Rekapitulasi
Hasil Pemilu dan Nasib Pilpres
I
Gusti Putu Artha ; Anggota KPU 2007-2012
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2014
HINGGA Selasa (6/5), dua
hari menjelang batas akhir, KPU baru mengesahkan hasil rekapitulasi 14
provinsi dalam rapat pleno rekapitulasi nasional pemilu. Sejumlah kalangan
khawatir penetapan hasil pemilu sesuai dengan batas waktu 9 Mei tidak akan
tercapai. Mengapa ada kesan rapat pleno rekapitulasi berjalan lambat, alot,
dan bertele-tele? Apa penyebab keterlambatan tersebut? Apa pula implikasinya
jika benar-benar KPU tak mampu memenuhi ketentuan undang-undang?
Berangkat dari pengalaman
10 tahun mengelola pemilu, ada persoalan yang sifatnya substantif dan teknis
administratif yang dapat dikemukakan sebagai akar penyebab berlarutlarutnya
rekapitulasi nasional Pemilu 2014. Persoalan substantif tersebut menyangkut
manajemen tahapan pemilu lima tahunan di Indonesia yang belum berjalan sesuai
dengan tahapan dan urgensinya. Hal itu juga menyangkut persoalan pilihan atas
sistem pemilu proporsional terbuka murni yang disepakati bersama.
Manajemen lima tahunan
Manajemen tahapan pemilu
lima tahunan adalah pengelolaan kalender waktu lima tahun sedemikian rupa,
sehingga skala prioritas program dan agenda kegiatan benar-benar selaras
dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan. Beberapa kali gagasan itu
disampaikan ke DPR dalam forum curah pandangan masukan RUU Pemilu, tetapi
implementasinya tidak berjalan. Kalender waktu lima tahunan, sebelum Pemilu
2014 seharusnya diatur sedemikian rupa dengan tahun pertama (2011) sebagai
tahun konsolidasi regulasi; tahun kedua (2012) konsolidasi organisasi; tahun
ketiga (2013) tahun sosialisasi; tahun ke empat (2014) tahun realisasi; dan
tahun kelima (2015) tahun evaluasi dan rekomendasi.
Namun faktanya, hanya UU
Penyelenggara Pemilu yang dapat dituntaskan pada 2011, dan bahkan UU Pilpres
batal direvisi. Keterlambatan pengesahan UU ini berimbas pada pengesahan
peraturan KPU dan terutama kemampuan KPU di daerah untuk dalam waktu cepat
menyerap substansi regulasi yang demikian menumpuk itu.
Proses konsolidasi
organisasi berupa pergantian keanggotaan KPU di semua tingkatan seharusnya
dilakukan serentak paling lambat awal 2012. Harapannya ialah, agar ada waktu
cukup bagi KPU baru di semua tingkatan untuk mengasah kapabilitas dan
kompetensinya dengan cepat, sebelum tekanan tahapan pada 2013 dihadapi.
Faktanya, regenerasi
anggota KPU terhambat. Lagi-lagi karena UU yang dibuat DPR tidak merespons
pergantian serentak itu. Maka, apa yang dapat diharapkan jika 13 KPU
kabupaten se-Papua baru dilantik tiga minggu menjelang pemungutan suara
dengan anggota yang rata-rata belum berpengalaman? Bahkan di Lampung dan
Jatim pun regenerasi baru dilakukan pascapemilu.
Dua persoalan itu,
konsolidasi organisasi dan konsolidasi regulasi, pada akhirnya berkontribusi
atas lahirnya jajaran penyelenggara di daerah yang belum berpengalaman,
kurang berkompeten secara teknis administratif dalam menangani proses
administrasi kepemiluan.
Administrasi rekapitulasi suara di rapat pleno
nasional kacau karena penyelenggara di daerah kurang paham dalam mengawal,
mengelola, serta memanajemen rekapitulasi di level bawah, dan bahkan tidak
mampu membaca dan mengisi sertifikat hasil pemilu.
Selanjutnya pilihan
parlemen atas sistem pemilu proporsional terbuka murni juga memiliki andil
atas kekarut-marutan rekapitulasi. Sistem itu berimbas pada tata cara
pencoblosan, tata cara penulisan hasil pemilu di formulir rekapitulasi yang
makin rumit dengan berpotensi terjadi kesalahan manusiawi, teknis, atau
politis.
Jika saja gambar partai
tidak boleh dicoblos (yang sah hanya coblos caleg), tidak akan terjadi
pencurian suara partai ke suara caleg yang sekarang marak. Jika saja
klasifikasi pemilih hanya dua, DPT dan DPTb, bukan empat--termasuk daftar
pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), maka
sertifikat hasil pemilu akan lebih sederhana dan tidak rumit. Lebih khusus
lagi, jika sistem pemilu proporsional tertutup, seluruh potensi pencurian
suara di internal parpol akan dapat dicegah.
Sejumlah problem
Problem yang bersifat
substantif di atas diperparah pula oleh problem yang terkait dengan kualitas
penyelenggara di level bawah dan aspek teknis manajerial. Fakta-fakta
persidangan di MK dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi
`pembajakan' penyelenggara di level KPPS, PPS, dan bahkan KPU kabupaten
termasuk panwasnya.
Pembajakan itu dilakukan oleh kelompok kepentingan
politik di wilayah tersebut. Imingiming nya bisa berupa uang atau jabatan
tertentu kelak.
Dalam konteks manajerial,
KPU saat ini seharusnya telah memiliki pemetaan wilayah provinsi yang
acapkali bermasalah sejak Pemilu 2004, yaitu Nias Selatan, Papua, Maluku, dan
Maluku Utara. KPU seharusnya secara khusus membuat prosedur operasi standar
dalam bentuk petunjuk teknis untuk memastikan aparat di bawahnya benar-benar
turun dan mengawal proses rekapitulasi, pengisian sertifikat, dan perapian
data di posisi awal sebelum keesokan harinya rapat pleno rekapitulasi di jenjang
itu.
Yang terjadi saat ini
ialah, di tengah lemahnya kompetensi penyelenggara di daerah, proses
pengawalan dan atensi problem teknis administrasi kurang berjalan maksimal di
semua tingkatan. Pemahaman atas pengisian sertifikat hasil pemilu di semua
tingkatan juga disebabkan proses bimbingan teknis yang berjalan amat
terlambat dan tak menyeluruh.
Sebagai ilustrasi ekstrem, mana mungkin 13
kabupaten di Papua yang telat dibentuk mampu melakukan bimbingan teknis ke
PPK dan PPS, apalagi KPPS, ketika mereka berhadapan dengan waktu yang tak
tersedia lagi. Belum lagi kompetensinya lemah karena tak berpengalaman
mengurus pe milu sebelumnya. Manajemen persidangan dalam rapat pleno
rekapitulasi nasional juga mesti dikritik. KPU terkesan kurang mampu
mengendalikan persidangan.
Implikasi
Jika faktanya melewati
tenggat 9 Mei, sanksi pidana bagi KPU telah menunggu. Jika rekapitulasi
selesai lebih dari empat hari, dari batas akhir, tentu akan mengganggu
tahapan pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Itu
berarti KPU mesti membuat tahapan dan jadwal baru untuk pemilu presiden dan
wakil presiden. Kendati demikian, secara teknis, coblosan pemilu presiden dan
wakil presiden tetap bisa dilaksanakan 9 Juli, dengan konsekuensi tahapan
pencalonan dan kampanye pilpres dirampingkan.
Realitas dinamika
rekapitulasi nasional saat ini telah membukakan mata kita semua, siapa pun
yang membuat undang-undang pemilu mesti benar-benar matang mengkaji berbagai
implikasi teknisnya, bukan sekadar politis. Begitu pula rekrutmen KPU di
semua tingkatan dengan standar kualitas tertentu dan jadwalnya adalah harga
mati yang harus dipertahankan (bukan kompromi politik) jika ingin hajatan
demokrasi selamat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar