Jumat, 23 Mei 2014

Menelaah Kesaksian Boediono

Menelaah Kesaksian Boediono

Eddy OS Hiariej  ;   Guru Besar Hukum Pidana UGM
KOMPAS,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KEHADIRAN Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor (9/5/2014) dalam kaitan kasus Bank Century di satu sisi menunjukkan tak ada seorang warga negara pun yang kebal akan hukum, tetapi di sisi lain memperlihatkan suri teladan kepada pejabat lain untuk menghormati proses hukum.

Keterangan Boediono sebagai saksi sangat dibutuhkan untuk membuat terang dugaan tindak pidana korupsi dalam penalangan Century. Terlebih nama Boediono disebut lebih dari 67 kali dalam dakwaan Budi Mulya. Untuk menelaah kesaksian Boediono, penting diketahui terlebih dulu konstruksi hukum yang dibangun KPK dalam kasus a quo.

KPK tak memisahkan antara pembuatan kebijakan penalangan Century dan pelaksanaan kebijakan itu sebagai suatu rangkaian tindak pidana. Pasal yang dijeratkan terhadap Budi Mulya adalah Pasal 2 Ayat (1) sebagai dakwaan primer dan Pasal 3 sebagai dakwaan subsider UU Pemberantasan Tipikor. Unsur dalam kedua pasal dijelaskan berikut.

Pertama, unsur setiap orang. Di sini—dalam konstruksi KPK— Budi Mulya bukan pelaku tunggal. Karena itu, dalam dakwaan di-juncto-kan dengan Pasal 55 KUHP sebagai delik penyertaan. Paling tidak, delik penyertaan ini ditujukan kepada tersangka lain, Siti Fajriyah, yang sampai saat ini masih sakit sehingga belum bisa diproses lebih lanjut.

Kedua, unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 Ayat (1) atau unsur menyalahgunakan wewenang atau sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikonstruksikan KPK dalam pembuat- an kebijakan penalangan Centu- ry berupa suatu moral hazard.

Dalam konstruksi KPK, adanya moral hazard pengambilan kebijakan itu karena tak ada krisis ekonomi berdampak sistemik, perubahan peraturan BI hanya dimaksudkan untuk Bank Century, data yang dipakai tak akurat, dan ada pemaksaan Dewan Gubernur dalam pengambilan kebijakan.

Ketiga, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Kiranya unsur itu tak perlu dijelaskan lebih lanjut. Fakta yang tak terbantahkan berdasarkan audit forensik bahwa Budi Mulya menerima kickbacks dalam pelaksanaan kebijakan itu. Selain itu, uang Bank Century diambil pemiliknya, Robert Tantular, yang telah divonis pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana perbankan. Keempat, unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga telah dibuktikan berdasarkan audit BPK.

Mematahkan dua hal

Kesaksian Boediono di Pengadilan Tipikor mencoba mematahkan dua hal yang sangat krusial dalam konstruksi KPK. Pertama, Boediono memisahkan secara tegas antara pengambilan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Kedua, Boediono dapat menjelaskan dengan baik bahwa saat itu terjadi krisis ekonomi berdampak sistemik. Terhadap hal pertama, Boediono menerangkan bahwa pengambilan kebijakan itu untuk menyelamatkan perekonomian negara.

Jika ada yang mengambil keuntungan dari kebijakan itu, letak moral hazard ada pada pribadi dan bukan moral hazard kolektif pada Dewan Gubernur sebagai bentuk samenspaning (permufakatan jahat) melakukan suatu kejahatan.

Ketika Boediono dicecar pertanyaan terkait data tak akurat yang dipakai dalam pengambilan kebijakan, secara tegas dijawab olehnya bahwa dalam situasi krisis data perbankan sangatlah fluktuatif sehingga sulit menentukan akurasinya. Ditambahkan Boediono, masalah data sudah diserahkan kepada deputi yang membidanginya dan Boediono percaya penuh terhadap data yang disajikan. Di bagian lain dalam kesaksiannya, Boediono menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaksanaan penalangan Century ada pada tiga deputi gubernur, yakni Budi Mulya, Budi Rochadi, dan Siti Fajriyah (Kompas, 10 Mei 2014). Celakanya, dua dari tiga deputi itu tersangka, satu orang lainnya telah meninggal.

Perihal fakta yang disampaikan Boediono terkait pengambilan kebijakan penalangan, penulis mengilustrasikan sebagai berikut.

Dalam suatu perusahaan, dewan direksi terdiri atas direktur utama dan tiga direktur. Direktur utama menaruh kepercayaan penuh terhadap ketiga direkturnya. Di luar pengetahuan direktur utama, ketiga direktur bermufakat jahat mengelabui direktur utama dengan data tak benar dan kemudian berdasarkan data itu direktur utama mengeluarkan kebijakan yang lalu disalahgunakan ketiga direkturnya sebagai rangkaian tindak pidana. Dalam konteks demikian, dapatkah direktur utama dipertanggungjawabkan secara pidana?

Berdasarkan ilustrasi demikian, direktur utama tak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena bertindak dalam kesesatan fakta (feitelijke dwaling). Di sini direktur utama bukanlah mede plegen (turut serta) melakukan kejahatan, melainkan hanya sebagai manus ministra (alat) dari kejahatan itu dan lebih cenderung pada korban dari kejahatan itu sendiri.

Kembali kepada kesaksian

Boediono, terkait perihal kedua, yakni krisis ekonomi berdampak sistemik. Keterangan Boediono yang menjelaskan hal ini bersifat istimewa. William R Bell dalam Practical Criminal Investigations in Correctional Facilities, CRC Press, Boca Raton–New York, 2012, halaman 115–117, menyatakan, testimonial evidence atau bukti kesaksian dibagi tiga: kesaksian atas fakta sesungguhnya, pendapat ahli, dan pendapat atas kesaksian. Kesaksian atas fakta sesungguhnya biasanya menyangkut kesaksian secara terbatas mengenai fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar, atau dialami. Pendapat ahli adalah keterangan yang diberikan berdasarkan keahliannya. Pendapat atas kesaksikan adalah saksi sekaligus ahli yang dapat memberi pemahaman berdasarkan fakta yang ada.

Pendapat atas kesaksian

Kesaksian Boediono terkait krisis ekonomi yang berdampak sistemik dikualifikasikan sebagai pendapat atas kesaksian. Di satu sisi, sebagai Gubernur BI, Boediono bisa menjelaskan fakta terkait keadaan perekonomian di Indonesia saat itu. Namun, di sisi lain Boediono adalah guru besar ilmu ekonomi yang bisa memberikan pemahaman terhadap fakta itu yang bermuara pada kesimpulan bahwa telah terjadi krisis ekonomi berdampak sistemik.

Sebenarnya adanya krisis ekonomi berdampak sistemik sudah terjawab dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 dan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 terutama pada bagian pertimbangan kedua Perppu itu yang menyebutkan krisis ekonomi. Dasar hukum dikeluarkannya perppu adalah staatnoodrecht (keadaan darurat negara) yang obyektif berupa keadaan genting memaksa. Terlebih, kedua perppu itu mendapat pengesahan rakyat yang dipersonifikasikan DPR menjadi UU.

Dalam konteks pembuktian, keadaan darurat yang diejawantahkan dengan penerbitan perppu merupakan probatio plena (bukti penuh yang sempurna dan tak terbantahkan). Dari sisi hukum pidana, ketika terjadi keadaan darurat, berlakulah asas necessitatis non hebetlegem yang berarti dalam keadaan darurat tak berlaku hukum.

Konsekuensi lebih lanjut, pengambilan kebijakan dalam keadaan darurat yang melanggar aturan menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Artinya, ada alasan pembenar dalam tindakan itu. Bahwa kemudian ada oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan melakukan tindak pidana dalam situasi darurat dan jika itu terbukti adalah keadaan tambahan yang memperberat penjatuhan pidana kepada oknum itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar