Setop
Kekerasan di Kampus
Asmadji
As Muchtar ; Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo Jawa Tengah
|
REPUBLIKA,
05 Mei 2014
Di dunia
persilatan tidak ada juara nomor dua. Di dunia persuratan, tidak ada juara
nomor satu. Pepatah lama ini relevan untuk didengungkan lagi karena setiap
tahun selalu terjadi kasus kekerasan di kampus yang dilakukan mahasiswa
senior terhadap mahasiswa juniornya. Baru-baru ini, kasus kekerasan di sebuah
kampus kembali terjadi dan menelan korban jiwa.
Apa pun
motivasinya, kekerasan tidak layak dilakukan, khususnya di kampus karena
merupakan dunia untuk menyemai ilmu persuratan (intelektual)
yang harus
dibedakan dengan ilmu persilatan yang identik dengan kekerasan.
Di kampus,
mereka yang senior seharusnya membina mereka yang junior untuk mengembangkan
intelektual dalam arti luas. Karena itu, yang harus diutamakan adalah spirit
asah asih asuh, bukan spirit hajar hingga hancur-hancuran.
Harus dilestarikan
Spirit
asah asih asuh merupakan formula penting yang harus dilestarikan di kampus
agar setiap individu yang masuk dan keluar dari kampus menjadi manusia yang cerdas,
bijak, dan sayang kepada sesama. Dalam praktiknya, spirit asah asih asuh
tidak akan menelan korban karena tidak ada kekerasan psikis atau kekerasan
fisik. Justru, spirit asah asih asuh akan menyenangkan bagi semua pihak.
Misalnya, semula masing-masing belum saling mengenal, tapi setelah melewati
proses asah asih asuh kemudian saling mengenal, sayang, dan hormat menghormati.
Bahkan,
spirit asah asih asuh yang harus dilestarikan tidak sebatas sikap dan perilaku
sehari-hari di kampus antara senior dengan junior, tapi juga terkait biaya
pendidikan. Misalnya, kebijakan subsidi silang yang berlaku sebetulnya
merupakan implementasi spirit asah asih asuh, agar mahasiswa dari keluarga
tidak mampu tidak akan putus kuliah karena mendapat subsidi dari mahasiswa
dari keluarga mampu.
Di
kampus, seharusnya tidak boleh ada pihak yang menghajar hingga babak belur
yang identik dengan kekerasan biadab. Dalam hal ini, pihak senior tak perlu
mengajar pihak junior dengan sikap emosional dan tindakan kekerasan, hingga menelan
korban cedera atau meninggal dunia.
Harus
diakui, kasus-kasus kekerasan yang masih sering terjadi di kampus yang
dilakukan pihak senior terhadap pihak junior merupakan kekonyolan yang harus
disetop. Dalam hal ini, ada mata rantai dendam yang disemai pihak senior
kepada pihak junior yang harus diputus.
Karena
itu, upaya menghentikan kekerasan di kampus perlu didukung semua pihak dan
jika masih ada yang melakukannya harus diganjar hukuman berat agar
betul-betul jera. Tanpa ada hukuman berat, kekerasan di kampus yang dilakukan
senior terhadap juniornya mungkin akan terus terjadi setiap tahun mewarnai hiruk-pikuk
penerimaan mahasiswa baru yang bisa memalukan bangsa dan menimbulkan
dukacita.
Bisa menakutkan
Jika
kekerasan di kampus tidak dihentikan, imbasnya kampus bisa menakutkan bagi
calon mahasiswa baru yang notabene generasi penerus bangsa. Hal ini tentu
bisa merugikan bangsa dan negara dalam arti luas. Misalnya, betapa ruginya
bangsa dan negara jika semakin banyak lulusan sekolah menengah atas merasa
takut melanjutkan pendidikan gara-gara di kampus selalu terjadi kekerasan
yang menyertai proses penerimaan mahasiswa baru.
Untuk
konteks Indonesia yang penduduknya masih banyak yang hidup di bawah garis
kemiskinan, kekerasan di kampus bisa juga terkait mahalnya biaya kuliah bagi
rakyat yang kurang mampu. Karena itu, upaya memopulerkan kebijakan subsidi
silang harus semakin digalakkan.
Untungnya,
rakyat Indonesia beragama, sehingga subsidi silang bisa dikaitkan dengan
ajaran agama. Misalnya, subsidi silang identik dengan sedekah bagi yang
berkelebihan kepada mereka yang kekurangan, sebagaimana yang diperintahkan
agama.
Jika di
kampus sudah tidak ada lagi kasus kekerasan dalam arti luas terhadap pihak
junior, pada masa yang akan datang jumlah sarjana S-1, S-2, dan S-3 mungkin
akan semakin banyak, sehingga bangsa dan negara berpotensi un tuk semakin
cepat meraih kemajuan di berbagai bidang. Sebaliknya, jika kasus kekerasan
dalam arti luas tetap saja terjadi di kampus, bukan tidak mungkin akan
semakin banyak anak bangsa yang takut kuliah, sehingga menjadi generasi yang hilang
pada masa yang akan datang.
Jika hal
ini betul-betul terjadi, bangsa dan negara kita bisa semakin terbelakang
dibanding dengan bangsa dan negara lain. Oleh karena itu, pemerintahan baru
hasil pemilu legislatif dan pilpres 2014 harus mampu menghapus ketakutan
anak-anak bangsa (khususnya dari keluarga miskin) untuk melanjutkan
pendidikan setinggi-tingginya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar