Geger
Tanah Abang, Ombudsman,
dan
Politik Kontemporer
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 03 April 2018
'OMBUDSMAN
biang preman. Saat Ahok robohkan masjid, saat Ahok gusur rakyat, saat Ahok
caci maki masyarakat, saat Ahok hina pejabat, saat Ahok korupsi Sumber Waras,
saat Ahok bicara kasar dan kotor. Ayo jaga Anies dan ganyang Ombudsman'.
Tulisan bernada ancaman
nan mengerikan di atas beredar di media sosial dan mampir juga ke dalam WA
telepon seluler saya. Kendati terkejut karena tak menyangka kalimat kecaman
itu, saya langsung memahami kalau hal itu bagian implikasi salah satu hasil
kerja Ombudsman terkait pelayanan publik di kawasan Tanah Abang Jakarta.
Pada saat yang sama,
beredar pula undangan dari kelompok tertentu yang akan melakukan demonstrasi
di depan kantor Ombudsman RI.
Saya menganggap pihak
pembuat dan penyebar kecaman itu barangkali bagian yang terjebak dalam sikap
emosional-politis dan tak paham dengan kerja Ombudsman. Padahal saat debat
cagub, Anies-Sandi sendiri menjadikan hasil kerja Ombudsman sebagai salah
satu yang dirujuknya. Maka Anies-Sandi sebenarnya pasti paham dan tak akan
marah atau tersinggung ketika Ombudsman menjalankan mandatnya melakukan
pengawasan terhadap pelayanan publik yang terganggu.
Artikel singkat ini,
bertujuan untuk memberikan penjelasan singkat terhadap hasil kerja Ombudsman
yang belakangan sedikit 'geger' itu. Kebijakan Gubernur Anies Baswedan yang
menata ulang kawasan itu dengan, antara lain, menempatkan PKL di Jl Jatibaru
Raya, dianggap sebagai bentuk malaadministrasi terbuka. Melabrak peraturan
perundangan yang berlaku, khususnya Pasal 128 ayat 3 UU No 22/2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemda DKI Jakarta sebagai
penyelenggara pelayanan publik, khususnya di bidang ruang transportasi,
memang tidak boleh sembarangan dalam membuat kebijakan. Benar, kebijakan
Anies-Sandi itu lebih populis, karena telah memberi ruang untuk aktivitas
ekonomi bagi masyarakat akar rumput yang bergerak di sektor informal. Namun,
harus selalu diingat(kan) bahwa suatu 'nilai yang mulia' tak boleh diwujudkan
secara sembarangan, dengan melanggar hukum positif yang berlaku. Terlebih di
Jakarta, soal perubahan penataan ruang publik sangat sensitif lantaran banyak
pihak yang berkepentingan.
Kehadiran pengawasan
Ombudsman di kawasan Tanah Abang memang bukan tanpa alasan, bukan juga
sekonyong-konyong. Kawasan itu merupakan bagian dari sentra aktivitas
perekonomian di negara ini, sebagai pusat perdagangan yang setiap hari
dipadati para pedagang retail dari berbagai penjuru nusantara.
Kawasan itu dulu sangat
semrawut nan macet akibat aktivitas sektor informal yang tidak tertata. Bukan
saja trotoar (untuk pedestrian) yang nyaris semua terpakai oleh PKL,
melainkan juga ruas jalan untuk kendaraan bermotor yang menyempit khususnya
pada siang hari. Tepatnya, kesembrawutan, kepadatan, dan kemacetan sangat
mengganggu bagi para pengguna ruang publik di kawasan itu.
Namun, kemudian menjadi
lebih teratur saat DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kebijakan Ahok yang diikuti dengan sikap tegas, harus diakui, berhasil
melakukan penertiban terhadap ketidak-teraturan aktivitas PKL.
Pada saat yang sama, tampaknya
memang ada sejumlah pihak yang merasa sangat terganggu dengan penataan itu,
utamanya mereka yang secara ilegal memperoleh setoran dari kalangan PKL. Dan,
konon, dari aktivitas 'pungutan liar' terhadap PKL itu juga 'turut mengalir'
pada oknum-oknum elite tertentu.
Suatu
yang biasa
Ombudsman RI terus
mencermati perubahan penggunaan ruang publik itu, yang di era Anies-Sandi ini
ternyata cenderung kembali pada siatuasi sebelum kepemimpinan Ahok. Sehingga
menimbulkan tanda tanya besar: mengapa penataan kawasan Tanah Abang cenderung
setback di era Anies-Sandi? Ombudsman pun, sebagaimana mandatnya sesuai UU No
37/ 2008, melakukan investigasi dengan inisiatif sendiri (own motion
investigation/OMI) dan menemukan bukan sekadar kejanggalan. Namun, juga terindikasi
terjadi malaadministrasi oleh Pemda DKI Jakarta. Produk awalnya berupa LAHP
(laporan akhir hasil pemeriksaan).
Persoalannya kemudian,
LAHP Ombudsman tentang Tanah Abang itu ternyata menjadi sesuatu yang
menghebohkan secara politik. Padahal produk seperti itu, bagi Ombudsman,
merupakan suatu yang biasa, bentuk audit kebijakan publik terkait dugaan
malaadministrasi, dan sekaligus memberi jalan keluar bagi pihak pejabat
berwenang melakukan tindakan korektif dalam tempo maksimal 30 hari. Gubernur
Anies pun sudah merespons secara lisan sekalgus mengapresiasi saran-saran
Ombudsman Perwakilan DKI Jakarta ini.
Sudah jadi mekanisme baku
dalam kerja Ombudsman, yakni memonitor apakah saran untuk tindakan korektif
itu dilakukan atau tidak oleh pejabat pelayan publik yang jadi subjeknya.
Nanti, jika diabaikan, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi--produk akhir yang
oleh kepala daerah wajib menindaklanjutinya sesuai Pasal 351 UU No 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Inilah yang jadi titik
tekan Dirjen Otda Sumarsono, yang pada intinya memperingatkan Gubernur Anies
(dan juga seluruh jajaran pemda di Tanah Air) agar tidak main-main dengan
produk Ombudsman. Karena jika sudah keluar rekomendasi dan tidak ditaati,
sanksinya juga sudah diatur termasuk memungkinkan untuk dinonaktifkan.
Jika semua pihak patuh
pada ketentuan dan mekanisme sesuai peraturan perundangan yang berlaku,
sebenarnya tidak perlu geger seperti pada kasus LAHP Tanah Abang ini. Namun,
fenomena sekarang ini dapat dengan mudah dipahami karena produk Ombudsman
boleh jadi dimanfaatkan sesuai kepentingan politik pihak-pihak tertentu.
Berposisi
netral
Kecenderungan seperti itu
tentu bisa dimaklumi terkait dengan posisi politik Anies-Sandi, apalagi di
tahun politik ini. Pertama, posisi politik Anies-Sandi lebih berada pada sisi
yang berseberangan dengan penguasa sekarang. Karena basis dukungan (atau
pengusungnya) ialah dua parpol (Gerindra dan PKS) yang tidak masuk barisan
pemerintahan Jokowi.
Tepatnya, posisi lemah
atau malaadministrasi yang dilakukan Anies-Sandi sebagaimana ditunjukkan
Ombudsman, dijadikan amunisi para lawan politiknya. Itu semua tentu saja
sangat lumrah dalam dunia praktik atau persilatan politik.
Kedua, sekarang ini kita
berada dalam tahun politik hingga pemilu serentak (presiden dan legislatif)
tahun 2019 nanti. Anies-Sandi berada pada kubu Prabowo atau figur pesaing
Jokowi. Bahkan Anies oleh sebagian kalangan dianggap sebagai figur yang kalau
dicapreskan (atau cawapres) cukup potensial menjadi pesaing Jokowi. Sehingga
tidak mengherankan jika kebijakan dan tindakannya selalu dalam bidikan para
politisi.
Ombudsman tentu memahami
situasi politik seperti itu. Namun, harus dicatat, lembaga ini tetap
konsisten berposisi netral (imparsial), sekaligus tidak terpengaruh
kepentingan dari blok-blok politik. Dan, harus dicatat, siapa pun pejabat
atau penyelenggara pelayanan publik, mulai dari presiden, menteri, pimpinan
lembaga negara, gubernur, bupati/wali kota, sampai dengan individu-individu
yang memperoleh atau menggunakan uang negara, menjadi objek pengawasan
Ombudsman.
Tepatnya, para pejabat
yang melakukan malaadministrasi, akan selalu ditunjukkan
pelanggaran-pelanggarannya, seraya menyarankan untuk melakukan tindakan
korektif.
Pengawasan terhadap
kebijakan Anies-Sandi di Tanah Abang sekarang ini, hanyalah merupakan salah
satu kasus di antara puluhan ribu laporan pengaduan masyarakat dan juga
inisiatif sendiri, serta hasil pengawasan Ombudsman (di pusat dan daerah)
hingga saat ini. Sama sekali tak ada motif untuk kepentingan politik tertentu
dari (dan atau menumpangi) Ombudsman, seperti cenderung dicurigai sebagian
kalangan.
Tidak juga melarang
melakukan penataan untuk kemaslahatan rakyat kecil, namun tentu harus dengan
persiapan sosial yang matang.
Namun demikian, dari kasus
'heboh Tanah Abang' sekarang ini, ada pelajaran yang sangat berharga baik
bagi Anies-Sandi maupun para pejabat di negeri ini. Yakni, bahwa pejabat
publik niscaya memiliki lawan politik. Sehingga harus hati-hati dalam
bertindak, atau harus antisipatif-matang dalam bertindak atau mengambil
kebijakan, agar tidak jadi 'senjata makan tuan'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar