Soalisme
dan Jawabanisme
Bandung Mawardi ;
Penulis buku
Pendidikan: Tokoh, Makna, Peristiwa (2014)
|
SUARA
MERDEKA, 02 Mei 2014
DULU ada
Ibu Sud (1908-1993), penggubah lagu anak-anak yang mendokumentasikan situasi
bersekolah saat masa pendudukan zaman. Imajinasi belajar dan Indonesia
termuat pada lagu itu, mengesankan ada kehendak besar: Indonesia ditentukan
oleh pendidikan. Pesan dalam lagu terus melintasi zaman meski orang-orang
mulai tak mengingat latar historis lagu dan peran penggubah lagu. Tahun 1943,
Ibu Sud menggubah ”Pergi Beladjar”,
lagu sederhana dan menggugah. Lagu bocah dari masa lalu pantas kembali
dilantunkan, tanggapan atas situasi pendidikan dan diskursus sekolah di
Indonesia. Lirik impresif, ”O iboe dan
ajah selamat pagi/ koe pergi beladjar sampaikan nanti/ Selamat beladjar, nak,
penoeh semangat/ Radjinlah selaloe tentoe kaoe dapat/ Hormati goeroemoe
sajangi teman/ Itoelah tandanja kaoe moerid boediman.” Lirik lagu itu
akrab bagi bocah, diajarkan sejak SD.
Kita
mungkin lupa ada lirik lanjutan, mengungkap kebermaknaan murid dan sekolah, ”O iboe dan ajah terimakasih/ koepergi
sekolah sampaikan nanti/ Latihlah badanmoe, nak, soepaja sehat/ latihlah
batinmoe soepaja koeat/ Tetapkan hatimoe gagah berani/ Selaloe gembira dan
loeroes hati.” Lagu beramanat pendidikan. Apakah para siswa saat
mengikuti ujian nasional (UN) masih mengingat lagu gubahan Ibu Sud? Apakah
para orang tua dan guru bakal mengingatkan pesan-pesan dalam lagu itu? Kita
tak perlu tergesa menjawab tapi mesti mengartikan dulu ungkapan rajin belajar
sebelum meributkan ujian nasional.
Pesan orang tua dalam lagu Ibu Sud,
”Radjinlah selaloe tentoe koe dapat.” Pesan bisa digenapi ungkapan klise
rajin pangkal pandai. Orang tua tak jemu menggunakan ungkapan-ungkapan lawas
agar ada kesungguhan bagi para bocah bersekolah. Tujuan belajar di sekolah
adalah menjadi ”moerid boediman”. Kita ”mencurigai” cara berpikir Ibu Sud.
Mengapa ia tak menggunakan ungkapan ”murid cerdas” atau ”murid pandai”,
sesuai kehendak pemerintah dan keluarga di Indonesia?
Kita
mesti insyaf, ungkapan ”moerid boediman” sudah dimusnahkan oleh ambisi
membentuk murid cerdas demi kehormatan bangsa di mata dunia. WJS
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan budi:
”pikiran, akal, keinsjafan menentukan baik-buruk; tabiat, watak, achlak;
perbuatan baik, kebaikan.” Pengertian budiman: ”bidjaksana, pandai”.
Pengertian ”budi” dan ”budiman” sudah mulai dilupakan, tenggelam dalam arus
sejarah. Bersekolah adalah mengajak murid menjadi berbudi atau budiman.
Sekarang, bersekolah untuk tujuan agung: ujian. Murid mengikuti ujian harus
rajin belajar agar bisa menjawab soal dengan benar. Hasil ujian menentukan
murid mendapat cap pintar atau pandai meski saat pengerjaan ujian melakukan
kecurangan atas kehendak sendiri atau kehendak guru dan kepala sekolah. Ujian
demi pembuktian kecerdasan atau kepandaian.
Ujian
adalah urusan soal dan jawaban. Kita tak pernah mendapati penjelasan bahwa
belajar adalah mengasah budi supaya murid bisa memahami pelajaran dan
mengerjakan pelbagai ujian dengan ”gembira” dan ”loeroes hati”. Ujian
Nasional Sekarang, bersekolah memiliki tujuan pasti: pemahaman soal dan kemampuan
menjawab. Peran guru dan buku pelajaran diarahkan agar tercipta paham
pendidikan mutakhir: soalisme dan jawabanisme. Sejak SD sampai SMA, murid
menerima propaganda bahwa keberhasilan bersekolah ditentukan oleh soalisme
dan jawabanisme. Orang tua tentu turut menganjurkan ”bersekolahlah demi soalisme dan jawabanisme” Tujuan pendidikan
nasional pun bergantung soalisme dan jawabanisme. Selama 12 tahun, murid
menjalani harihari bersekolah dengan keberlimpahan soal dan jawaban. Puja
soalisme dan jawabanisme makin dibesarkan dengan mengikutkan murid ke lembaga
bimbingan belajar. Mereka dibelikan buku-buku berisi latihan soal ujian dari
pelbagai penerbit. Acara pelatihan ujian sering diadakan sekolah dan pelbagai
lembaga belajar. Pembuktian dari paham soalisme dan jawabanisme adalah ujian
sekolah dan ujian nasional.
Hasil
ujian menentukan nasib dan masa depan. Konon, menteri dan pejabat juga
menganut gagasan besar bahwa ujian penentu peradaban Indonesia. Fantastis.
Ujian nasional merepotkan pelbagai pihak, merangsang kemunculan obsesi dan
kecurangan. Pengertian ujian tak berpijak ke pendidikan dan pengajaran. Ujian
adalah urusan politis. Peristiwa ujian adalah kumpulan keganjilan pendidikan
di Indonesia. Nilai jadi tujuan. Lulus jadi obsesi. Bersekolah berhenti di
titik paling menentukan: ujian. Kita tentu berhak memberi ingatan agar ujian
tak ”merusak” keadaban dalam pendidikan. Ki Hadjar Dewantara (1930) berpesan
bahwa pendidikan dan pengajaran berperan ”membentoek manoesia merdeka
segala-galanja: merdeka pikirannja, merdeka batinnja, dan merdeka poela
tenanganja, soepaja dapat bermanfaat bagi bangsa dan Tanah Air.” Tujuan mulia
berganti nilai dan kelulusan.
Sekarang, rajin belajar adalah ungkapan
represif. Murid dianggap rajin belajar bila sering mempelajari buku-buku
latihan soal ujian dan menghapalkan jawaban. Rajin belajar juga berarti ikut
lembaga bimbingan pelajar atau les tambahan di rumah. Kegembiraan dan
”loeroes hati” gampang berganti dengan derita, lelah, siksa, cemas, dan
minder. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar