Menemukan
Api Semangat Pendidikan
Yudi
Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
06 Mei 2014
PERINGATAN
Hari Pendidikan Nasional dan kunjungan calon presiden Joko Widodo ke Museum
Ki Hadjar Dewantara seperti napak tilas untuk menemukan kembali api semangat
pendidikan yang hilang. Api semangat yang oleh konsensus nasional
dipersonifikasikan dalam figur Ki Hadjar sehingga hari kelahirannya (2 Mei)
dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Seluruh
jejak langkah perjuangan Ki Hadjar mencerminkan empatinya kepada wong cilik,
penghormatannya terhadap martabat dan kesederajatan manusia, serta
kegigihannya memperjuangkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian bangsa.
Tak salah jika Bung Karno menyebutnya sebagai salah satu ”guru”
terpentingnya.
Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, ia adalah putra kedua dari
Kanjeng Pangeran Harjo Soerjaningrat yang merupakan putra tertua Paku Alam
III, Raja Keraton Pakualaman. Meski berdarah biru, sejak kecil, Soewardi
mengaji di pesantren dan menikmati kehangatan pergaulannya dengan rakyat
jelata, terlebih setelah ia bergumul dengan berbagai pergerakan kebangsaan,
seperti Indische Partij. Saat genap berusia 40 tahun, ia tanggalkan gelar
kebangsawanannya, lantas mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara agar
ia bisa lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Saat
pengasingan di Belanda (1913-1919), ia berkesempatan menimba ilmu pendidikan
hingga memperoleh ijazah bergengsi, Europeesche Akte. Dalam menggeluti ilmu
pendidikan, Soewardi terkesan oleh ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta model pendidikan Santiniketan di India
yang dikembangkan Rabindranath Tagore. Inspirasi dari tokoh-tokoh pendidikan
tersebut, yang dikombinasikan dengan khazanah tradisi pesantren dan tradisi
pengajaran lainnya di Nusantara, memberinya model baru pendidikan yang
berkhidmat pada emansipasi kerakyatan dan kepribadian nasional. Tak lama
setelah kembali ke Tanah Air pada September 1919, ia merealisasikan gagasan
pendidikan impiannya itu dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa (Nationaal
Onderwijs Instituut Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.
Melalui
Taman Siswa, Ki Hadjar memperoleh wahana untuk membumikan visinya tentang
masyarakat kekeluargaan yang berevolusi bak organisme hidup di mana ”ketertiban dan kedamaian” dalam
kehidupan pribadi ataupun kehidupan nasional dapat dicapai ”melalui pengenalan dan penerapan asas hak
individu untuk menentukan nasib sendiri yang dipadukan dengan tuntutan
kolektif”. Di sekolah ini juga ditanamkan pendidikan karakter yang kuat,
bagaimana menjadi manusia Indonesia yang santun, tulus, jujur, dan bersahaja,
tetapi berani, teguh, dan setia dalam memperjuangkan kemerdekaan, kebenaran,
dan keadilan.
Di atas
segalanya, Ki Hadjar memandang pendidikan sebagai proses belajar menjadi
manusia. Manusia merupakan pribadi istimewa sebagai ”perwujudan khusus”
(diferensiasi) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari jagat besar, manusia
harus berusaha menyatukan diri dengan aturan alam. Akan tetapi, berbeda
dengan respons otomatis- naluriah dari tumbuhan dan hewan, manusia dapat
menentukan pilihan serta punya peran aktif dan kreatif dalam alam. Menurut Ki
Hadjar, inilah sifat-sifat kekhalifahan-ketuhanan yang menimbulkan gagasan
kehalusan adab, kesusilaan, dan kebudayaan.
Dalam
proses belajar menjadi manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu
memiliki tiga potensi besar sebagai kreator kebudayaan yang disebutnya
sebagai trisakti insani: cipta (pikiran), yang membuahkan pengetahuan,
pendidikan, dan filsafat; rasa yang membuahkan keindahan, keluhuran batin,
seni, adat istiadat, penyesuaian sosial, nasionalisme, keadilan, dan
keagamaan; serta karsa (kemauan) yang menimbulkan perbuatan dan buatan
manusia, seperti industri, pertanian, dan bangunan (arsitektur).
Pendidikan
sebagai proses pembudayaan harus mampu mengembangkan ”trisakti” insani dengan
memberdayakan segala potensi inderawi. Melalui pembelajaran olah pikir, olah
rasa, dan olah raga, pendidikan sepanjang hayat dalam kerangka memanusiakan
manusia diorientasikan untuk belajar tahu, belajar kecakapan hidup, belajar
mewujudkan potensi diri yang khas, dan belajar hidup bersama dalam keragaman.
Selain
mengembangkan potensi pribadi sebagai perwujudan khusus dari alam, proses
pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan
kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia. Pemahaman seperti itu
tertuang dalam semboyan ”membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,
membahagiakan kemanusiaan”. Karena itu, pendidikan harus terkait dengan visi
transformasi bangsa.
Sebagai
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Ki Hadjar
berperan penting dalam merumuskan Garis-garis Besar Pendidikan dan Pengajaran
yang berisi visi transformasi bangsa yang dikehendaki oleh proses pendidikan.
Orientasi pendidikan diarahkan untuk mewujudkan kesetaraan, kepribadian,
kesejahteraan, kemajuan, dan persatuan dalam keragaman.
Dengan
menghayati api semangat pendidikan yang terkristal dalam perjuangan Ki
Hadjar, semestinya setiap kali menteri berganti tidak perlu berganti
kurikulum. Keberhasilan pendidikan tidak pula harus diukur dari capaian
negara mana pun. Sepanjang hayat, ada elemen konstanta dalam tujuan dan
ukuran pendidikan. Pendidikan adalah proses belajar memanusiakan manusia
dengan menjadikan peningkatan integritas (keutuhan) kemanusiaan sebagai
ukurannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar