Sisi
Lain Dilema Tembakau
Agus Widjanarko ;
Mahasiswa
PS-IKM Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta
|
KOMPAS,
03 Mei 2014
TEBERSIT kabar pada rapat
koordinasi bidang kesejahteraan rakyat di Kemenko Kesra pada 1 April lalu,
tinggal Kementerian Perindustrian yang belum menyetujui aksesi Framework
Convention on Tobacco Control. Ada dorongan kuat dari Direktur Jenderal WHO
kepada Presiden RI untuk segera melakukan aksesi kerangka kerja dimaksud
untuk melengkapi penghargaan terhadap Presiden RI dalam memimpin Panel
Tingkat Tinggi PBB membahas Agenda Pembangunan Pasca 2015.
Apabila Presiden Megawati
menandatangani UU SJSN pada jam-jam terakhir masa pemerintahannya, akankah
Presiden SBY juga bersikap serupa dengan menyetujui aksesi Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC)?
Yang pasti, data empiris
menunjukkan bahwa kendati telah dikembangkan berbagai regulasi yang membatasi
konsumen rokok, setiap tahun produksi rokok serta setoran cukai ke kas negara
selalu meningkat.
Premis yang diyakini khalayak
adalah tinggi rendahnya tingkat konsumsi rokok warga suatu negara berkorelasi
dengan ketat longgarnya regulasi rokok.
Saat ini Indonesia menduduki
peringkat ketiga dunia untuk konsumsi rokok setelah Tiongkok dan India.
Padahal, hingga tahun 2009, Indonesia masih menempati peringkat keempat
setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Rusia.
Sudah ada UU
Undang-undang kesehatan yang
mengakomodasi pembatasan merokok sudah dibuat. Peraturan pemerintah yang
lebih rinci juga telah disusun.
Dalam praktiknya, peringatan
dalam kemasan rokok bukan lagi ancaman basa-basi, tetapi langsung menohok:
merokok membunuhmu! Namun, semuanya belum mampu menekan prevalensi perokok di
Tanah Air.
Di lapangan sepak bola dikenal
fenomena flare (kembang api). Sanksi baik dari FIFA maupun AFC sangat tegas.
Bagi tim yang pendukungnya
menyalakan kembang api dalam sebuah pertandingan, selain denda, tim juga bisa
dijatuhi hukuman tidak boleh bertanding di stadion kandang. Namun, apa mereka
jera dengan sanksi ini?
Justru yang terjadi sebaliknya,
yang muncul adalah ”selera menantang” (bahasa Jawa: njarag) terhadap upaya
penegakan. Serasa ada kebanggaan diri apabila mampu dan berhasil melawan
”kemapanan”.
Perilaku ini juga menghinggapi
para perokok. Semakin mereka dilarang atau ditakut-takuti, semakin mereka
menunjukkan kenekatan.
Sangat disadari bahwa mengubah
perilaku bukanlah pekerjaan mudah. Butuh ruang dan waktu yang lapang.
Perilaku dapat diubah dengan berbagai
mekanisme, yaitu dengan mengubah sikap melalui pengumpulan lebih banyak
informasi atau mengubah norma-norma yang berlaku supaya perilaku tertentu,
termasuk tidak merokok, dapat diterima.
Hasil penelitian yang dilakukan
para ahli kesehatan jiwa di Amerika Serikat, Jerman, dan Swiss yang dirilis
dalam Journal of Experimental Social
Psychology pada Desember 2009 memperlihatkan bahwa pesan-pesan anti rokok
yang dikaitkan dengan tema-tema kesehatan dan kematian tidak signifikan
memengaruhi perilaku perokok.
Pertimbangan hidup sehat malah
menghasilkan upaya aktif seperti tecermin pada kesediaan mereka untuk
melanjutkan perilaku merokok yang berisiko.
Di satu sisi, pesan peringatan
yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan ataupun kematian justru secara efektif
mengurangi sikap merokok, terutama jika perokok makin besar melandasi
kebanggaan diri mereka pada perilaku merokok.
Peringatan seperti ”merokok
membuat Anda tak menarik” barangkali sangat mengancam orang yang percaya
bahwa merokok mampu membuat mereka merasa bercitra diri prima.
Peringatan bahaya
Bagaimana dengan rencana
pencantuman gambar pada kemasan rokok?
Diyakini, peringatan ancaman
yang merugikan kesehatan berwujud gambar dapat menekan prevalensi perokok,
seperti yang telah dipraktikkan di negara tetangga, Singapura, Thailand,
Malaysia, dan Brunei.
Peringatan kesehatan berupa
gambar pada kemasan rokok lazimnya akan memuat gambar gangguan janin akibat
rokok, atau memuat gambar kanker mulut lengkap dengan tulisan pesan akan
bahayanya.
Namun sekali lagi, selain karena
semua belum dapat dibuktikan, tidak menutup kemungkinan perilaku perokok
Indonesia juga memang berbeda dengan negeri-negeri jiran itu.
Demikian halnya dengan aksesi
FCTC yang belum terwujud di Indonesia. Di banyak negara, FCTC memang menjadi
pedoman yang ampuh dalam menyehatkan warganya dari bahaya rokok.
Namun,
Tiongkok dan India belum mampu melepaskan diri dari peringkat atas konsumsi
rokok walau kedua negeri tersebut telah meratifikasi FCTC. Jangan-jangan
begitu juga dengan Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar