Mencari Arah Pendidikan Indonesia
Kurikulum
Bervisi Transformasi Sosial
Indira Permanasari ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
BEGAWAN
antropologi Koentjaraningrat pernah menyebutkan, kelemahan mentalitas bangsa
sesudah revolusi, antara lain sifat meremehkan mutu, menerabas, tidak percaya
diri, tidak berdisiplin, dan kurang bertanggung jawab. Itu dituliskan dalam
artikel ”Apakah Kelemahan Mentalitet
Kita Sesudah Revolusi?”, Kompas, 9 Februari 1974.
40 tahun
berlalu, tetapi tampaknya mentalitas yang disebut Koentjaraningrat (walaupun
dapat dipertanyakan generalisasinya) masih mewujud mulai dari aksi pengemudi
langgar lampu lalu lintas atau naik trotoar, korupsi yang mengorbankan mutu
pembangunan, hingga kasus kecurangan dalam ujian nasional yang mencerminkan
semua mentalitas buruk tadi.
Lantas,
apa peran pendidikan dan bagaimana pendidikan berkontribusi membuat
perubahan? Kita dapat saja meneropong kandungan ’menu’ pendidikan di dalam
kurikulum. Sehatkah bahan-bahan di dalamnya? Namun, yang jauh lebih penting
lagi ialah visi yang mengakari bentukan sebuah kurikulum. Visi itu yang
kemudian dipecah-pecahkan dalam wujud mata pelajaran, jam ajar, dan proses
belajar di kelas.
Visi
pendidikan tak pernah lepas dari gagasan besar para pemikir sosial dan
filsafat. Sederhananya, terdapat empat kurikulum berdasarkan visinya.
Pertama,
kurikulum berbasis akademis. Fokus kurikulum ialah pengembangan dimensi
akademis, intelektual. Guru menjadi pemberi ilmu dan anak ibarat gelas kosong
untuk diisi. Pendidikan dipandang sebagai upaya akulturasi. Kepercayaan
terbesar lalu diberikan kepada ilmu pengetahuan yang teruji bertahun-tahun,
berabad-abad, dengan premis dan uji yang kuat sehingga layak diturunkan. Ilmu
seperti matematika, kimia, fisika, dan sejarah menjadi ilmu yang layak
dipelajari anak.
Kedua,
kurikulum yang membawa visi efisiensi sosial, yakni bagaimana pendidikan
melahirkan orang-orang yang kompeten hidup dalam dinamika masyarakat.
Singkatnya, pendidikan bertujuan memberikan keterampilan hidup mulai dari
yang sederhana hingga kompleks. Fokus kurikulum ialah mengubah perilaku.
Sebagai gambaran, tidak cukup anak pintar teori renang, tetapi harus terjun
ke air dan berenang demi bertahan hidup.
Ketiga,
kurikulum dengan visi bahwa pendidikan berpusat pada pembelajar atau murid.
Visi itu tak lepas dari revolusi Kopernikan yang dibawa pemikir Immanuel Kant
pada abad ke-18. Saat itu, penyelidikan akan ilmu pengetahuan tidak semata
pada obyek atau material di sekitar manusia, tetapi pada subyek, yakni
manusia itu sendiri. Dalam dunia pendidikan, anak kemudian menjadi matahari
dalam pembelajaran.
Keempat,
kurikulum bervisi transformasi sosial. Visi pendidikan, antara lain agar anak
menyadari potensi diri, lingkungan, dan sosialnya. Pendidikan mengajar
peserta didik untuk sadar dan berkontribusi terhadap penyelesaian masalah di
sekitarnya.
Kurikulum ”gado-gado”
Lantas,
visi apa yang melandasi kurikulum di Indonesia? Boleh dikatakan, visi
kurikulum yang diterapkan terkesan gado-gado alias campuran dengan eksekusi
serba tanggung dan kurang konsisten. Ada kesan kurikulum kental dimensi
akademik.
Namun,
tidak sungguh-sungguh mengembangkan pemikiran kritis sebagai level berpikir
tingkat tinggi. Anak sekadar menghafal. Ketika mesti menyelesaikan masalah (problem solving) di luar teks yang
dibaca, anak akan kesulitan alias tidak bisa membuat pemindahan persoalan ke
dunia nyata.
Selain
itu, hadir pula visi efisiensi sosial berupa pembelajaran keterampilan hidup.
Gerakan itu umumnya terkait dengan pendidikan vokasional. Contohnya,
pemerintah berkeinginan mengubah komposisi SMK: SMA menjadi 70:30. Di satu
sisi, itu memunculkan kritik karena tanpa pembekalan kemampuan kepemimpinan
dan manajerial bagi murid SMK, pendidikan cenderung menyuplai kebutuhan
industri, dengan kata lain pendidikan hanya menghasilkan tukang-tukang.
Kemudian
diterapkan pendidikan yang berpusat pada anak. Contohnya, lewat Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA) dalam Kurikulum 1984 yang begitu diujicobakan gagal total.
Salah satu penyebab kegagalan ialah ketiadaan kultur dan budaya untuk aktif.
Kurikulum
2013 pun menginginkan pembelajaran berpusat pada siswa. Namun, terjadi
inkonsistensi. Jika fokus pendidikan kepada pembelajar, sistem ujian nasional
menjadi tidak masuk akal lagi.
Tawaran visi transformasi sosial
Di
tengah gelombang masalah sosial, ekonomi, korupsi, kemiskinan, ketidakadilan,
dan kekerasan, kurikulum bervisi transformasi sosial menawarkan jalan
perubahan. Konteks transformasi sosial tersebut banyak dipakai di
negara-negara dengan masalah sosial ekonomi akut.
Kurikulum
tersebut melihat pendidikan dari perspektif sosial. Fokus dalam pembelajaran
ialah murid memiliki kesadaran kritis memecahkan persoalan dengan pengetahuan
dan keterampilannya. Para desainer kurikulum tentu harus memiliki gambaran
tentang tatanan masyarakat yang lebih baik dan cara pendidikan berperan dalam
transformasi sosial itu.
Visi
transformasi sosial sebetulnya sudah ada rohnya dalam pendidikan era setelah
kemerdekaan di Indonesia. Begitu memproklamasikan kemerdekaan, Soekarno ingin
segera membentuk karakter. Dalam UU No 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan
dan Pengajaran Di Sekolah, misalnya, tujuan pendidikan ialah mencetak atau
membentuk manusia yang secara sosial cakap, demokratis, dan bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air.
Pada
zaman Soekarno pula dikenal istilah pancawardana, yakni pengembangan moral,
kecerdasan, emosional artistik, keprigelan, dan jasmani yang dikelola
sungguh-sungguh. Moralitas tidak melihat agama dan sukunya, hal terpenting
ialah manusia yang harkat dan martabatnya tertindas harus dibebaskan.
Pengembangan
kurikulum waktu itu disinari semangat untuk menjadi bangsa mandiri, bebas,
dan bertanggung jawab bagi pemeliharaan perbaikan tatanan masyarakat. Arahnya
jelas transformatif, yakni mengubah dari bangsa tertindas menjadi merdeka dan
sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Namun,
dimensi transformatif kurikulum itu memudar. Kini, pendidikan malah cenderung
menjadi alat reproduksi sosial, yakni melanggengkan kemiskinan, kebodohan,
dan ketidakadilan. Pendidikan seperti didomestifikasi, maksudnya, ”saya
bersekolah, agar menjadi anak yang pintar, baik, dan maju (bagi diri
sendiri)”. Pendidikan menjadi proyek individu. Padahal, pendidikan itu
seharusnya proyek kebangsaan.
Jika
hendak mengembangkan visi transformasi sosial dalam kurikulum dan
pengembangan karakter, tentunya program pendidikan calon guru, buku ajar,
hingga sistem evaluasi belajar mesti memiliki visi serupa. Kurikulum
transformasi sosial tidak dapat dievaluasi dengan ujian nasional, tetapi
anak-anak diuji kemampuannya membuat proyek di lingkungan. Anak belajar
membuat proposal untuk menyelesaikan masalah sosial. Kurikulum tak dapat
berdiri sendiri untuk membuat perubahan.
Begitulah,
tampaknya untuk dapat maju 20 tahun ke depan, kita mesti menengok kembali
visi transformatif pendiri bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar