Semitioka
Buruh dan Barang
Acep Iwan Saidi ;
Komisaris
Warung Narasi Bandung
|
KOMPAS,
03 Mei 2014
Buruh
meniscayakan barang. Meskipun digantikan mesin, posisi buruh di hadapan
barang tak pernah hilang. Mesin butuh dioperasikan. Buruh operatornya.
Secara
metaforik, buruh adalah mesin. Jam
kerja adalah tombol untuk mengoperasikan buruh sebagai mesin. Bagi buruh,
lonceng mulai kerja jadi semacam tanda masuk bagi ”transformasi diri menjadi
mesin” hingga lonceng yang sama sebagai tanda waktu keluar berdentang.
Di dalam
proses produksi barang dengan situasi tubuh seperti itu, buruh tak pernah
mengetahui sejarah barang. Sebelum tercipta barang, buruh tidak hadir di
dalam konsep dan perencanaan. Pun begitu setelah barang tercipta, buruh tidak
ada di dalam distribusi. John A Walker (1989) menggambarkan bahwa posisi
buruh berada pada tahap produksi kedua di antara desain prototipe dan barang
desain.
Tampak
di situ pertemuan buruh dengan barang hanya terjadi di pabrik dalam waktu
yang sangat singkat. Pertemuan itu bersifat mekanistik. Mereka mungkin juga
banyak yang tak tahu tentang barang yang dibuatnya. Seperti buruh pembuat
huruf pada zaman peralihan dari peradaban lisan ke tulis, mereka tak mengerti
apa yang mereka kerjakan. Mereka tidak bisa membaca, tetapi setiap hari
merangkai bacaan (Ong, 1982). Dalam sebuah riset di Bali (2009), saya
menemukan beberapa remaja pembuat kerajinan dari kayu berwujud dewa dan dewi
dalam narasi kehidupan spiritual masyarakat Bali, tidak tahu-menahu soal
dewa/dewi itu. Mereka hanya buruh, bagian dari ”instalasi pabrik” kerajinan
Bali.
Fakta
demikian tentu merupakan ”ironi kemanusiaan”. Buruh seolah tidak berhak atas
pengetahuan apalagi hal-hal ideal dalam
hidup. Majikan tidak membutuhkan hal itu dari buruh. Majikan hanya
membutuhkan keringat yang produktif, yakni keringat yang menghasilkan barang.
Untuk produktivitas demikian, majikan hanya berkewajiban membayarnya dengan
sejumlah uang yang disebut upah.
Lantas
di mana posisi negara (pemerintah)? Pada ”negara konglomerasi” seperti
Indonesia, yang pembangunannya berpihak kepada pemilik modal, jelas negara tak berada dalam barisan
buruh. Kebijakan negara, dengan berbagai retorikanya, selalu tidak mampu memberi
”laba” bagi buruh. Alih-alih memberi keuntungan, cara pandang dan sikap
pemerintah mirip pengusaha. Pemerintah masih melihat buruh sebagai pengupah:
manusia yang harus dihargai dengan upah belaka. Itu sebabnya kebijakan
melindungi buruh terepresentasi dalam peraturan yang disebut upah minimum
regional (UMR) bukan kesejahteraan minimum regional (KMR).
UU atau
peraturan memang selalu merupakan generalisasi dan reduksi atas fakta
perilaku masyarakat yang diaturnya. Sistem tak pernah bisa menampung kompleksitas.
Namun, kesejahteraan yang disistematisasi dalam wujud upah (uang) kiranya
terlalu menyederhanakan permasalahan. Uang hanya satu aspek yang membuat
hidup sejahtera. Nilai uang bukan terletak pada jumlahnya, melainkan pada
bagaimana sikap terhadapnya.
Pasar semiotik
Situasi
demikian diperparah oleh kian berjaraknya
buruh dari barang—yang notabene dibuatnya itu—manakala mereka keluar
dari pabrik. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka barang bahkan jadi benda
asing yang sulit dikenali dan tak bisa dijangkau.
Ketika
masih di pabrik, nilai nominal barang berbanding lurus dengan nilai
fungsinya. Namun, nyatanya bukan nilai ini yang dikirim dan berlaku di pasar.
Sebelum sampai di pasar, barang dimasukkan dalam ”salon bahasa”, dicuci
sedemikian rupa sehingga menjelma wujud yang lain. Sebuah produk pencuci
rambut (sampo), misalnya, mungkin harga awalnya hanya 25 persen dari harga
pasar. Penambahan harga 75 persen terjadi ketika barang ditransaksikan
melalui pasar citra. Taruhlah sampo tadi diiklankan oleh seorang selebritas
ternama dengan pengarakteran yang menarik dan didukung teknologi visual yang
bagus. Dengan proses ini harga sampo pun melangit. Transaksi harga barang,
merujuk Judith Williamson (1978), justru terjadi di sini, bukan ketika barang
dibeli oleh konsumen.
Pencitraan
barang sedemikian adalah cara nilai fungsi barang diubah menjadi nilai
semiotik (tanda). Dengan proses ini, nilai tukar barang mengikuti nilai
semiotiknya, serendah apa pun nilai tersebut. Terciptalah apa yang ingin saya
namai sebagai pasar semiotik. Di pasar ini, barang-barang tidak menjelma sebagai pemenuh kebutuhan, tetapi sebagai
pemuas keinginan. Di sisi lain, pasar semiotik secara terus-menerus mengelola
keinginan menjadi seolah-olah kebutuhan.
Pasar
semiotik adalah panorama tanda, sihir visual. Pasar ini menjadikan yang
visual menjadi konsumsi sehari-hari (Schroeder, 2002). Di pasar semiotik,
harga barang sangat mahal karena penciptaannya pun memang sangat mahal. Biaya
pemasaran barang sering jauh lebih mahal daripada biaya produksi. Bukan
pemodal sebenarnya yang mengongkosinya, melainkan konsumen. Semua biaya
dikalkulasi menjadi harga barang yang dibebankan kepada konsumen.
Situasi
itu jelas memperlebar jarak antara buruh dan barang. Di dalam pabrik, buruh
hanya pembuat barang, bukan pencipta tanda. Keringat buruh yang dikonkretkan
di dalam wujud upah adalah keringat barang, bukan keringat tanda. Maka, bagaimana mungkin keringat
barang bisa ditukar dengan keringat tanda? Alih-alih mampu menukar atau
membelinya, yang terjadi justru ketegangan psikologis. Ketegangan psikologis yang menumpuk di satu sisi dan tak adanya transfer
pengetahuan yang memanusiakan buruh pada sisi yang lain berpotensi besar
menimbulkan ketegangan sosial.
Untuk mencegah ini, perspektif UMR harus diubah menjadi perspektif KMR.
Meminjam istilah Jokowi, terhadap buruh harus dilakukan mekanisme ngewongke
uwong, memanusiakan manusia, bukan hanya memeras keringatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar