Menelaah
Kesaksian Boediono
Eddy
OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana UGM
|
KOMPAS,
23 Mei 2014
KEHADIRAN
Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor (9/5/2014) dalam kaitan kasus
Bank Century di satu sisi menunjukkan tak ada seorang warga negara pun yang
kebal akan hukum, tetapi di sisi lain memperlihatkan suri teladan kepada
pejabat lain untuk menghormati proses hukum.
Keterangan
Boediono sebagai saksi sangat dibutuhkan untuk membuat terang dugaan tindak
pidana korupsi dalam penalangan Century. Terlebih nama Boediono disebut lebih
dari 67 kali dalam dakwaan Budi Mulya. Untuk menelaah kesaksian Boediono,
penting diketahui terlebih dulu konstruksi hukum yang dibangun KPK dalam
kasus a quo.
KPK tak
memisahkan antara pembuatan kebijakan penalangan Century dan pelaksanaan
kebijakan itu sebagai suatu rangkaian tindak pidana. Pasal yang dijeratkan
terhadap Budi Mulya adalah Pasal 2 Ayat (1) sebagai dakwaan primer dan Pasal
3 sebagai dakwaan subsider UU Pemberantasan Tipikor. Unsur dalam kedua pasal
dijelaskan berikut.
Pertama,
unsur setiap orang. Di sini—dalam konstruksi KPK— Budi Mulya bukan pelaku
tunggal. Karena itu, dalam dakwaan di-juncto-kan dengan Pasal 55 KUHP sebagai
delik penyertaan. Paling tidak, delik penyertaan ini ditujukan kepada
tersangka lain, Siti Fajriyah, yang sampai saat ini masih sakit sehingga
belum bisa diproses lebih lanjut.
Kedua,
unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 Ayat (1) atau unsur menyalahgunakan
wewenang atau sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikonstruksikan KPK dalam pembuat- an
kebijakan penalangan Centu- ry berupa suatu moral hazard.
Dalam
konstruksi KPK, adanya moral hazard
pengambilan kebijakan itu karena tak ada krisis ekonomi berdampak sistemik,
perubahan peraturan BI hanya dimaksudkan untuk Bank Century, data yang
dipakai tak akurat, dan ada pemaksaan Dewan Gubernur dalam pengambilan
kebijakan.
Ketiga,
unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Kiranya
unsur itu tak perlu dijelaskan lebih lanjut. Fakta yang tak terbantahkan
berdasarkan audit forensik bahwa Budi Mulya menerima kickbacks dalam pelaksanaan kebijakan itu. Selain itu, uang Bank
Century diambil pemiliknya, Robert Tantular, yang telah divonis pengadilan
dan telah berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana perbankan. Keempat,
unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga telah
dibuktikan berdasarkan audit BPK.
Mematahkan dua hal
Kesaksian
Boediono di Pengadilan Tipikor mencoba mematahkan dua hal yang sangat krusial
dalam konstruksi KPK. Pertama, Boediono memisahkan secara tegas antara
pengambilan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Kedua, Boediono dapat
menjelaskan dengan baik bahwa saat itu terjadi krisis ekonomi berdampak
sistemik. Terhadap hal pertama, Boediono menerangkan bahwa pengambilan
kebijakan itu untuk menyelamatkan perekonomian negara.
Jika ada
yang mengambil keuntungan dari kebijakan itu, letak moral hazard ada pada pribadi dan bukan moral hazard kolektif pada Dewan Gubernur sebagai bentuk samenspaning (permufakatan jahat)
melakukan suatu kejahatan.
Ketika
Boediono dicecar pertanyaan terkait data tak akurat yang dipakai dalam
pengambilan kebijakan, secara tegas dijawab olehnya bahwa dalam situasi
krisis data perbankan sangatlah fluktuatif sehingga sulit menentukan
akurasinya. Ditambahkan Boediono, masalah data sudah diserahkan kepada deputi
yang membidanginya dan Boediono percaya penuh terhadap data yang disajikan.
Di bagian lain dalam kesaksiannya, Boediono menjelaskan bahwa tanggung jawab
pelaksanaan penalangan Century ada pada tiga deputi gubernur, yakni Budi
Mulya, Budi Rochadi, dan Siti Fajriyah (Kompas, 10 Mei 2014). Celakanya, dua
dari tiga deputi itu tersangka, satu orang lainnya telah meninggal.
Perihal
fakta yang disampaikan Boediono terkait pengambilan kebijakan penalangan,
penulis mengilustrasikan sebagai berikut.
Dalam
suatu perusahaan, dewan direksi terdiri atas direktur utama dan tiga
direktur. Direktur utama menaruh kepercayaan penuh terhadap ketiga
direkturnya. Di luar pengetahuan direktur utama, ketiga direktur bermufakat
jahat mengelabui direktur utama dengan data tak benar dan kemudian
berdasarkan data itu direktur utama mengeluarkan kebijakan yang lalu
disalahgunakan ketiga direkturnya sebagai rangkaian tindak pidana. Dalam
konteks demikian, dapatkah direktur utama dipertanggungjawabkan secara
pidana?
Berdasarkan
ilustrasi demikian, direktur utama tak dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana karena bertindak dalam kesesatan fakta (feitelijke dwaling). Di sini direktur utama bukanlah mede plegen (turut serta) melakukan
kejahatan, melainkan hanya sebagai manus
ministra (alat) dari kejahatan itu dan lebih cenderung pada korban dari
kejahatan itu sendiri.
Kembali kepada kesaksian
Boediono,
terkait perihal kedua, yakni krisis ekonomi berdampak sistemik. Keterangan
Boediono yang menjelaskan hal ini bersifat istimewa. William R Bell dalam Practical Criminal Investigations in
Correctional Facilities, CRC Press, Boca Raton–New York, 2012, halaman
115–117, menyatakan, testimonial
evidence atau bukti kesaksian dibagi tiga: kesaksian atas fakta sesungguhnya, pendapat ahli, dan pendapat atas kesaksian. Kesaksian
atas fakta sesungguhnya biasanya menyangkut kesaksian secara terbatas
mengenai fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar, atau dialami.
Pendapat ahli adalah keterangan yang diberikan berdasarkan keahliannya.
Pendapat atas kesaksikan adalah saksi sekaligus ahli yang dapat memberi pemahaman
berdasarkan fakta yang ada.
Pendapat atas kesaksian
Kesaksian
Boediono terkait krisis ekonomi yang berdampak sistemik dikualifikasikan
sebagai pendapat atas kesaksian. Di satu sisi, sebagai Gubernur BI, Boediono
bisa menjelaskan fakta terkait keadaan perekonomian di Indonesia saat itu.
Namun, di sisi lain Boediono adalah guru besar ilmu ekonomi yang bisa
memberikan pemahaman terhadap fakta itu yang bermuara pada kesimpulan bahwa
telah terjadi krisis ekonomi berdampak sistemik.
Sebenarnya
adanya krisis ekonomi berdampak sistemik sudah terjawab dengan adanya
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 dan Perppu Nomor 3 Tahun
2008 terutama pada bagian pertimbangan kedua Perppu itu yang menyebutkan
krisis ekonomi. Dasar hukum dikeluarkannya perppu adalah staatnoodrecht (keadaan darurat negara) yang obyektif berupa
keadaan genting memaksa. Terlebih, kedua perppu itu mendapat pengesahan
rakyat yang dipersonifikasikan DPR menjadi UU.
Dalam
konteks pembuktian, keadaan darurat yang diejawantahkan dengan penerbitan
perppu merupakan probatio plena
(bukti penuh yang sempurna dan tak terbantahkan). Dari sisi hukum pidana,
ketika terjadi keadaan darurat, berlakulah asas necessitatis non hebetlegem yang berarti dalam keadaan darurat
tak berlaku hukum.
Konsekuensi
lebih lanjut, pengambilan kebijakan dalam keadaan darurat yang melanggar
aturan menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Artinya, ada alasan
pembenar dalam tindakan itu. Bahwa kemudian ada oknum yang mengambil
kesempatan dalam kesempitan melakukan tindak pidana dalam situasi darurat dan
jika itu terbukti adalah keadaan tambahan yang memperberat penjatuhan pidana
kepada oknum itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar