Hambarnya
Kehidupan Petani Garam
Suhardi Suryadi ; Konsultan The
Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
05 April
2018
Publik selalu tidak
percaya setiap kali pemerintah melakukan impor atas berbagai komoditas
seperti garam. Sebab selain Indonesia
punya lahan luas sepanjang pesisir (99.093 kilometer), berada di daerah
tropis, juga garam secara tradisional sudah bertahun-tahun diproduksi petani
karena tidak membutuhkan teknologi tinggi. Akan tetapi, ironisnya, impor
garam ternyata sudah berlangsung sejak 1990.
Memang tidak dapat
dipungkiri jika impor adalah pilihan pahit karena bertujuan mencukupi
kebutuhan nasional. Data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia menyebutkan
bahwa produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton. Dalam
musim tertentu, produksi garam Indonesia maksimum hanya mencapai 1,9 juta ton per tahun. Sementara
kebutuhan garam nasional sekitar 4,1 juta ton per tahun untuk memenuhi
konsumsi publik 780.000 ton, sisanya untuk mencukupi keperluan industri.
Minim
insentif
Impor pada dasarnya
mencerminkan kegagalan pemerintah dalam industrialisasi garam rakyat.
Mengingat hampir 20 tahun, kebijakan dan program yang ada belum memungkinkan
adanya jaminan ketersediaan garam tanpa impor. Alasan klasik yang muncul
adalah faktor iklim dan cara tradisional dalam produksi garam rakyat sebagai
penyebabnya. Sekalipun hal ini benar, maka seharusnya pemerintah
mengantisipasi dengan merumuskan kerangka pengembangan yang tepat menuju
swasembada garam
Program garam untuk rakyat
(Pugar) yang dilakukan sejak tahun 2011 melalui pemberian bantuan dana untuk
peningkatan produksi hanya mencapai target sekitar 50 persen. Ketidaktepatan
penyaluran dana dengan waktu petani memulai kegiatan pengolahan garam menjadi
sumber persoalannya.
Di wilayah Kabupaten
Sumenep, Jawa Timur, misalnya, petani membutuhkan dana pada bulan Mei-Juni
untuk biaya menggarap lahan, akan tetapi justru dana turun pada bulan
September. Oleh karena itu, sekalipun program ini dapat memperbaiki produksi
dari 55 ton per hektar menjadi 73 ton per hektar, akan tetapi kurang memiliki
dampak yang signifikan terhadap
peningkatan pasokan garam petani.
Program garam untuk rakyat
ternyata juga kurang menarik minat petani untuk memperluas lahannya. Sampai
tahun 2014, luas lahan garam sekitar 27.898 hektar atau turun sekitar lima
persen dibanding tahun 2013 yang luasnya 29.367,82 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa garam pada
dasarnya belum menjadi salah satu komoditas yang menguntungkan bagi petani,
meskipun permintaannya tinggi.
Bahkan jumlah petani yang
mengusahakan tambak garam mengalami penurunan. Data Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2016 menyebutkan jumlah petani garam tahun
2012 sebanyak 30.668 jiwa menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar
8.400 petani garam yang alih profesi.
Kondisi tersebut tidak
terlepas dari harga garam rakyat yang rendah. Untuk kualitas satu (K1)
berkisar Rp 540-Rp 550 per kilogram (kg).
Padahal harga patokan pemerintah Rp 750/kg . Sebaliknya,
petani nyaris kurang menikmati manfaat ketika harga garam naik
karena lemahnya posisi tawar petani
dalam menghadapi kartel perdagangan garam
di tingkat lokal yang menentukan kualitas dan harga secara sepihak.
Banyak pihak menilai bahwa
krisis garam selama ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah memberi insentif
kepada petani garam melalui harga dan teknologi yang menjamin kenaikan
produksi garam di tingkat petani.. Jika itu bisa dilakukan, petani secara
mandiri dan maksimal dapat melakukan perbaikan kapasitas dan kualitas garam
karena terkait dengan kelangsungan penghidupannya.
Tanggung
jawab negara
Memproduksi garam
berkualitas tinggi untuk pasar industri jelas butuh waktu berbulan- bulan.
Tentu ini sulit dipenuhi oleh petani yang punya banyak keterbatasan; mulai
dari modal, teknologi, hingga saluran distribusi. Terlebih petani acapkali
membutuhkan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan. Karena itu, petani umumnya memproduksi
hanya dalam hitungan hari dan menghasilkan garam kualitas rendah.
Dengan demikian,
swasembada garam adalah suatu keniscayaan dan merupakan tanggung jawab negara
untuk mewujudkan. Artinya, pemerintah perlu melakukan investasi dalam
memperkuat industri garam rakyat dan tidak cukup atau sekedar memberi bantuan modal yang terbatas
melalui program garam untuk rakyat.
Ada dua kebijakan yang
dapat dibangun. Pertama, mendirikan badan layanan umum yang khusus membiayai
kebutuhan investasi garam di tingkat petani: mulai dari pembukaan lahan
hingga pengolahan pasca panen, sehingga menghasilkan garam dengan kandungan
NaCI tinggi, magnesium rendah dan kadar air rendah.
Kedua, mengorganisir
petani garam dalam suatu kelembagaan koperasi maupun perusahaan sebagai
entitas bisnis, mengingat untuk memproduksi garam berkualitas dibutuhkan
lahan yang luas, fasilitas pengolahan skala besar dan dukungan teknologi
serta manajemen usaha yang profesional. Dengan begitu kepastian garam dari
sisi kuantitas, kualitas dan kontinuitas dapat terjamin.
Pada dasarnya tidak sulit
bagi pemerintah jika benar-benar ingin merealisasikan terwujudnya swasembada
garam nasional. Jika tak direalisasikan maka publik akan menilai bahwa
pemerintah sesungguhnya memang tak ingin ada swasembada garam untuk
kesejahteraan petaninya. Bukankah impor lebih memberi manfaat ekonomi bagi
aparat ketimbang rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar