Membangun
Relasi yang Berkeadaban
Sidarto
Danusubroto ; Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI
|
KOMPAS,
22 Mei 2014
SILA
kedua Pancasila mendefinisikan secara jelas gagasan kemanusiaan kita sebagai
sebuah bangsa: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Amanat kemanusiaan yang
terkandung di dalamnya adalah bahwa cita-cita kita tidak sekadar membangun
kemanusiaan yang tak memiliki format. Kemanusiaan pastilah sesuatu yang luhur,
tetapi para pendiri bangsa menegaskan bahwa format kemanusiaan itu haruslah
dalam rangka menegakkan keadilan dan keberadaban.
Kemanusiaan
yang bersifat karitatif belaka tidaklah memadai untuk sebuah bangsa besar
yang majemuk agama, etnisitas, budaya, pun orientasi politiknya. Atau, dengan
kata lain, kemanusiaan an sich yang tidak memiliki dipraktikkan dalam
relasi-relasi yang sifatnya antarpersonal. Sejatinya, masyarakat yang
menghargai keadilan dan keberadaban dalam perilaku kesehariannya mencerminkan
sikap yang menjunjung tinggi (nilai-nilai) kemanusiaan.
Ruang refleksi
Oleh
karena itu, dalam relasi negara-penyelenggara negara, negara-warga negara,
sesama warga negara dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara:
misalnya, dalam praktik politik atau
keagamaan yang berimplikasi sosial, apa yang dimaksudkan dengan realisasi
kemanusiaan selalu berhubungan dengan penerapan keadilan dan keberadaban.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab bersifat definitif. Konotasinya adalah satu-satunya
tolok ukur untuk menilai sejauh mana elemen-elemen terkait, yaitu negara,
penyelenggara negara, dan warga negara secara bersungguh- sungguh
menginginkan—dengan berbagai konsekuensi—agar keadilan dan keberadaban itu
tegak, tanpa kecuali. Pengertian tersebut dalam bahasa hukum dikenal sebagai
kesetaraan di hadapan hukum. Sebab, keadilan yang merupakan tujuan penegakan
hukum tidak diperbolehkan berpihak (imparsial) menista kesetaraan.
Ketika
praktik demokrasi relatif belum berjalan secara mapan (kita andaikan bermula
pada Reformasi 1998), selalu tersedia jeda yang memberi ruang refleksi, yaitu
saat pemilu (legislatif dan presiden) dilangsungkan. Ruang refleksi itu
tersedia sejak proses kompetisi pemilu dilangsungkan hingga setelah hasilnya
disahkan oleh lembaga yang memiliki otoritas. Apakah relasi-relasi yang
tercipta antarkandidat presiden dan partai pengusung, serta kritik-apresiasi
yang dihadirkan para akademisi dan warga negara sudah relasi yang berkeadilan
dan berkeadaban?
Hampir
selalu proses pemilu (legislatif dan presiden) yang kita jalani tidak sebatas
ajang seleksi bagi anggota parlemen dan suksesi kepemimpinan nasional yang
sifatnya periodik (rutin). Masa-masa tersebut sering kali kita hadapi dengan
rasa cemas yang tidak perlu, tetapi faktanya relasi-relasi yang mengemuka
berulang kali mencuatkan situasi kebangsaan kita yang sedemikian rapuh.
Kompetisi gagasan yang disalurkan melalui orientasi politik yang dipilih
seakan-akan merupakan pertarungan habis-habisan. Kita mencatat banyak hujatan
yang tidak faktual dan lebih menyerang personal daripada kritik terhadap
gagasan ”lawan”.
Seolah-olah
tiap-tiap kompetitor tak memiliki titik temu pada tujuan yang sama, yaitu
merealisasikan cita-cita Proklamasi. Alhasil, seakan pemenang sah-sah saja bila kemudian ketika
memerintah tidak memedulikan mereka yang kalah: yang gagasannya tidak
diterima rakyat saat pemilu. Padahal, siapa pun yang terpilih mengemban
tanggung jawab menyelenggarakan kekuasaan negara untuk kepentingan kita
bersama sebagai bangsa sekaligus mengangkat martabat NKRI.
Pentingnya integritas
Proses-proses
demokrasi yang diperlakukan oleh penyelenggara negara yang tidak
mengedepankan nilai-nilai keadilan dan keberadaban tentulah dengan sendirinya
berlanjut pada saat kekuasaan negara diselenggarakan. Itu sebabnya perombakan
sistem (institusional) harus dibarengi dengan perombakan mentalitas mereka
yang diberikan otoritas menjalankan sistem tersebut.
Joko
Widodo secara kritis dalam tulisannya, ”Revolusi
Mental” (Kompas, 9/5/2014),
mengemukakan aspek-aspek yang mengindikasikan bahwa kita ternyata memang
belum sepenuhnya menjunjung nilai-nilai keadilan dan keberadaban. Salah satu
pokok soal yang dikemukakan adalah perombakan sistem kelembagaan negara yang
bersifat institusional belaka terbukti tidak memadai ketika masih dijalankan
oleh para penyelenggara negara yang
tak punya integritas. Akibatnya, kondisi seperti itu tidak akan pernah menghadirkan
kesejahteraan bagi rakyat.
Sebenarnya,
cara berpikir dikotomis yang menghadap-hadapkan mana yang lebih signifikan
dan substantif antara perbaikan sistem dan individu tidak relevan lagi untuk
dipersoalkan. Sebab, sistem merupakan produk yang dihasilkan dari
kristalisasi nilai-nilai yang disepakati bersama, yang konsekuensinya
mengikat semua: negara, penyelenggara negara, dan warga negara. Sistem adalah
seperangkat nilai yang diimplementasikan ke dalam format dalam kerangka untuk
memudahkan dan menjadi acuan komunitas (negara-bangsa) melaksanakan tujuan
bersama sekaligus pula merupakan alat ketertiban bersama.
Akan
tetapi, apa yang dikemukakan Jokowi terkait dengan kondisi yang kita hadapi
hari ini ternyata sesuatu yang sulit kita tepis sehingga ia menawarkan
gagasan revolusi mental yang penekanannya pada para penyelenggara negara
sebagai upaya mengatasi sistem yang tidak jalan atau macet dilaksanakan para
penyelenggara. Masyarakat kita yang dikenal lentur dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara memperlihatkan sisi negatifnya (mudah
ternegosiasi), yang menurut Jokowi sebagai manusia salah kaprah.
Amanat sila kedua
Itulah
mengapa perombakan sistem kelembagaan, yang terjadi melalui pelaksanaan
amandemen UUD 1945, dalam perjalanannya dengan sejumlah indikasi yang tampak
seakan-akan tidak memberikan manfaat yang berarti. Kualitas pemilihan
legislatif yang baru lalu akibat massifnya praktik politik uang tentu saja
membuat kita miris, banyak kalangan menyebutnya sebagai pemilu yang paling
buruk dalam sejarah demokrasi kita.
Kita
tahu, amandemen konstitusi adalah bagian dari upaya kita melakukan perombakan
sistem. Akan tetapi, ketika hasil perombakan sistem itu dipraktikkan ternyata
capaian yang kita raih masih saja negatif. Satu-satunya penyebab adalah belum
terjadi perombakan mental manusia-manusia yang tidak memiliki integritas yang
notabene di tangan merekalah kekuasaan negara diselenggarakan.
Kondisi
tersebut dengan sendirinya berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan
rakyat yang senantiasa tertunda atau bahkan mungkin tidak akan pernah
tercipta. Penyebabnya, para penyelenggara negara sama sekali tidak
menjalankan amanat sila kedua Pancasila untuk membangun kemanusiaan kita yang
menerapkan relasi-relasi yang berkeadilan dan berkeadaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar