Presiden
Putih
Acep
Iwan Saidi ; Komisaris Warung Narasi Bandung
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
POLITIK
kita kini cenderung menjadi soal penampakan. Dengan hal itu, politik menjelma
ruang yang sarat tanda. Namun, tanda yang diproduksi bukan dalam pengertian
umum semiotika, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, melainkan
justru untuk menyembunyikannya.
Berbagai
tanda direka untuk membelokkan realitas: yang rendah divisualkan tinggi, yang
kotor ditampakkan bersih, yang minimal disulap maksimal, dan seterusnya.
Salah satu tanda yang direka itu adalah warna baju yang dipakai para
politisi, khususnya yang mencalonkan diri menjadi penguasa, mulai dari kepala
daerah hingga presiden. Warna baju yang dimaksud adalah putih. Ingatlah,
misalnya, saat Pemilu Legislatif 9
April 2014, semua calon presiden memakai baju putih ke tempat pemungutan
suara dan saat pendeklarasian capres-cawapres. Tentu pilihan ini tidak tanpa
alasan. Pakaian adalah pesan (Nordholt, 1997). Di situ warna adalah makna.
Hitam di atas putih
Putih
memang warna yang unik. Sederhana tampaknya, tetapi kompleks hal di baliknya.
Jika kita bicara ras, putih seolah-olah bukan warna. Ingatlah, kita sering
menyebut kulit putih yang diperbandingkan dengan kulit berwarna. Perbandingan
ini kiranya bagian dari imperialisme Barat dalam kebudayaan. Kulit mereka
yang putih harus dibedakan dengan ras bangsa-bangsa di negara koloni yang
umumnya coklat, sawo matang, dan hitam.
Dalam
kajian pasca kolonial, menjadi putih identik dengan menjadi terdominasi.
Barat yang putih mengandaikan dirinya sebagai ”yang superior” (Edward W Said,
1978) sehingga menjadi putih berarti meletakkan dahi di bawah kaki si
superior itu. Namun, kita memang menyukai hal demikian. Bangsa-bangsa
terjajah sering kagum terhadap apa yang dimiliki penjajah sehingga memiliki
hasrat untuk mengamuflase menjadi mirip dengannya (Bhabha, 2004).
Di kita,
sebagaimana diketahui, putih adalah mitos tentang kesucian. Cerita rakyat
Melayu yang terkenal, Bawang Putih versus Bawang Merah, memosisikan Bawang
Putih sebagai yang baik, yang menderita di awal, tetapi bahagia di akhir. Di
situ putih seolah menjadi perjalanan menuju surga yang harus ditempuh melalui
neraka. Mitos kesucian ini lantas diadopsi menjadi lambang negara.
Dikombinasi dengan merah (berani), putih menjadi bagian dari warna bendera
kita. Kombinasi keduanya mengonfigurasi makna berani karena suci. Makna ini
menggeser pesan warna bendera yang seluruhnya putih dalam peperangan, yakni
menyerah.
Bagi
umat Islam tradisional di Indonesia, putih juga berasosiasi dengan kesucian.
Putih adalah pilihan terbanyak untuk warna mukena dan serban. Pilihan ini
mungkin seturut orang (laki-laki) Arab yang selalu berpakaian putih. Orang Arab
melakukan ini sebenarnya untuk menangkal panasnya cuaca gurun.
Hal ini
berarti putih yang berasosiasi suci tidak identik dengan religiositas Islam,
tetapi merupakan proses dalam kebudayaan, ditambah kemungkinan sifat
masyarakat kita yang suka latah. Jika acuannya agama dan religiositas Islam,
seharusnya yang mengirim pesan suci adalah warna hitam. Bukankah Kabah
berbungkus kain hitam, terbuat dari batu yang juga hitam.
Selanjutnya,
putih versus hitam sedemikian menarik jika dikaji dalam perspektif semiotika
struktural yang mengacu kepada Ferdinand de Saussure (1990). Dalam perspektif
ini, tanda tidak mengacu ke realitas di luar dirinya, tetapi karena relasi
keberbedaannya dengan tanda lain. Pada rambu-rambu lalu lintas, misalnya,
merah artinya berhenti semata-mata karena ada hijau yang artinya berjalan
terus dan kuning artinya hati-hati. Dalam kajian ini, putih dan hitam merupakan pasangan berlawanan (oposisi
biner) yang hanya karena pasangan itu maknanya tercipta. Putih bermakna
sematamata karena ada hitam.
Meski
demikian, pengkritik Saussure mengklaim dalam oposisi biner, Saussure memiliki tendensi membedakan
derajat posisi dari elemen yang berpasangan, yakni yang ditempatkan pertama
selalu merupakan yang utama (pusat),
sedangkan yang kedua periferi (pinggiran). Laki-laki versus perempuan,
baik-buruk, dan tinggi-rendah adalah beberapa contoh yang bisa disebut. Dan
di sinilah soalnya menjadi menarik jika dihubungkan dengan kasus putih versus
hitam.
Ingatlah,
kita selalu menyebutnya hitam-putih, bukan putih-hitam. Apakah hal ini
berarti bahwa hitam lebih tinggi derajatnya daripada putih, seperti hitam
batu Kabah di hadapan putih pakaian ihram? Ingat pula istilah lain, yakni
hitam di atas putih, untuk menunjuk sebuah maujud teks tertulis. Ingat pula
masa datangnya ”yang kotor” dalam siklus biologis tubuh perempuan dewasa,
bukankah kita menyebutnya keputihan.
Presiden klise
Hanya,
pemahaman tersebut rupanya tidak tebersit dalam ingatan kolektif masyarakat.
Seperti para capres dan wakilnya yang memakai kostum putih, rujukan makna
putih adalah kebersihan, kesucian, dan kesederhanaan. Sebagaimana telah
disinggung di atas, makna ini telah menjadi mitos. Putih yang berarti bersih
atau suci adalah konotasi (makna asosiatif) yang telah menjadi denotasi
(makna sebenarnya). Pengucapannya yang berulang dari zaman ke zaman telah
menjadikan makna ini menjadi klise. Inilah yang oleh Paul Ricoeur (1997)
disebut sebagai metafora mati.
Dalam
kerja kreatif, pengguna metafora mati adalah individu yang tidak kreatif.
Individu demikian terjebak pada pikiran dan perilaku umum, luaran, klise.
Seniman yang hanya bisa menggunakan metafora mati dapat dipastikan akan
segera bangkrut.
Apakah
para capres-cawapres kita sekarang demikian pula? Tentu masih harus
dibuktikan lima tahun ke depan. Hanya, saya cenderung mengusulkan agar
janganlah terlalu ”memutih-mutihkan” diri. Rakyat sudah begitu cerdas. Kini,
sebaik-baiknya citra adalah kejujuran. Dan jika paham bahwa ciri Indonesia
adalah keberagaman, warna yang cocok tentu yang beragam, dengan motif ramai
seperti batik. Jika hendak ekstrem, kiranya warna hitam malah lebih menonjok.
Hitam itu gelap, tetapi hanya di dalam gelap kita menemukan cahaya. Adapun
putih, kita tahu, adalah warna yang mudah terkena noda. Maka, repotlah negeri
ini jika ke depan punya ”presiden putih” dalam arti demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar