendong ingatan dan refleksi tentang perubahan rezim pada
periode kontemporer Indonesia. Ke arah mana dan pada tingkat apa kesadaran
politik bangsa ini telah berubah? Apa buah dari “Pohon-pohon Reformasi”?
Ingatan
tak tercatat
Jalan Affandi di
Yogyakarta, khususnya pada ruas antara kampus Univesitas Negeri Yogyakarta
dan Universitas Sanata Dharma, di Kampung Mrican, adalah situs demonstrasi
yang dimotori mahasiswa pada bulan Maret, April dan Mei 1998. Ruas jalan
tersebut menjadi lokasi aksi setelah lokasi-lokasi “favorit”, yaitu pertigaan
Jalan Solo-UIN Sunan Kalijaga dan Bunderan-Boullevard UGM Bulaksumur, dijaga
ketat pasukan keamanan pasca-demonstrasi masif menentang naiknya harga bahan
bakar minyak pada Oktober 1997.
Setidaknya lima kali aksi
demonstrasi pernah berlangsung di Jalan Affandi. Demonstrasi Maret dan April
1998 menandai semakin luasnya cakupan kelompok gerakan dan titik-titik baru
lokasi aksi. Namun, sebagai akibatnya, operasi intel militer juga semakin
intensif atas rumah-rumah kos mahasiswa.
Aparat keamanan melakukan
penggerebegan stasiun radio komunitas mahasiswa di daerah Karangmalang. Radio
amatir ini biasa siaran selepas magrib dengan program musik, lawak dan canda
khas mahasiswa Yogya. Selepas tengah malam, siaran radio mengudarakan
rencana-rencana aksi dan berita-berita politik dan ekonomi dari sumber-sumber
tertentu, misalnya dari Radio BBC. Akibat penggerebegan, alat-alat siaran
dirusak atau disita.
Aparat juga melakukan
penyisiran atas sejumlah rumah kos dan tempat fotokopi di Mrican dan
Papringan. Mereka menyita semua selebaran aksi, khususnya dari kelompok
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sayap organisasi
Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh jaringan aktivis
mahasiswa. Aparat juga mengambil bacaan-bacaan yang mereka anggap
“berbahaya”. Di antaranya buku kumpulan surat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, dan majalah mahasiswa Balairung edisi khusus bisnis
militer.
Puncak aksi di Jalan
Affandi terjadi bulan Mei 1998 melalui tiga kali peristiwa demonstrasi. Pada
aksi ketiga, Jumat, 15 Mei 1998, massa mahasiswa dan warga yang sangat banyak
membentuk formasi blokade jalan sedemikian taktis sehingga dua peleton
pasukan anti huru-hara justru terkepung oleh demonstran. Menjelang sore,
kendaraan panser polisi melindas median jalan tempat tumbuhnya pohon-pohon
dan merangsek ke pusat kerumunan massa. Gas air mata ditembakkan ke arah
demonstran. Bunyi letusan senjata terdengar beberapa kali. Massa lari ke
segala arah. Pasukan keamanan terus mengejar dan menangkap siapa pun.
Dalam peristiwa malam itu,
seorang pemuda Kampung Mrican bernama Mozes Gatotkaca menjadi korban salah
sasaran. Ia tewas di tangan aparat keamanan. Sekitar 60 orang demonstran
tertangkap aparat, dimasukkan ke truk tentara. Pimpinan sejumlah perguruan
tinggi melakukan negosiasi dengan pihak keamanan untuk membebaskan mereka.
Tetapi tak diketahui kapan (dan apakah) mereka semua akhirnya dipulangkan.
Pada 20 Mei 1998
masyarakat Yogya melakukan demonstrasi damai “rembug agung” di alun-alun
utara Keraton Kesultanan Yogyakarta. Jumlah orang yang ikut dalam aksi
tersebut luar biasa besar. Media massa menyatakan sekitar satu juta orang.
Mereka berjalan kaki dari tempat asal masing-masing menuju alun-alun. Luapan
massa memenuhi seluruh kompleks utara keraton, meluber ke jalan-jalan hingga
Malioboro. Mereka mendengarkan orasi-orasi untuk mengatakan “cukup” kepada
Soeharto dan Orde Baru. Sejarah mencatat, sehari kemudian, yaitu pada 21 Mei
1998, Soeharto menyatakan diri mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
Sayang sekali peristiwa-peristiwa
di Yogyakarta itu belum tercatat dalam narasi sejarah. Beberapa publikasi
tentang Gerakan 1998, misalnya buku Penakluk Rejim Orde Baru: Gerakan
Mahasiswa 1998 karya Muridan S Widjojo (1999), dan artikel “Jakarta 2039:
Forty Years After May 13-14, 1998” karya Seno Gumira Ajidarma bersama Zacky
(dalam buku The Indonesian Reader suntingan Tineke Hellwig dan Eric
Tagliacozzo, 2009), sama sekali tidak mengintegrasikan peristiwa-peristiwa
Yogyakarta sebagai bagian penting gerakan Reformasi 1998. Begitu pula upaya
lain berupa film dokumenter (lihat: twg.org dan www.rappler.com), cenderung
fokus pada peristiwa di Jakarta semata.
Hilangnya
“pohon-pohon”
Semangat dan cita-cita
reformasi telah membuat Indonesia hari ini jauh berbeda dibandingkan 20 tahun
lalu. Indonesia kini memiliki sejumlah lembaga baru negara yang memperkuat
kepastian hukum di berbagai bidang. Misalnya Mahkamah Konstitusi, Komisi
Pemberantasan Komisi, Badan Narkotika Nasional dan Detasemen Satuan Khusus
Antiteror.
Proses politik jadi
semakin transparan dan partisipatif. Melalui sistem multi-partai, rakyat
memilih langsung presiden-wakil presiden, kepala daerah dan anggota parlemen.
Sekarang siapa pun dengan latar belakang sosial apa pun berpeluang menempati
posisi jabatan publik. Contohnya, Presiden Joko Widodo sendiri. Hal ini tak
mungkin terjadi di era Orde Baru.
Dibandingkan negara-negara
tetangga di Asia Tenggara, reformasi Indonesia telah berada pada jalur yang
tepat. Kita melihat Filipina, yang telah menumbangkan rezim diktaktor melalui
gerakan People’s Power pada 1986, hingga kini masih harus berjuang mengatasi
kekuasaan klan-klan keluarga dan kepemimpinan megalomania. Thailand mengalami
18 kali kudeta dalam 100 tahun terakhir. Jelas bukan cara demokratis
pergantian rezim.
Singapura, meskipun
pendapatan ekonomi warganya sangat tinggi, tidak memiliki ruang bagi
kebebasan berpendapat sehingga sebagian warga Singapura harus pergi ke Pulau
Batam di Indonesia untuk sekadar berdemonstrasi mengkritik pemerintahnya.
Malaysia adalah bom waktu politik karena pemerintahannya telah lama
didominasi oleh satu partai saja. Myanmar sedang memulai proses demokrasi dan
membutuhkan perombakan struktur politiknya secara total. Vietnam menghadapi
dilema eksistensi sistem sosialis di tengah kuatnya neo-liberalisme.
Singkatnya, gerakan Reformasi 1998 telah mendorong pembaruan sistem politik
dan demokratisasi Indonesia secara signifikan.
Meskipun demikian,
akhir-akhir ini berkembang pendapat bahwa gerakan Reformasi 1998 gagal
mewujudkan agenda yang dicita-citakan. Pengadilan atas (mantan) Presiden
Soeharto, sebagaimana dituntut oleh gerakan mahasiswa, tak pernah terlaksana
hingga ia meninggal. Upaya membongkar jaring struktur oligarki dalam
kehidupan politik Indonesia juga belum sepenuhnya berhasil. Korupsi masih
terjadi di mana-mana.
Yang paling
mengkhawatirkan, militerisme dalam wujud pendekatan kekerasan untuk
menyelesaikan permasalahan antarwarga seolah menjadi tren pasca-Reformasi.
Pendekatan kekerasan sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok vigilante atau
pengamanan swakarsa. Sebagaimana pada masa Orde Baru, sejumlah elite politik
sekarang mengendalikan kelompok-kelompok vigilante itu demi kepentingan
kelompoknya. Gejala kembalinya militer(isme) ke panggung politik tak
terbantahkan lagi.
Kebebasan individu untuk
menyampaikan pendapat di muka umum adalah buah simalakama era Reformasi.
Kebebasan itu esensi demokrasi yang telah lama didamba. Tetapi sekarang
menjadi bumerang. Terfasilitasi oleh teknologi komunikasi, kebebasan
berpendapat telah memudahkan tersebarnya pandangan dan sikap yang meremukkan
sendi kehidupan bersama, misalnya intoleransi. Dengan dalih kebebasan
berpendapat, kelompok-kelompok tertentu menyerang nilai-nilai demokrasi yang
melahirkan kebebasan yang mereka nikmati.
Ironi dan paradoks juga
terjadi dalam transformasi garis politik. Ini menyangkut bukan hanya fakta
bahwa sejumlah pejabat di era Orde Baru berganti “baju”, menyaru sebagai
reformis dan tetap duduk di pemerintahan hingga sekarang. Tetapi juga fakta
bahwa para reformis yang dulu menyuarakan pentingnya kualitas kepemimpinan
alternatif sekarang justru mereplikasi pola-pola politik Orde Baru yang rakus
kekuasaan.
Situs Deutsche Welle,
misalnya, menyatakan bahwa 12 dari 13 orang aktivis mahasiswa-pemuda yang
diculik pada 1998, kini bergabung dengan eks penculiknya
(http://www.dw.com/id/bergabung-dengan-sang-penculik/a-16820862). Mereka yang
dijuluki “Empat Tokoh Reformasi” di era 1998, sebagian sekarang menunjukkan
sikap-sikap anti terhadap kemajemukan yang merupakan ciri keindonesiaan,
hanya demi meraih atau mempertahankan kekuasaannya. Masih banyak sosok yang
pada periode 1998 berhaluan reformis, kini menjadi pelaku kekuasaan politik
kita.
Reformasi 1998 telah
melahirkan buah yang baik dan buruk sekaligus karena tumbangnya “pohon-pohon”
pembaruan. Jalan bagi kemajuan yang fundamental bangsa ini masih sangat
panjang dan rentan “dibajak” oleh para pencetusnya sendiri.
Oleh karena itu, pembaruan
gerakan Reformasi hari ini memerlukan tumbuhnya “pohon-pohon baru”.
“Pohon-pohon baru” adalah sumber keteladanan bagi terbentuknya keadaban
publik. “Pohon-pohon baru” memiliki kualitas sikap dan standar moral perilaku
yang konsisten dan tidak mudah meliuk oleh goncangan angin kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar