Mencari Arah Pendidikan Indonesia
Paradigma
Baru Arah Pendidikan Nasional
Tim ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Mei 2014
Pengantar Redaksi
Menyambut
Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
bersama ”Kompas” menyelenggarakan diskusi ”Mencari Arah Pendidikan
Indonesia”. Tampil sebagai narasumber, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, Ketua Umum PB PGRI Sulistiyo,
Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting Doni Koesoema, dan pengajar
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri. Diskusi dipandu Ketua
Departemen Balitbang PB PGRI Mohammad Abduhzen. Hasil diskusi dirangkum Luki
Aulia, Ester Lince Napitupulu, Indira Permanasari, dan Try Harijono,
disajikan mulai hari ini.
Dari
sekian banyak persoalan pendidikan, persoalan paling mendasar dan mendesak
untuk segera dibenahi adalah arah pendidikan Indonesia. Berbagai peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pendidikan telah dikeluarkan, tetapi beragam
potensi bangsa masih kurang dioptimalkan.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ataupun Kurikulum
2013, misalnya, memang telah menyinggung soal pendidikan yang bertujuan
mengembangkan kemampuan, membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski demikian, potensi
bangsa di bidang maritim dan agraris sama sekali tidak disinggung.
Padahal,
dalam perjalanan sejarah, di kedua sisi itulah bangsa ini pernah mengalami
masa keemasan. Potensi kelautan hingga kini pun sangat besar karena dengan
luas lautan 3.302.498 kilometer persegi telah menunjukkan bahwa dua pertiga
wilayah Indonesia merupakan lautan. Selain itu, dari 34 provinsi yang ada
berbatasan dengan wilayah pesisir serta 68 persen dari 511 kota dan kabupaten
yang ada memiliki wilayah pesisir.
Di
bidang pertanian, produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2012
mencapai Rp 880,17 triliun. Adapun penduduk yang bergerak dalam bidang
pertanian sekitar 39,9 juta orang atau sekitar 35 persen dari 114 juta
penduduk yang bekerja.
Pada
masa Orde Baru, pendidikan bidang pertanian mendapat tempat terhormat, antara
lain, dengan menjamurnya sekolah pertanian menengah atas (SPMA) di banyak
daerah. Meski kini telah berganti menjadi SMK Pertanian dan muncul sejumlah
fakultas pertanian, kesungguhan mengembangkan pendidikan pertanian
dipertanyakan karena perannya yang kurang signifikan. Ini, antara lain,
dibuktikan dengan menurunnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian
dari 42,6 juta pada 2011 menjadi 39,9 juta pada 2013. Selain itu, impor
berbagai produk pertanian juga terus meningkat sehingga peran negara untuk
mengembangkan pendidikan pertanian dipertanyakan.
Pada
sisi lain, Indonesia yang multikultur dengan 1.340 suku bangsa menurut Badan
Pusat Statistik, serta 760 bahasa daerah yang digunakan penduduknya,
merupakan kekayaan budaya yang luar biasa. Meskipun demikian, peran
pendidikan untuk mengelola keberagaman, kebinekaan, dan toleransi seperti
yang diinginkan para pendiri bangsa masih kurang terasa.
Di sisi
lain, gempuran sekolah-sekolah internasional dengan kurikulum tidak
berdasarkan kebudayaan bangsa sendiri semakin dahsyat. Sekolah internasional
tumbuh di banyak daerah. Meskipun aturan yang membatasi gerak sekolah
internasional sudah dikeluarkan, efektivitas dan pengawasannya masih
dipertanyakan.
Sah saja
ketika dalihnya untuk meningkatkan mutu anak didik dan meningkatkan daya
saing global. Namun, perlu dipertanyakan pula peran sekolah-sekolah tersebut
dalam menanamkan nilai kebangsaan, rasa cinta Tanah Air, dan kebanggaan
terhadap bangsanya. Perlu dicatat, siswa sekolah-sekolah tersebut umumnya
memiliki akses pendidikan dan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan
siswa sekolah lain.
Boleh
jadi dengan berbagai persoalan fundamental di atas, diperlukan paradigma baru
arah pendidikan nasional. Paradigma baru ini terutama untuk menyelaraskan
arah pendidikan nasional dengan potensi bangsa yang ada. Menyelaraskan arah
pendidikan dengan strategi pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan untuk
menggapai cita-cita bangsa.
Persoalan lain
Selain
persoalan fundamental di atas, setidaknya ada empat persoalan lain di bidang
pendidikan yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Persoalan kedua adalah
masalah-masalah struktural atau politik pendidikan, termasuk guru dan kepala
sekolah, serta yang ketiga adalah masalah-masalah operasional yang terjadi di
lapangan. Masalah keempat adalah finansial, termasuk anggaran pendidikan yang
kenyataannya kurang terarah serta dibagi untuk 17 kementerian lain. Kelima
adalah masalah kultural pendidikan, seperti etos disiplin, kejujuran, dan
kegairahan melakukan riset.
Meskipun
berbagai persoalan pendidikan menghadang, sejumlah langkah positif di bidang
pendidikan juga patut diapresiasi. Misalnya, alokasi anggaran pendidikan yang
dipatok 20 persen dari APBN sangat membantu pengembangan pendidikan meski
dalam pelaksanaannya masih perlu pembenahan. Pemberian beasiswa untuk siswa
miskin dan upaya mendorong profesionalisme guru juga perlu diapresiasi meski
dalam pelaksanaannya perlu pembenahan.
Melihat
berbagai persoalan ini, tidak ada salahnya jika semua pihak duduk bersama
merumuskan desain dan strategi pendidikan untuk kemajuan bangsa ini di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar