Minggu, 18 Mei 2014

Tema dalam Seni Rupa Kita

Tema dalam Seni Rupa Kita

Aminuddin TH Siregar  ;   Direktur Gallery Soemardja Departemen Seni Rupa-ITB
KOMPAS,  18 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tema-tema yang muncul dalam karya seniman kontemporer kita dewasa ini belum menunjukkan perkembangan yang menggairahkan kalau tidak bisa dibilang hanya berjalan di tempat. Setelah tema ”kerakyatan” pada zaman Revolusi menyusul (atau berbarengan) dengan tema personal pada dekade 1950-an melalui formalisme kaum akademis yang meyakini universalitas nilai, tema seni rupa memasuki masa transisi menjelang kebaruan.

Hal itu ditandai oleh karya-karya seniman muda yang terlibat dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) pada paruh 1970-an. Mereka cukup berhasil membuka jalan bagi pluralitas tema yang selama itu tersumbat. Namun, di masa itu pula, muncul tema-tema yang memadukan bahasa estetika tradisi dan modern yang tak kalah penting. Sebutlah karya-karya Priyanto Sunarto, Haryadi Suadi, T Sutanto, G Sidharta Soegijo, dan AD Pirous. Mereka melebarkan jalan bagi kekayaan tema seni rupa sekaligus menjembatani kembali keterputusan antara ketradisian dan kemodernan dalam kultur Indonesia.

Pada dekade 1990-an, pluralitas tema seni memasuki masa keemasan. Tak hanya tema, varian-varian baru dalam media, teknik, dan presentasi karya (instalasi, seni performans, seni lingkungan, dan sebagainya) banyak bermunculan. Seniman-seniman pada dekade ini, seperti Heri Dono, Tisna Sanjaya, dan Moelyono, berjasa memajukan tema-tema segar guna menambah vitamin buat seni rupa kontemporer Indonesia. Saya menamakan kecenderungan tema pada masa ini sebagai ”tema (yang) inklusif”—yang memungkinkan terbukanya partisipasi publik dalam berbagai kegiatan seni dan mencairkan kekakuan seni sehingga memungkinkan orang bebas menikmati seni rupa dari beragam perspektif. Sementara itu, muncul kecenderungan tema dari arah lain. Saya menyebutnya ”tema (yang) eksklusif” atau ”ekstraktif” yang wataknya berlawanan dengan tema inklusif. Dalam koridor tema ekstraktif ini, seni dirancang untuk menguras, mendompleng, menyadap kekayaan (pluralitas) khazanah budaya Indonesia. Pada masa Orde Baru, sekadar contoh, tema-tema seni rupa cenderung eksklusif/ekstraktif sebab memang ”didesain” untuk mendukung rezim berkuasa. Di era ini rintisan G Sidharta dan kawan-kawannya pada 1970-an berakhir pada kemapanan. Corak budaya tradisi dari sebuah etnis diperas dan dikeruk semata untuk melayani hasrat estetis seniman secara pribadi dan tertutup dengan mengabaikan partisipasi masyarakat aslinya.

Seni yang menawarkan nilai inklusif senantiasa mengusahakan pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan sosial masyarakat yang lebih terbuka dengan memperhatikan dan membina toleransi secara sungguh-sungguh atas perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, agama, etnik, budaya, dan lainnya. Adapun yang eksklusif/ ekstraktif cenderung tertutup—dengan mematok individu sebagai pemain utama dan pada gilirannya menempatkan praktik seni sebagai ranah yang elite sebatas lingkaran mereka saja.

Hubungan sinergis antara tema inklusif dan ekstraktif sebenarnya menciptakan celah yang memberi peluang selebarnya bagi seniman untuk mendinamiskan medan seni. Hanya saja, dalam realisasinya, para seniman terlihat kikuk dalam mengelola tema seninya. Yang terjadi kemudian adalah munculnya ”kritisisme-keilmiahan semu” dengan mengedepankan kesewenang-wenangan dalam menafsirkan realitas sosial didorong kebebasan tak terbatas dengan dalih seni.

Sebenarnya bisa diamati bagaimana institusi seni ekstraktif (seperti biennale) bisa berkedok inklusif. Mereka antara lain tidak sungguh-sungguh menggalang partisipasi orang banyak selain sebagai ”penghias dokumentasi” guna mengabsahkan proposal mereka kepada pihak donatur. Dalam koridor ini, khalayak dibelah ke dalam berbagai segmen dan dilibatkan dalam ”proyek (atas nama) seni”. Dalam batas-batas tertentu, niatan itu sungguh mulia dan layak diberi dukungan. Hanya saja, alih-alih memberdayakan, institusi tersebut justru terjebak ke dalam rutinitas dan memosisikan rakyat sebagai (obyek) kerumunan/penonton. Setelah pesta perhelatan usai, seniman pun berpisah dan meninggalkan kerumunan untuk kembali merencanakan proposal baru.

Agama direpresentasikan

Belakangan ini biennale seni rupa bermain dalam dualisme inklusifekstraktif. Dari dua perhelatannya yang terakhir, sebuah biennale di Indonesia mematok tema yang diharapkan bisa membangun jembatan pemahaman antardua kantong budaya. Yang menarik sekaligus menjadi masalah adalah bagaimana karya seni yang menyoal agama tiba-tiba muncul di tengah arena. Karya-karya itu terjebak ke dalam pusaran yang membingungkan dan malah menciptakan tanda tanya baru. Salah satu sampul katalogus yang diterbitkan, misalnya, menampilkan seorang perempuan muda berjilbab diapit dua ekor anjing besar. Kita bisa membaca makna semiotik katalogus itu sebagai upaya mencairkan tegangan antara ”kesucian” dan ”kenajisan” dalam keyakinan beragama. Gagasan itu bisa menarik apabila ditangani dengan kepekaan dan ilmu yang cukup. Tapi gagasannya cenderung mencair ke metonimia hampa atas nama seni. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana Islam direpresentasikan dalam seni kontemporer dengan cara-cara yang reduktif dan tidak peka sembari tidak memikirkan dampak terjauhnya terhadap umat pemeluk agama tersebut. Hilangnya kepekaan institusi biennale tersebut juga menandai lemahnya komitmen kaum seni dalam menghargai toleransi yang sudah beratus tahun berlangsung di Tanah Air.

Tak hanya itu, sejumlah seniman kini menghadirkan suara azan sebagai (tema) karya. Sayangnya, mengapa dan bagaimana suara azan itu hadir dan dipermasalahkan tidak didukung artikulasi dan pemahaman ilmu yang memadai. Alih-alih malah menciptakan misrepresentasi dan distorsi dalam menggambarkan agama.

Seni rupa yang cair

Dengan mengamati tema karya, apa yang kita pahami sebagai seni rupa kontemporer Indonesia sesungguhnya dipenuhi oleh berbagai kenaifan, stereotip, pragmatisme, konfrontasi, dan penyalahgunaan. Akibatnya, seni rupa berkembang tidak secara konstruktif. Satu dekade dalam abad baru ini hampir kita lalui lengkap dengan hiruk-pikuk yang tidak bisa memalingkan diri pada kenyataan bahwa seni rupa kita berkembang tanpa arah. Akhir-akhir ini situasinya bahkan semakin memburuk, tatkala para pelaku seni merasa tidak ada logika maupun teori seni (khususnya dari sudut pandang kita sendiri) yang layak dijadikan acuan.

Salah satu kontribusi terbesarnya berasal dari institusi-institusi seni ekstraktif berkedok inklusif tadi. Di tangan mereka, seni dicairkan sehingga melampaui fundamen maupun batas keilmuannya. Hasilnya tidak hanya membingungkan senimannya sendiri sebagai pelaku, tetapi juga memunculkan simtom kepribadian yang terbelah: seni berguna bagi dirinya; dan juga (pasti) berguna bagi masyarakat. Akibatnya sering kali fatal: karya seni gagal mencapai derajat keilmiahan (sekalipun bersembunyi di belakang kedok riset); dan gagal mencapai tingkat artistik yang bermutu (dua gejala itu tampak dalam biennale ibu kota yang terakhir). Yang mengkhawatirkan adalah bagaimana para seniman itu merasa mampu dan berhak merepresentasikan apa-apa di luar dirinya dengan kesewenang-wenangan yang (seakan-akan) tak terbatas tanpa menghiraukan efek subliminalnya terhadap khalayak.

Nah, daripada mempermasalahkan doa dalam agama, bukankah dengan ketajaman mata dan penghayatan seniman menjalani kehidupan di negara ini, cakrawala tema seni terbentang maha luas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar