Melindungi
Hak Anak atas Pendidikan
Mimin Dwi Hartono ;
Penyelidik
Komnas HAM
|
TEMPO.CO,
03 Mei 2014
Dugaan
kejahatan seksual terhadap anak-anak di sebuah sekolah internasional di
Jakarta menegaskan betapa rentannya anak-anak menjadi korban pelecehan
seksual. Sebagai kelompok rentan, anak-anak berhak mendapat perlindungan
lebih dari negara. Negara telah gagal dalam melindungi dan memenuhi hak anak
atas pendidikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang
tentang hak asasi manusia.
Meski
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Convention on the Right of the Child
dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, pemerintah Indonesia gagal
dalam mengintegrasikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak dalam sistem
pendidikan.
Padahal,
konvensi tersebut seharusnya menjadi dasar dan norma untuk mewujudkan proses
pembelajaran berbasis hak anak (child
rights-based approach of education). Termasuk, melindungi anak-anak dari
kekerasan fisik, mental, dan seksual ketika sedang dalam proses belajar di
sekolah.
Pasal 3
ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak menegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama dalam segala tindakan terhadap anak (child's best interest), baik yang
dilakukan oleh orang tua, wali, sekolah, maupun negara. Komentar Umum PBB
Nomor 14 (2013) tentang Hak Anak untuk Mendapatkan Kepentingan Terbaik
menyebutkan tiga prinsip yang fundamental untuk mewujudkan hak-hak anak.
Pertama,
hak untuk tidak mengalami diskriminasi. Prinsip itu melarang segala bentuk
diskriminasi atas penikmatan hak-hak anak. Negara harus bersikap pasif agar
tidak mengganggu, mengurangi, atau menghalangi anak dalam menikmati
hak-haknya. Di samping peran pasif negara, dibutuhkan tindakan proaktif dari
negara untuk menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk
menikmati hak-haknya.
Kedua,
hak untuk hidup, bertahan, dan mengembangkan diri. Negara harus menciptakan
lingkungan yang mampu menghormati martabat anak dan menjamin pengembangan
diri yang holistik bagi setiap anak. Dengan demikian, anak mampu
mengembangkan potensi dirinya secara bebas dan dinamis. Peran dari sekolah
adalah memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dalam proses
pembelajaran.
Ketiga,
hak untuk didengar. Negara harus menghormati hak anak untuk mengekspresikan
pandangannya secara bebas. Terkadang, karena dianggap masih di bawah umur,
orang tua atau sekolah atau negara mengabaikan aspirasi atau pendapat anak.
Padahal, anak pada setiap jenjang umur dan tingkat kedewasaan mempunyai
kemampuan untuk mengekspresikan dirinya. Semua pihak harus belajar untuk
memahami ekspresi anak sebagai bagian dari hak anak untuk didengar.
Lebih
lanjut, Pasal 3 ayat (3) Konvensi tentang Hak Anak menyebutkan bahwa negara
berkewajiban memastikan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas perawatan
dan perlindungan anak dalam pendidikan agar melakukan pengawasan dalam bidang
kesehatan dan keselamatan anak. Proporsi antara petugas dan anak didik harus
sesuai dan seimbang, sehingga pengawasan anak dapat dilakukan secara
intensif. Demikian juga dengan fasilitas keamanan dan kenyamanan yang memadai
dan aksesibilitas anak terhadap fasilitas pendidikan yang aman harus dijamin
dan terukur.
Lebih
lanjut, menurut Komentar Umum PBB Nomor 13 tentang hak atas pendidikan,
terdapat empat elemen mendasar yang harus dipenuhi negara dan sekolah dalam
proses belajar-mengajar.
Pertama,
ketersediaan, di mana sekolah harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang
memadai untuk menjamin hak anak mendapatkan pendidikan yang nyaman dan aman.
Misalnya, negara harus mengawasi bahwa bangunan sekolah menyediakan fasilitas
sanitasi yang aman, air bersih, dan tersedianya guru yang berkualitas.
Kedua,
aksesibilitas, di mana negara harus memastikan sekolah bisa diakses oleh
semua orang tanpa diskriminasi.
Ketiga,
penerimaan, di mana bentuk dan isi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode
pengajaran, harus dapat diterima secara budaya dan konteks lokal. Untuk itu,
sekolah internasional harus menyediakan kurikulum lokal untuk menghormati
konteks budaya dan kebutuhan lokal.
Keempat,
kemampuan untuk beradaptasi, di mana pendidikan harus fleksibel, sehingga
dapat beradaptasi dengan dinamika anak-anak dan masyarakat yang mempunyai
keragaman sosial dan budaya. Sekolah internasional harus mampu beradaptasi
dengan budaya dan konteks lokal dalam proses pembelajarannya dan dalam
menyusun kurikulum.
Sebagai penutup, pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak atas
pendidikan bukan hanya penting untuk menciptakan mekanisme pengamanan untuk
menjamin hak-hak anak agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk
kejahatan seksual. Hal itu juga menjamin hak-hak anak untuk mendapatkan
pendidikan dan lingkungannya yang aman dan tepat, baik dalam hal proses
maupun isi, yang mampu memenuhi standar pendidikan internasional dan
menghormati konteks serta budaya lokal tempat sekolah tersebut berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar