Tahun
2014 El Nino, Kita Panen Ikan
Indroyono
Soesilo ; Direktur
Sumber Daya Perikanan dan Akuakultur FAO-Roma;
Mantan Deputi
TPSA-BPPT;
Mantan Kepala
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP)
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
PADA
Juni-Juli 2014, pandangan mata penduduk bumi akan mengarah ke Brasil.
Kompetisi Piala Dunia di negeri ”Samba” akan menentukan siapa jawara nomor
wahid sepak bola sejagat.
Namun,
klub-klub sepak bola Eropa yang akan bertarung di Brasil justru ketar-ketir.
Bukan karena antisipasi lawan tanding dari negara-negara Amerika Latin yang
terkenal tangguh itu, melainkan karena informasi yang dikeluarkan Pusat
Pemantauan Iklim Badan Atmosfer dan Kelautan AS (NOAA).
Buletin
NOAA, Mei 2014, menyatakan bahwa 75 persen kemungkinan El Nino akan hadir
tahun ini. Berarti, pada Juni-Juli 2014 diprakirakan kemarau panjang akan
melanda Brasil. Udara akan panas dan kering, yang sudah pasti akan melemahkan
stamina para pesepak bola Eropa yang terbiasa bermain di wilayah dingin dan
subtropis.
El Nino
adalah fenomena variabilitas iklim, di mana ”kolam panas” (warm pool) yang berada di Samudra
Pasifik bagian barat sepanjang khatulistiwa bergeser ke arah timur yang
dikenal sebagai El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Bila
diasumsikan bahwa ”kolam panas” memicu penguapan air laut sehingga kelembaban
meningkat, maka akan disusul dengan turunnya hujan di musim hujan.
Permasalahannya,
dengan bergesernya ”kolam panas” di Samudra Pasifik dari barat ke timur, pola
iklim berubah sehingga musim kemarau di wilayah Nusantara dan di wilayah
pantai barat Amerika Latin menjadi lebih panjang. Selain kemarau panjang,
ENSO akan mengakibatkan gagal panen, berkurangnya produksi ikan, dan
munculnya berbagai penyakit.
Fenomena
ENSO paling parah melanda wilayah Indonesia kurun September-November
1997. Kala itu, kemarau panjang
mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa
Timur. Asap menyebar hingga Malaysia dan Singapura. PLTA Jatiluhur, Saguling,
dan Cirata kekurangan pasokan air. Terjadi gagal panen. Penyakit demam
berdarah, diare, dan pernapasan merajalela.
Pemerintah disibukkan oleh operasi hujan buatan, operasi pengeboman
air dari udara, dan operasi pemadaman kebakaran hutan di darat, mengerahkan
27 pesawat udara dari lima negara. Alhasil, ENSO berlanjut dengan krisis
ekonomi, lalu krisis politik, dan dipuncaki peristiwa Reformasi, Mei 1998.
Seusai
ENSO 1997-1998, para ilmuwan mencermati fenomena alam ini dan berkesimpulan bahwa
ENSO terjadi secara periodik, 5-8 tahun sekali. Kehadirannya dapat diprediksi
melalui pemantauan laut sehingga antisipasi bisa dilakukan. Memang ENSO
berakibat menurunnya hasil tangkapan ikan di pantai barat Amerika Latin.
Tetapi, sebaliknya, di pantai barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa
Tenggara, nelayan justru panen ikan.
Perlu disebarluaskan
Hasil
pantauan satelit Seawifs memperlihatkan, pergerakan ”kolam panas” Samudra
Pasifik dari barat ke timur diikuti dengan pergerakan arus Samudra Hindia
dari barat ke timur pula, yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD). Oleh karena itu, sebaran klorofil,
sebagai sumber pakan ikan, terkumpul di sepanjang pantai barat Sumatera dan
di pantai selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Sesuai
pola rantai makanan, gerombolan ikan akhirnya juga berenang ke arah kumpulan
klorofil tadi. Dengan demikian, saat ENSO muncul, pantai barat Sumatera dan
selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara akan panen ikan dan membuat nelayan
ceria.
Guna
mengantisipasi ENSO 2014, sudah selayaknya Indonesia memperkuat jaringan
pemantauan lautnya dengan memasang lebih banyak buoy, pelampung pemantau arah
dan kecepatan arus, sebaran klorofil, dan temperatur muka laut. Ini sudah
rutin dilaksanakan ahli-ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggunakan armada kapal
riset Baruna Jaya mereka. Di samping itu, jaringan sistem informasi ENSO RI
perlu diikatkan dengan jaringan NOAA-Maryland maupun IRI-New York. Selain itu
lagi, informasi prakiraan ENSO perlu lebih disebarluaskan kepada masyarakat.
Apalagi
saat ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sudah beralih rupa jadi Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Antisipasi kebakaran hutan
dan lahan sudah bisa dilaksanakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). Yang akan menangguk keuntungan akibat ENSO tentunya para nelayan di
sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara.
Namun,
tanpa persiapan sistem rantai dingin yang memadai serta pola pemasaran yang
jitu, ikan yang berlimpah akan menjadi busuk dan mubazir. Kementerian Kelautan dan Perikanan,
tampaknya, perlu turun tangan. Ternyata, selalu ada berkah di balik bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar