Pemimpin
Hedonistik
Indra Tranggono ; Pemerhati kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Berbagai teks yang bersumber dari
agama dan budaya (filsafat nilai) selalu meletakkan pemimpin sebagai sosok
yang dituntut memiliki kapasitas kemampuan, integritas dan komitmen di atas
rata-rata. Ada beban tugas profetik yang diemban. Pasti, pemimpin bukan orang
kebanyakan.
Namun kini yang terjadi kebanyakan
pemimpin tidak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan dalam soal kapasitas
kepribadian dan kemampuan. Bedanya mungkin hanya dalam soal kekayaan uang,
dekat dengan kekuasaan, gelar akademik dan seringnya tampil di media massa
atau media sosial. Begitu kita menelisik sisi-sisi kedalamannya, ternyata
mereka cenderung rapuh layaknya benda pecah belah: berkilau tapi ringkih.
Keringkihan paling menonjol adalah pada sikap menolak untuk korupsi. KPK pun
harus kerja keras untuk menangkap dan memproses banyak penyelenggara negara
yang terindikasi korupsi. Sebagian akhirnya mengaku, setelah dibeberkan saksi
dan bukti. Sebagian yang lain berlindung di balik kekuasaan politik,
tokoh-tokoh kharismatik, sambil mengumbar jurus-jurus kilah.
Setiap hari kita bisa menyaksikan
festival pembelaan diri para tokoh elite. Asas praduga tak bersalah sering
digunakan sebagai gembok perkara. Tentu hal itu dibarengi pelbagai
penyelesaian di luar hukum. Pelajaran yang diserap masyarakat adalah: di
republik ini orang kuat tidak bisa salah atau diperkarakan. Hukum ditentukan
oleh selera dan kepentingan mereka yang berkuasa. Negara seperti menjadi
koloni pribadi dengan pengelolaan berbasis kesepakatan-kesepakatan personal
para tokoh elite.
Sering pula para tokoh elite politik membela diri dengan mengumbar narasi-narasi
politik demi menggeser perkara dari kasus hukum ke kasus politik. Mereka pun
mencitrakan dirinya sebagai orang suci yang dizalimi lawan politik. Rakyat
bertanya, jika memang suci dan bersih dari korupsi kenapa tidak berani
menempuh proses hukum?
Korupsi abadi
Penyair Sapardi Djoko Damono punya
larik lirik yang sangat bagus dalam puisi “Perahu Kertas”: yang fana adalah
waktu, kita abadi. Larik lirik itu mengisyaratkan makna: manusia dengan
seluruh cinta yang dimilikinya tak bisa digerogoti waktu.
Menjadi pemimpin bangsa, mengacu
pada larik puisi Sapardi, adalah upaya untuk menjadi manusia abadi, dengan
bekal cinta, pengorbanan, prestasi dan reputasi. Keabadian manusia ada di
dalam martabatnya yang tinggi baik secara personal, sosial maupun kultural.
Manusia jenis ini termasuk manusia yang telah menyejarah, (menjadi sejarah)
sekaligus ikon kemuliaan yang memberi ilham bangsanya, seperti para pendiri
republik ini.
Namun, tampaknya cita-cita menjadi
manusia abadi kurang dimiliki oleh para pemimpin sekarang. Mereka memahami
bahwa kekuasaan merupakan tambang emas kejayaan yang harus dieksploitasi demi
penumpukan kekayaan pribadi, apa pun caranya, termasuk korupsi uang atau
korupsi politik. Bagi mereka prinsip nilai yang berlaku adalah: “yang perkasa adalah kekuasaan
dan uang, dan korupsi itu abadi.”
Dua puluh tahun reformasi bergulir
ternyata belum menghasilkan para pemimpin yang memiliki kapasitas
kenegarawanan dan keteladanan. Rakyat selalu kecelik. Para pemimpin yang
semula berkilau dan berpotensi menetaskan harapan perubahan yang berpihak
pada rakyat, ternyata berubah mandul dan suram. Pusaran kepentingan yang
melibatkan uang telah menggerus integritas mereka.
Akhirnya mereka tak lebih dari
para pemimpin hedonistik. Naluri mereka untuk memiliki materi, uang dan
kekuasaan serta citra ternyata jauh lebih besar daripada cita-cita menjadi
negarawan.
Pemimpin hedonistik adalah para
penyembah kenikmatan, baik secara biologis/fisik maupun psikologis.
Kenikmatan biologis bersumber dari segala hal yang bersifat material dan
mampu memenuhi kebutuhan hasrat (nafsu) badaniah. Adapun kenikmatan
psikologis berbasis pada pemenuhan nafsu imaterial/kejiwaan berupa
kesenangan. Bukan kebahagiaan, karena kebahagiaan bersifat spiritual.
Karena orientasinya kenikmatan
material-duniawai, sulit kita berharap para pemimpin hedonistik memproduksi
nilai-nilai kebudayaan dan peradaban. Yang menjadi dasar berpikir dan
berperilaku adalah pragmatisme sempit: apa pun ditinjau dari segi guna dan
manfaat jangka pendek. Segalanya harus cepat jadi uang dan cepat untuk
dinikmati. Bukan idealisme profetik layaknya nilai yang digenggam para agen
perubahan sosial-kultural.
Demokrasi uang atau demokrasi
transaksional yang berbasis pada kuasa modal telah memberi andil besar bagi
lahirnya pemimpin-pemimpin hedonistik. Politik pasar hanya akan melahirkan
politisi bermental pedagang yang ideologinya keuntungan semata.
Wahana kebudayaan
Kecuali mereka yang mendapatkan
cipratan uang, sesungguhnya rakyat sejatinya sedih setiap musim pilkada tiba.
Dengan berbagai cara, rakyat dimobilisasi untuk memberikan
suaranya. Sementara rakyat tahu, umumnya para calon pemimpin yang dipilih itu
tidak mencintai mereka. Terbukti setelah jadi penguasa, banyak pemimpin
menutup diri atas aspirasi dan kepentingan publik, bahkan ada yang tega
menggasak hak-hak publik dengan penuh gairah.
Penyelenggara negara idealis perlu
menghentikan demokrasi berbasis uang jika tidak ingin bangsa dan negara ini
hancur. Demokrasi harus dikembalikan pada marwah/martabatnya sebagai wahana
politik-kebudayaan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan
kaum pemodal dan juragan-juragan politik. Kata kunci demokrasi bukan uang
tapi kompetensi, kapabilitas, integritas, komitmen dan dedikasi.
Demokrasi harus memberi hak
orang-orang berkualitas dan terpilih yang sanggup dan mampu menjalankan
tugas-tugas profetik. Yakni, mengangkat eksistensi sekaligus membebaskan
rakyat dari berbagai kegelapan.
Kita sangat membutuhkan pemimpin
asketis, idealis, humanis dan nasionalis. Para pemimpin atau penguasa layak
merenung: yang fana adalah kekuasaan, kebaikan itu abadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar