Pendidikan
yang Memerdekakan
Niken Ulfah Rahmaningrum ; Pengajar di MTs N Model Sumberlawang, Sragen
|
SINAR
HARAPAN, 02 Mei 2014
Tolok
ukur keberhasilan politik, ekonomi, maupun pendidikan adalah seberapa jauh
usaha itu bisa memberikan ruang dan fasilitas bagi pengembangan kepribadian
dan kebebasan masyarakatnya (Amartya
Sen, Development as Freedom: 2000).
Artinya,
proses dan hasil pembangunan dinilai gagal jika tidak mampu meningkatkan
harkat kemanusiaan.
Di
sinilah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei semakin berarti
dengan kondisi bangsa kita saat ini. Itu karena pendidikan berperan penting
untuk mengembangkan kepribadian dan potensi manusia.
Namun,
praktik-praktik pendidikan kita masih kerap memunculkan berbagai anomali,
ironi, bahkan tragedi. Setelah pemberlakuan Kurikulum 2013 yang terkesan
dipaksakan, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) amburadul, kini giliran teror
kekerasan dan pelecehan seksual membayangi lembaga pendidikan kita.
Belum
lagi jika dikaitkan dengan masih maraknya praktik komersialisasi pendidikan
yang menghambat kaum tak berpunya untuk mengenyam pendidikan. Data tahun 2013
menyebutkan, jumlah angka buta aksara di kalangan anak usia sekolah masih
mencapai 11,7 juta.
Angka
ini menunjukkan betapa negara belum sepenuhnya memenuhi hak-hak pendidikan
bagi anak bangsa. Kalaupun dianggap telah memenuhi, praktik pendidikan belum
memberikan ruang leluasa bagi pengembangan potensi dan kepribadian anak
bangsa.
Mengabaikan
keberaksaraan, Geoffrey Jukes dalam The
Russo-Japanese War (2002) menyebut, penentu kemenangan Jepang atas Rusia
dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, melainkan kultur
keberaksaraan (literasi).
Saat itu
tentara Jepang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang
tentara Rusia. Ini menunjukkan agenda literasi (membaca dan menulis) melalui
jalur pendidikan menentukan martabat sebuah bangsa.
Sayangnya,
semangat literasi yang terekam dalam lembaran sejarah itu masih sering
diabaikan. Para penguasa di zaman ini terlihat tidak punya gairah untuk
melanjutkan agenda pendidikan yang memerdekakan itu.
Mereka
lebih sibuk mengurusi kekuasaan politik dan ekonomi. Nalar eksploitatif dan
uang yang mewujud pada praktik-praktik korupsi meruntuhkan etos pemberantasan
buta aksara. Terbukti korupsi anggaran pendidikan membuat kualitas pendidikan
kita kian merosot tajam.
Korupsi
bahkan menggerogoti bangunan fisik sekolah. Berita seputar gedung sekolah
dasar yang ambruk hampir menjadi catatan harian. Guru-guru kita kini juga
bukan lagi menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan pahlawan tak
berharga. Sering kita jumpai beberapa penguasa daerah yang lebih
memperhatikan gaji anggota dewan ketimbang kesejahteraan guru.
Gaji
guru selalu berada pada urutan yang paling buncit. Mereka tertindas oleh
struktur sosial politik yang belum berpihak pada hak-hak mereka sebagai,
meminjam istilah Yudi Latief (2009), “bangsawan pikiran”.
Dilema
antara peningkatan kualitas dengan pemerataan kesempatan belajar juga acap
kali menggiring pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat. Sebut saja tentang
karut-marutnya pelaksanaan UN. Tampak sekali di satu sisi pemerintah ingin
menjadikan UN sebagai barometer kualitas pendidikan nasional.
Di sisi
lain, pola yang ditempuh justru mengabaikan berbagai potensi siswa yang
notabene sangat khas dan beragam. Orientasi pendidikan masih didominasi
tradisi kognitif dan berkiblat pada standardisasi yang dibuat untuk tujuan
teknokrasi.
Alih-alih
memerdekakan, pendidikan semacam itu justru membelenggu bakat (talent), perasaan (feeling), nilai-nilai (values), dan makna-makna subjektif
yang dimiliki siswa. Akibatnya, siswa terpenjara hingga menjadi terasing dari
diri dan realitasnya.
Pendek
kata, pendidikan sejauh ini belum menjadi sarana liberasi, yakni sebuah
proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan
anak-anak bangsa. Di dalamnya belum terbuka ruang seluas-luasnya bagi
liberasi yang melahirkan sikap dan mental siswa untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berjiwa merdeka.
Sebaliknya,
out put pendidikan selama ini hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin berjiwa
kerdil, tidak responsif, dan bermental inlander yang menghamba pada
kepentingan kelas berkuasa, yakni para kapitalis dan imperialis modern.
Sebuah
kelas yang kini mengendalikan gagasan untuk memaksa secara samar agar siapa
pun berkiblat pada selera pasar yang bercorak materialistis, pragmatis,
hedonis, konsumtif, apolitis, sensual, dan fatalis.
Liberatif dan Emansipatif
Kini,
apresiasi terhadap Hardiknas tidak hanya seremoni. Spirit Hardiknas harus
ditangkap dan diwujudkan untuk membangun pendidikan yang mencerdaskan dan memerdekakan.
Kultur keberaksaraan (literasi), yang menjadi penyebab kemenangan Jepang atas
Rusia dalam sejarah, harus menjadi pemantik bagi penguasa di zaman ini untuk
memenuhi hak-hak pendidikan bagi seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.
Demikian
pula kerja pendidikan tidak hanya menjadikan anak bangsa sebatas homo
(manusia), tetapi harus menjadi “homo yang human”, yakni menjadi manusia
seutuhnya (purnawan) yang berkebudayaan dan berkeadaban. Untuk itulah
pendidikan harus menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi siswa demi
menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan
spiritual.
Pengembangan
potensi intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas ini harus menjadi
agenda utama dalam pendidikan. Potensi mind dan brain harus dioptimalkan
semaksimal mungkin agar anak bangsa mampu meraih prestasi peradaban. Untuk
itu, prasyarat yang tidak boleh ditawar adalah sifat pendidikan harus
emansipatif dan liberatif.
Pendidikan
harus menjadi alat pembebasan dari kebodohan, teror kekerasan, dan penindasan
dalam berbagai bentuknya yang dapat membonsai perkembangan pertumbuhan
manusia. Singkatnya, pendidikan harus mengantarkan manusia menjadi pribadi
yang merdeka dan senantiasa tumbuh dan berkembang.
Jika
agenda ini menjadi bagian integral dalam pendidikan, peningkatan harkat
kemanusiaan akan tercapai. Dengan spirit pendidikan yang memerdekakan ini,
niscaya anak bangsa akan mampu mentransformasi diri menjadi manusia-manusia
yang berjiwa merdeka sehingga mampu menjalankan perbuatan utama bagi
masyarakat, bangsa, dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar