Kamis, 05 April 2018

Geger Tanah Abang, Ombudsman, dan Politik Kontemporer

Geger Tanah Abang, Ombudsman,
dan Politik Kontemporer
Laode Ida  ;   Komisioner Ombudsman RI;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
                                              MEDIA INDONESIA, 03 April 2018



                                                           
'OMBUDSMAN biang preman. Saat Ahok robohkan masjid, saat Ahok gusur rakyat, saat Ahok caci maki masyarakat, saat Ahok hina pejabat, saat Ahok korupsi Sumber Waras, saat Ahok bicara kasar dan kotor. Ayo jaga Anies dan ganyang Ombudsman'.

Tulisan bernada ancaman nan mengerikan di atas beredar di media sosial dan mampir juga ke dalam WA telepon seluler saya. Kendati terkejut karena tak menyangka kalimat kecaman itu, saya langsung memahami kalau hal itu bagian implikasi salah satu hasil kerja Ombudsman terkait pelayanan publik di kawasan Tanah Abang Jakarta.

Pada saat yang sama, beredar pula undangan dari kelompok tertentu yang akan melakukan demonstrasi di depan kantor Ombudsman RI.

Saya menganggap pihak pembuat dan penyebar kecaman itu barangkali bagian yang terjebak dalam sikap emosional-politis dan tak paham dengan kerja Ombudsman. Padahal saat debat cagub, Anies-Sandi sendiri menjadikan hasil kerja Ombudsman sebagai salah satu yang dirujuknya. Maka Anies-Sandi sebenarnya pasti paham dan tak akan marah atau tersinggung ketika Ombudsman menjalankan mandatnya melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang terganggu.

Artikel singkat ini, bertujuan untuk memberikan penjelasan singkat terhadap hasil kerja Ombudsman yang belakangan sedikit 'geger' itu. Kebijakan Gubernur Anies Baswedan yang menata ulang kawasan itu dengan, antara lain, menempatkan PKL di Jl Jatibaru Raya, dianggap sebagai bentuk malaadministrasi terbuka. Melabrak peraturan perundangan yang berlaku, khususnya Pasal 128 ayat 3 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pemda DKI Jakarta sebagai penyelenggara pelayanan publik, khususnya di bidang ruang transportasi, memang tidak boleh sembarangan dalam membuat kebijakan. Benar, kebijakan Anies-Sandi itu lebih populis, karena telah memberi ruang untuk aktivitas ekonomi bagi masyarakat akar rumput yang bergerak di sektor informal. Namun, harus selalu diingat(kan) bahwa suatu 'nilai yang mulia' tak boleh diwujudkan secara sembarangan, dengan melanggar hukum positif yang berlaku. Terlebih di Jakarta, soal perubahan penataan ruang publik sangat sensitif lantaran banyak pihak yang berkepentingan.

Kehadiran pengawasan Ombudsman di kawasan Tanah Abang memang bukan tanpa alasan, bukan juga sekonyong-konyong. Kawasan itu merupakan bagian dari sentra aktivitas perekonomian di negara ini, sebagai pusat perdagangan yang setiap hari dipadati para pedagang retail dari berbagai penjuru nusantara.

Kawasan itu dulu sangat semrawut nan macet akibat aktivitas sektor informal yang tidak tertata. Bukan saja trotoar (untuk pedestrian) yang nyaris semua terpakai oleh PKL, melainkan juga ruas jalan untuk kendaraan bermotor yang menyempit khususnya pada siang hari. Tepatnya, kesembrawutan, kepadatan, dan kemacetan sangat mengganggu bagi para pengguna ruang publik di kawasan itu.

Namun, kemudian menjadi lebih teratur saat DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kebijakan Ahok yang diikuti dengan sikap tegas, harus diakui, berhasil melakukan penertiban terhadap ketidak-teraturan aktivitas PKL.

Pada saat yang sama, tampaknya memang ada sejumlah pihak yang merasa sangat terganggu dengan penataan itu, utamanya mereka yang secara ilegal memperoleh setoran dari kalangan PKL. Dan, konon, dari aktivitas 'pungutan liar' terhadap PKL itu juga 'turut mengalir' pada oknum-oknum elite tertentu.

Suatu yang biasa

Ombudsman RI terus mencermati perubahan penggunaan ruang publik itu, yang di era Anies-Sandi ini ternyata cenderung kembali pada siatuasi sebelum kepemimpinan Ahok. Sehingga menimbulkan tanda tanya besar: mengapa penataan kawasan Tanah Abang cenderung setback di era Anies-Sandi? Ombudsman pun, sebagaimana mandatnya sesuai UU No 37/ 2008, melakukan investigasi dengan inisiatif sendiri (own motion investigation/OMI) dan menemukan bukan sekadar kejanggalan. Namun, juga terindikasi terjadi malaadministrasi oleh Pemda DKI Jakarta. Produk awalnya berupa LAHP (laporan akhir hasil pemeriksaan).

Persoalannya kemudian, LAHP Ombudsman tentang Tanah Abang itu ternyata menjadi sesuatu yang menghebohkan secara politik. Padahal produk seperti itu, bagi Ombudsman, merupakan suatu yang biasa, bentuk audit kebijakan publik terkait dugaan malaadministrasi, dan sekaligus memberi jalan keluar bagi pihak pejabat berwenang melakukan tindakan korektif dalam tempo maksimal 30 hari. Gubernur Anies pun sudah merespons secara lisan sekalgus mengapresiasi saran-saran Ombudsman Perwakilan DKI Jakarta ini.

Sudah jadi mekanisme baku dalam kerja Ombudsman, yakni memonitor apakah saran untuk tindakan korektif itu dilakukan atau tidak oleh pejabat pelayan publik yang jadi subjeknya. Nanti, jika diabaikan, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi--produk akhir yang oleh kepala daerah wajib menindaklanjutinya sesuai Pasal 351 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Inilah yang jadi titik tekan Dirjen Otda Sumarsono, yang pada intinya memperingatkan Gubernur Anies (dan juga seluruh jajaran pemda di Tanah Air) agar tidak main-main dengan produk Ombudsman. Karena jika sudah keluar rekomendasi dan tidak ditaati, sanksinya juga sudah diatur termasuk memungkinkan untuk dinonaktifkan.

Jika semua pihak patuh pada ketentuan dan mekanisme sesuai peraturan perundangan yang berlaku, sebenarnya tidak perlu geger seperti pada kasus LAHP Tanah Abang ini. Namun, fenomena sekarang ini dapat dengan mudah dipahami karena produk Ombudsman boleh jadi dimanfaatkan sesuai kepentingan politik pihak-pihak tertentu.

Berposisi netral

Kecenderungan seperti itu tentu bisa dimaklumi terkait dengan posisi politik Anies-Sandi, apalagi di tahun politik ini. Pertama, posisi politik Anies-Sandi lebih berada pada sisi yang berseberangan dengan penguasa sekarang. Karena basis dukungan (atau pengusungnya) ialah dua parpol (Gerindra dan PKS) yang tidak masuk barisan pemerintahan Jokowi.

Tepatnya, posisi lemah atau malaadministrasi yang dilakukan Anies-Sandi sebagaimana ditunjukkan Ombudsman, dijadikan amunisi para lawan politiknya. Itu semua tentu saja sangat lumrah dalam dunia praktik atau persilatan politik.

Kedua, sekarang ini kita berada dalam tahun politik hingga pemilu serentak (presiden dan legislatif) tahun 2019 nanti. Anies-Sandi berada pada kubu Prabowo atau figur pesaing Jokowi. Bahkan Anies oleh sebagian kalangan dianggap sebagai figur yang kalau dicapreskan (atau cawapres) cukup potensial menjadi pesaing Jokowi. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan dan tindakannya selalu dalam bidikan para politisi.

Ombudsman tentu memahami situasi politik seperti itu. Namun, harus dicatat, lembaga ini tetap konsisten berposisi netral (imparsial), sekaligus tidak terpengaruh kepentingan dari blok-blok politik. Dan, harus dicatat, siapa pun pejabat atau penyelenggara pelayanan publik, mulai dari presiden, menteri, pimpinan lembaga negara, gubernur, bupati/wali kota, sampai dengan individu-individu yang memperoleh atau menggunakan uang negara, menjadi objek pengawasan Ombudsman.

Tepatnya, para pejabat yang melakukan malaadministrasi, akan selalu ditunjukkan pelanggaran-pelanggarannya, seraya menyarankan untuk melakukan tindakan korektif.

Pengawasan terhadap kebijakan Anies-Sandi di Tanah Abang sekarang ini, hanyalah merupakan salah satu kasus di antara puluhan ribu laporan pengaduan masyarakat dan juga inisiatif sendiri, serta hasil pengawasan Ombudsman (di pusat dan daerah) hingga saat ini. Sama sekali tak ada motif untuk kepentingan politik tertentu dari (dan atau menumpangi) Ombudsman, seperti cenderung dicurigai sebagian kalangan.

Tidak juga melarang melakukan penataan untuk kemaslahatan rakyat kecil, namun tentu harus dengan persiapan sosial yang matang.

Namun demikian, dari kasus 'heboh Tanah Abang' sekarang ini, ada pelajaran yang sangat berharga baik bagi Anies-Sandi maupun para pejabat di negeri ini. Yakni, bahwa pejabat publik niscaya memiliki lawan politik. Sehingga harus hati-hati dalam bertindak, atau harus antisipatif-matang dalam bertindak atau mengambil kebijakan, agar tidak jadi 'senjata makan tuan'. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar