Membangkitkan
Malu Korupsi
Agus
Riewanto ; Dosen Program
Pascasarjana Ilmu Hukum UNS Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 21 Mei 2014
Masih
hangat peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diliputi fenomena sosial:
kekerasan terhadap anak-anak, koruptor terus bertambah, remaja didera
narkoba, angka kemiskinan kian melambung, jumlah pengangguran menjulang,
disparitas hasil pembangunan dan ekonomi kian mencolok.
Demikianlah
balada derita rakyat di republik ini. Fenomena derita rakyat ini mirip
metafora Antony Giddens dalam The Third
Way (1990) dengan sebutan Juggernaut. Bahkan, mungkin republik ini mirip
pula sinyalemen dalam bukunya yang lain, Beyond Left and Right (1994), dengan
sebutan atraktif manufactured
uncertainty.
Hidup di
republik ini serasa tak ada sebuah kepastian kapan memperoleh kemakmuran?
Semua serba tiba-tiba. Tenggoklah, sejak jatuhnya Soeharto dari singgasana
kekuasaannya 16 tahun lalu, 21 Mei 1998, dengan slogan reformasi ternyata
mirip revolusi. Semua orang ingin perubahan dalam berbagai lini secara cepat
dan tanpa proses. Akibatnya, perubahan tanpa konsep dan grand design cerdas dan beradab.
Kondisi
ini diperparah kemarakan mengorupsi aset negara secara kasat mata sampai
kepentingan jangka panjang dalam rancang bangun sistem bernegara. Tak pelak,
semua perubahan tak pernah ada alur, jalan, dan visi pasti. Hari ini
merancang sistem baru bernegara dalam bidang ekonomi, politik, militer,
budaya, dan perundangan. Namun, siapa yang menduga dalam hitungan hari,
rancang bangun sistem ekonomi, politik, militer, dan aneka produk hukum baru
itu dikhianati.
Hari-hari
ini bangsa menyaksikan budaya korupsi, culas, main belakang, dan berbohong.
Ini telah ditiru dan dijadikan ikon sistem sosial. Para guru, peneliti,
aktivis LSM, intelektual, bahkan mungkin para tokoh agama pun
mempraktikkannya. Padahal, mereka dianggap pilar kejujuran dan moral.
Tenggoklah, para guru-guru dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi
bertindak culas, tak jujur. Mereka membuat sistem penerimaan siswa dan
mahasiswa dengan berbagai macam jalur dari khusus hingga super khusus dengan
harga bervariasi.
Seolah-olah
sekolah dan kuliah menjadi alat ekonomi jual-beli sehingga biaya pendidikan.
Sekolah dan hanya untuk orang kaya. Budaya bohong, culas, dan korup di dunia
pendidikan ini telah mendorong manusia berpikir instan dan prakmatis sehingga
gelar akademik pun diperjualbelikan seperti kacang goreng. Mahasiswa bisa
membeli skripsi. Pemarih master dapat membeli tesis. Calon doktor dapat
memesan disertasi. Calom profesor tak perlu angka kredit dan pengabdian. Tak
tanggung-tanggung, pembelinya dari wakil presiden sampai dai kondang.
Agamawan
pun tak kalah unik. Kementerian Agama yang seharusnya jadi tempat bersemayamnya
moral pun tak luput dari virus korupsi proyek pengadaan al-Qur’an dan Dana
Ibadah Haji. Padahal, agamawan adalah benteng terakhir moral.
Ciri
Karena
itu, benar kata Muhtar Lubis dalam Orasi
Budayanya berjudul Manusia
Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta 6 April 1977. Katanya,
mental manusia Indonesia cenderung hipokrit. Ciri utamanya suka berpura-pura,
lain di depan, lain pula di belakang. Lain di kata, beda pula di hati.
Pendeknya, manusia Indonesia hobi berbohong dan menggadaikan keyakinan.
Banyak
faktor yang melingkari korupsi dibenci, tapi tetap dilakukan, di antaranya
tak ada budaya malu. Padahal, malu merupakan terapi psikologis untuk
menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang, semakin
tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi.
Manusia
dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai
cara mengangkat derajat bangsa menjadi unggul di atas yang lain. Menurut
laporan Newsweek pada tahun 2002, sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan
jalan bunuh diri karena malu.
Kemudian,
lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat terhadap koruptor. Tenggoklah,
realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan di tokohkan.
Maklum, koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat. Mereka banyak
menjadi donatur tempat ibadah, panti asuhan, dan perayaan sosial.
Artinya,
di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat
menghargai, menghormati, bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para
koruptor di tengah masyarakat pada umumnya amat lihai menarik simpati.
Sesungguhnya,
masyarakat munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosial.
Seandai masyarakat tidak munafik, sudah tentu tak akan menerima bantuan dari
koruptor, bahkan mengisolirnya dari pergaulan sosial. Sanksi sosial yang
tampak sederhana ini pasti akan mampu mengeliminir dan meminimalisir korupsi.
Momentum
Hari Kebangkitan Nasional patut dijadikan refleksi untuk membangkitkan malu
korupsi. Secara sederhana dapat diwujudkan dalam bentuk membudayakan
solidaritas antikorupsi sebagai bentuk rasa cinta negeri. Rakyat perlu
menggelorakan slogan-slogan reflektif antikorupsi.
Misalnya,
“koruptor tak nasionalis,” “koruptor penjajah”, “koruptor teroris”.
Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan ke dalam
semua level masyarakat, terutama lembaga-lembaga pendidikan formal maupun
informal dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Ini sebagai bagian
dari mewujudkan nilai-nilai nasionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar