Partai
Islam : Kejutan yang Memberi Harapan
Ilham
Khoiri ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
|
DI luar
perkiraan sejumlah lembaga survei, partai- partai Islam ternyata memperoleh
dukungan suara pemilih yang lumayan pada Pemilu Legislatif 9 April 2014. Jika
berkoalisi, total akumulasi suara mereka cukup untuk mengusung calon
presiden-wakil presiden sendiri. Namun, mungkinkah?
Penghitungan
resmi hasil pemilu legislatif kali ini bakal diumumkan Komisi Pemilihan Umum
pada pertengahan Mei. Namun, sejumlah lembaga hitung cepat (quick count) telah merilis angka
prediksi. Simak saja, misalnya, hasil hitung cepat Kompas.
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan unggul dengan 19,25 persen suara. Disusul
Partai Golkar (14,97 persen), Partai Gerindra (11,79 persen), dan Partai
Demokrat (9,35 persen).
Setelah
itu, diikuti partai-partai Islam, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (9,11
persen), Partai Amanat Nasional (7,55 persen), Partai Persatuan Pembangunan
(6,71 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (6,69 persen).
Partai
Nasdem mengantongi 6,69 persen suara, lalu Partai Hanura dengan 5,13 persen,
Partai Bulan Bintang 1,51 persen, dan PKPI dengan 0,97 persen.
Hasil
ini mengejutkan. Ini disebabkan banyak survei sejak jauh-jauh hari hingga
beberapa pekan sebelum pemungutan suara memperlihatkan angka elektabilitas
partai-partai Islam relatif rendah. Bahkan, beberapa partai diperkirakan tak
lolos ambang batas parlemen 3,5 persen.
Memang
dalam survei-survei itu selalu ada kelompok undecided voters (pemilih yang
belum menentukan pilihan) sekitar 30 persen dari total responden. Namun,
melampaui perkiraan sejumlah pengamat, ternyata partai Islam justru
mengantongi suara lumayan. Bahkan, suara beberapa partai meningkat, terutama
PKB yang melejit dua kali lipat dibandingkan dengan perolehan Pemilu 2009.
Setidaknya, partai-partai itu masih bisa masuk ke Senayan, kecuali PBB yang
diperkirakan sulit menembus ambang batas parlemen.
”Pulang kampung”
Apa yang
mendorong partai-partai Islam tetap bertahan, bahkan memperoleh dukungan
pemilih lebih tinggi pada pemilu kali ini?
Greg
Barton, Guru Besar Studi Indonesia di Monash University, Australia, punya
perkiraan menarik. Kebetulan, dia mengunjungi Indonesia untuk menyaksikan
pemilu kali ini.
Dalam
obrolan dengan Redaksi Kompas di Jakarta, sehari setelah pencoblosan, Kamis
(10/4), Greg mengungkapkan, suara Partai Demokrat merosot dari 21 persen
menjadi sekitar 10 persen pada pemilu kali ini akibat citranya terpuruk
setelah sejumlah elite partai, bahkan ketua umumnya, tersangkut kasus
korupsi. Limpahan suara dari partai ini lantas menyebar ke sejumlah partai,
termasuk partai-partai Islam.
”Ketika citra Partai Demokrat menurun, suara
sebagian pemilih ’pulang kampung’ ke partai-partai lama, termasuk
partai-partai Islam, atau ke partai baru yang dapat untung. Ini juga
memperlihatkan masih ada politik aliran di Indonesia,”
katanya.
Perubahan
perilaku pemilih itu, terutama undecided
voters, tidak terekam oleh lembaga survei karena bisa terjadi saat-saat
mendekati pencoblosan.
Kemungkinan
serupa diungkapkan peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), R Siti Zuhro. Animo publik terhadap partai-partai Islam, ujarnya,
jelas membaik dalam Pemilu 2014 dibandingkan dengan Pemilu 2009. Pemilih
berbasis Nahdlatul Ulama kembali ke rumahnya sendiri, yaitu PKB, sedangkan
masyarakat Muhammadiyah pulang ke PAN. Kader militan dan simpatisan PKS
bertahan dengan pilihannya, begitu pula PPP dengan massa tradisionalnya.
”Semua
itu disebabkan perasaan pendukung di akar rumput yang merasa tak nyaman
dengan Demokrat dan Golkar serta PDI-P yang dianggap kurang mengakomodasi
aspirasi rakyat,” katanya.
Formasi koalisi
Perolehan
PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB, jika digabungkan, mencapai 31,57 persen. Ini
pencapaian besar di tengah tiadanya partai dominan pada Pemilu 2014.
Memang
jumlah itu tak setinggi akumulasi suara pada Pemilu 1955, yaitu 43,7 persen
dari sejumlah partai Islam, seperti dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
serta Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Namun,
akumulasi suara partai-partai Islam saat ini mendekati pencapaian total suara
sembilan partai berbasis Islam yang lolos ke parlemen pada Pemilu 1999 (35,45
persen) dan total suara enam partai Islam yang lolos di parlemen pada Pemilu
2004 (37,56 persen).
Dengan
modal 31,57 suara, jika bergabung, partai-partai Islam telah memenuhi ambang
batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), yaitu
25 persen suara sah nasional. Kondisi ini menyulut harapan agar partai-partai
Islam bisa bersatu dalam poros tersendiri untuk mengajukan calon presiden
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pengalaman sukses Pemilu 1999
pun terbayang kembali.
Saat
itu, partai-partai Islam berkoalisi dalam ”Poros Tengah” dan berhasil
mendudukkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden lewat Sidang
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kendati
koalisi buyar seiring dengan pelengseran Gus Dur pada pertengahan tahun 2001,
pencapaian itu tetap merupakan sukses tersendiri.
Sejumlah
kelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam sontak menyerukan koalisi
partai-partai Islam, salah satunya Forum Ukhuwwah Islamiyah dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Dalam
pertemuan di MUI, Senin (21/4), sebanyak 66 ormas Islam mengimbau agar
partai- partai Islam berkoalisi untuk Pemilu Presiden 2014.
”Kami mengetuk partai-partai Islam dan berbasis
massa Islam agar menunaikan amanah dan tanggung jawabnya untuk memenuhi
harapan konstituen Muslim, bagi adanya koalisi strategis partai-partai Islam
dan berbasis massa Islam maupun dengan partai-partai lain dalam menghadapi
Pemilu Presiden 2014,” kata Ketua Umum Tarbiyah Islamiyah Basri Bermanda.
Ketua
Umum MUI Din Syamsuddin menjelaskan, pihaknya menerima banyak aspirasi
koalisi itu dari ormas dan pribadi. Perolehan suara dari partai-partai Islam
dan berbasis massa Islam, dalam versi hitung cepat sekitar 32 persen,
merupakan kekuatan besar dalam politik di Indonesia sekarang ini.
”Forum
memberikan amanat kepada kami agar ada silaturahim antara MUI dan para
pimpinan parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam,” katanya.
Ketua
MUI KH Makruf Amin optimistis bahwa koalisi itu bukan hal mustahil. ”Seruan
ormas Islam ini merupakan harapan agar partai-partai Islam mengulang kembali
apa yang pernah terjadi tahun 1999,” ujarnya.
Sulit dalam praktik
Namun,
bisakah harapan itu dipenuhi pada Pemilu Presiden 2014?
Menurut
Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute Gun Gun Heryanto, gagasan koalisi itu berat dan
berisiko, terutama dilihat dari kesempatan memenangi pertarungan.
Bagaimanapun,
koalisi harus dibentuk jika diyakini bakal meningkatkan perolehan suara dalam
pemilu. Koalisi mesti menghitung keuntungan yang diperoleh selain juga
pembiayaan dalam kompetisi pemilu presiden nanti dan risiko-risiko lain.
Faktanya, parpol-parpol Islam minim logistik atau modal untuk bertarung serta
sulit menemukan sosok capres yang bisa diterima semua parpol Islam dan punya
elektabilitas tinggi untuk bersaing dengan capres dari koalisi lain.
”Daripada zero sum game (perang habis-habisan
tanpa hasil), akhirnya mereka akan lebih nyaman jika masuk dalam skema
koalisi dengan partai nasionalis yang punya sosok capres yang berpotensi
menang,” katanya.
Direktur
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Ali Munhanif menilai, elite
partai-partai Islam sadar benar bahwa, kalau nanti terbangun, koalisi itu
bakal kalah, siapa pun tokoh yang diusung. Apalagi, sejauh ini tidak ada
tanda-tanda akan muncul seorang tokoh capres yang mengungguli capres PDI-P,
Joko Widodo, dan capres Partai Gerinda, Prabowo Subianto.
”Semua partai Islam nanti akan terserap ke dua
poros (Jokowi dan Prabowo) itu, sambil berkalkulasi siapa yang paling
berpeluang memenangi pertarungan dan seberapa besar insentif yang didapat
partai-partai itu,” ujarnya.
Pada
saat bersamaan, lanjut Ali, sulit membujuk PKB untuk bergabung dalam koalisi
karena memiliki trauma dengan Poros Tengah yang menaikkan Gus Dur sebagai
presiden tahun 1999, sekaligus menurunkannya tahun 2001. Butuh waktu lama
bagi partai ini dan komunitasnya untuk sembuh dari luka ”dipermalukan” oleh
Poros Tengah pada saat itu. Masalah lain adalah masih kentalnya ego sektoral
di antara partai-partai Islam karena memperoleh suara hampir merata.
Sangatlah
sulit menggalang koalisi jika masing-masing masih egois. Tidak hanya
antarpartai, egoisme itu juga menyeruak di antara kelompok dalam satu partai.
Lihat saja dinamika di PPP akibat perbedaan pandangan soal deklarasi koalisi
dengan Partai Gerindra, beberapa waktu lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar