Jumat, 09 Mei 2014

Rekapitulasi Hasil Pemilu dan Nasib Pilpres

Rekapitulasi Hasil Pemilu dan Nasib Pilpres

I Gusti Putu Artha ;  Anggota KPU 2007-2012
MEDIA INDONESIA,  08 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HINGGA Selasa (6/5), dua hari menjelang batas akhir, KPU baru mengesahkan hasil rekapitulasi 14 provinsi dalam rapat pleno rekapitulasi nasional pemilu. Sejumlah kalangan khawatir penetapan hasil pemilu sesuai dengan batas waktu 9 Mei tidak akan tercapai. Mengapa ada kesan rapat pleno rekapitulasi berjalan lambat, alot, dan bertele-tele? Apa penyebab keterlambatan tersebut? Apa pula implikasinya jika benar-benar KPU tak mampu memenuhi ketentuan undang-undang?

Berangkat dari pengalaman 10 tahun mengelola pemilu, ada persoalan yang sifatnya substantif dan teknis administratif yang dapat dikemukakan sebagai akar penyebab berlarutlarutnya rekapitulasi nasional Pemilu 2014. Persoalan substantif tersebut menyangkut manajemen tahapan pemilu lima tahunan di Indonesia yang belum berjalan sesuai dengan tahapan dan urgensinya. Hal itu juga menyangkut persoalan pilihan atas sistem pemilu proporsional terbuka murni yang disepakati bersama.

Manajemen lima tahunan

Manajemen tahapan pemilu lima tahunan adalah pengelolaan kalender waktu lima tahun sedemikian rupa, sehingga skala prioritas program dan agenda kegiatan benar-benar selaras dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan. Beberapa kali gagasan itu disampaikan ke DPR dalam forum curah pandangan masukan RUU Pemilu, tetapi implementasinya tidak berjalan. Kalender waktu lima tahunan, sebelum Pemilu 2014 seharusnya diatur sedemikian rupa dengan tahun pertama (2011) sebagai tahun konsolidasi regulasi; tahun kedua (2012) konsolidasi organisasi; tahun ketiga (2013) tahun sosialisasi; tahun ke empat (2014) tahun realisasi; dan tahun kelima (2015) tahun evaluasi dan rekomendasi.

Namun faktanya, hanya UU Penyelenggara Pemilu yang dapat dituntaskan pada 2011, dan bahkan UU Pilpres batal direvisi. Keterlambatan pengesahan UU ini berimbas pada pengesahan peraturan KPU dan terutama kemampuan KPU di daerah untuk dalam waktu cepat menyerap substansi regulasi yang demikian menumpuk itu.

Proses konsolidasi organisasi berupa pergantian keanggotaan KPU di semua tingkatan seharusnya dilakukan serentak paling lambat awal 2012. Harapannya ialah, agar ada waktu cukup bagi KPU baru di semua tingkatan untuk mengasah kapabilitas dan kompetensinya dengan cepat, sebelum tekanan tahapan pada 2013 dihadapi.

Faktanya, regenerasi anggota KPU terhambat. Lagi-lagi karena UU yang dibuat DPR tidak merespons pergantian serentak itu. Maka, apa yang dapat diharapkan jika 13 KPU kabupaten se-Papua baru dilantik tiga minggu menjelang pemungutan suara dengan anggota yang rata-rata belum berpengalaman? Bahkan di Lampung dan Jatim pun regenerasi baru dilakukan pascapemilu.

Dua persoalan itu, konsolidasi organisasi dan konsolidasi regulasi, pada akhirnya berkontribusi atas lahirnya jajaran penyelenggara di daerah yang belum berpengalaman, kurang berkompeten secara teknis administratif dalam menangani proses administrasi kepemiluan. 

Administrasi rekapitulasi suara di rapat pleno nasional kacau karena penyelenggara di daerah kurang paham dalam mengawal, mengelola, serta memanajemen rekapitulasi di level bawah, dan bahkan tidak mampu membaca dan mengisi sertifikat hasil pemilu.

Selanjutnya pilihan parlemen atas sistem pemilu proporsional terbuka murni juga memiliki andil atas kekarut-marutan rekapitulasi. Sistem itu berimbas pada tata cara pencoblosan, tata cara penulisan hasil pemilu di formulir rekapitulasi yang makin rumit dengan berpotensi terjadi kesalahan manusiawi, teknis, atau politis.

Jika saja gambar partai tidak boleh dicoblos (yang sah hanya coblos caleg), tidak akan terjadi pencurian suara partai ke suara caleg yang sekarang marak. Jika saja klasifikasi pemilih hanya dua, DPT dan DPTb, bukan empat--termasuk daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), maka sertifikat hasil pemilu akan lebih sederhana dan tidak rumit. Lebih khusus lagi, jika sistem pemilu proporsional tertutup, seluruh potensi pencurian suara di internal parpol akan dapat dicegah.

Sejumlah problem

Problem yang bersifat substantif di atas diperparah pula oleh problem yang terkait dengan kualitas penyelenggara di level bawah dan aspek teknis manajerial. Fakta-fakta persidangan di MK dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi `pembajakan' penyelenggara di level KPPS, PPS, dan bahkan KPU kabupaten termasuk panwasnya. 

Pembajakan itu dilakukan oleh kelompok kepentingan politik di wilayah tersebut. Imingiming nya bisa berupa uang atau jabatan tertentu kelak.
Dalam konteks manajerial, KPU saat ini seharusnya telah memiliki pemetaan wilayah provinsi yang acapkali bermasalah sejak Pemilu 2004, yaitu Nias Selatan, Papua, Maluku, dan Maluku Utara. KPU seharusnya secara khusus membuat prosedur operasi standar dalam bentuk petunjuk teknis untuk memastikan aparat di bawahnya benar-benar turun dan mengawal proses rekapitulasi, pengisian sertifikat, dan perapian data di posisi awal sebelum keesokan harinya rapat pleno rekapitulasi di jenjang itu.

Yang terjadi saat ini ialah, di tengah lemahnya kompetensi penyelenggara di daerah, proses pengawalan dan atensi problem teknis administrasi kurang berjalan maksimal di semua tingkatan. Pemahaman atas pengisian sertifikat hasil pemilu di semua tingkatan juga disebabkan proses bimbingan teknis yang berjalan amat terlambat dan tak menyeluruh. 

Sebagai ilustrasi ekstrem, mana mungkin 13 kabupaten di Papua yang telat dibentuk mampu melakukan bimbingan teknis ke PPK dan PPS, apalagi KPPS, ketika mereka berhadapan dengan waktu yang tak tersedia lagi. Belum lagi kompetensinya lemah karena tak berpengalaman mengurus pe milu sebelumnya. Manajemen persidangan dalam rapat pleno rekapitulasi nasional juga mesti dikritik. KPU terkesan kurang mampu mengendalikan persidangan.
Implikasi

Jika faktanya melewati tenggat 9 Mei, sanksi pidana bagi KPU telah menunggu. Jika rekapitulasi selesai lebih dari empat hari, dari batas akhir, tentu akan mengganggu tahapan pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Itu berarti KPU mesti membuat tahapan dan jadwal baru untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Kendati demikian, secara teknis, coblosan pemilu presiden dan wakil presiden tetap bisa dilaksanakan 9 Juli, dengan konsekuensi tahapan pencalonan dan kampanye pilpres dirampingkan.

Realitas dinamika rekapitulasi nasional saat ini telah membukakan mata kita semua, siapa pun yang membuat undang-undang pemilu mesti benar-benar matang mengkaji berbagai implikasi teknisnya, bukan sekadar politis. Begitu pula rekrutmen KPU di semua tingkatan dengan standar kualitas tertentu dan jadwalnya adalah harga mati yang harus dipertahankan (bukan kompromi politik) jika ingin hajatan demokrasi selamat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar