Kredibiltas
Hasil UN
Biyanto; Dosen UIN
Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 21 Mei 2014
Hasil
Ujian Nasional (UN) untuk SMA/MA/ SMK secara resmi telah diumumkan pada
Selasa (20 Mei 2014). Tingkat kelulusan SMA/MA mencapai 99,52%, turun jika
dibanding UN 2013 sebesar 99,53%. Sedangkan tingkat kelulusan SMK adalah
99,90%, turun jika dibanding tahun lalu yang mencapai 99,94%. Data ini
menunjukkan bahwa angka ketidaklulusan UN meningkat. Yang paling mencolok
adalah ketidaklulusan SMK yang jika diangkakan mencapai 1.159 siswa. Padahal
tahun lalu angka ketidaklulusan SMK hanya 601 siswa. Data Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga melaporkan bahwa rata-rata nilai
UN SMA tahun ini adalah 6,12. Nilai ini sedikit lebih rendah dari ratarata
hasil UN tahun lalu yakni 6,32.
Rata-rata
nilai UN juga lebih rendah dari rata-rata nilai ujian sekolah yang mencapai
8,39. Data ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan sekolah memberikan nilai
tinggi saat ujian sekolah. Karena itu, nilai UN penting sebagai pembanding
nilai ujian sekolah. Melihat capaian hampir 1,7 juta anak SMA yang mengikuti
UN, jelas nilai mereka masih sangat rendah. Karena itu, harus ada intervensi
dari stakeholders pendidikan untuk meningkatkan mutu lulusan SMA.
Variabel
terpenting dari keinginan untuk meningkatkan mutu lulusan adalah guru.
Peranan guru sangat penting karena menjadi ujung tombak pendidikan. Bukankah
jantung pendidikan itu selalu ada di kelas? Dan, gurulah yang bertanggung
jawab terhadap proses belajar mengajar di kelas.
Selain
persoalan rata-rata nilai yang rendah, UN tahun ini juga dinodai berbagai
kasus ketakjujuran. Yang lebih menyedihkan, kasus itu melibatkan kepala
sekolah (kasek) dan guru. Pemerhati dan praktisi pendidikan pasti kaget
tatkala membaca berita bahwa ada 70 kasek dan guru berkomplot untuk mencuri
soal UN. Kasus memalukan ini terjadi di Kabupaten Lamongan, Jatim. Kasus ini
jelas menjadi potret buram pelaksanaan UN. Tidak tertutup kemungkinan jika
kasus ketakjujuran dalam UN SMA layaknya fenomena gunung es.
Artinya,
kasus ketakjujuran yang melibatkan kasek dan guru sesungguhnya sangat banyak.
Hanya, kasuskasus itu luput dari perhatian publik karena belum terendus
media. Apalagi dalam perkembangan penyelidikan aparat kepolisian, kasus
pencurian soal oleh kepala sekolah dan guru itu ternyata berkaitan dengan
jaringan joki gosok. Melalui joki gosok dan jaringannya inilah praktik jual
beli kunci jawaban UN menyebar hingga di Surabaya.
Setidaknya
ada delapan SMA negeri di Surabaya yang terlibat jaringan joki gosok. Dampak
dari berbagai kasus ketakjujuran itu menyebabkan publik kurang percaya dengan
hasil UN. Kredibilitas hasil UN pun terus dipersoalkan. Karena itu, sejumlah
rektor menolak untuk menjadikan nilai UN SMA sebagai salah satu komponen
penilaian masuk perguruan tinggi negeri. Para rektor menilai hasil UN tidak
lagi mencerminkan kemampuan yang sebenarnya dari siswa.
Padahal
Mendikbud Mohammad Nuh berulang memerintahkan pada para rektor untuk
menjadikan hasil UN sebagai dasar penerimaan mahasiswa baru. Persoalan
ketakjujuran yang selalu mewarnai pelaksanaan UN secara tidak langsung juga
diakui pemerintah. Itu dapat diamati dari kebijakan Kemendikbud yang mengubah
soal UN dari lima paket menjadi 20 paket. Di samping itu, pengamanan soal UN
juga dilakukan superketat. Tidak cukup pengawas dari kalangan sipil, aparat
kepolisian pun dilibatkan untuk menjaga UN.
Pelibatan
aparat kepolisian secara masif menunjukkan antisipasi Kemendikbud untuk
menjaga UN dari praktik tidak jujur. Rasanya tidak pernah ada pelaksanaan
ujian di negara-negara lain yang dijaga begitu banyak aparat kepolisian
sebagaimana yang terjadi di Tanah Air. Meski UN telah dijaga aparat
kepolisian, praktik tidak jujur tetap terjadi. Itu karena budaya tidak jujur
telah menyebar hampir seluruh bidang kehidupan.
Untuk
meniadakan praktik ketakjujuran saat UN, pasti dibutuhkan waktu karena itu
terkait budaya. Meski begitu, Kemendikbud dan pihak-pihak yang berkepentingan
dengan hasil ujian harus terus berusaha untuk membangun budaya jujur. Dalam
kaitan ini pihak-pihak yang terlibat praktik ketakjujuran harus ditindak
tegas. Langkah inilah yang tampaknya belum dilakukan Kemendikbud. Justru aparat
kepolisian yang kelihatan serius untuk menyelidiki kasus pencurian soal dan
peredaran kunci jawaban UN.
Kemendikbud
seharusnya terlibat aktif menyelesaikan kasus ketakjujuran UN. Jika perlu, ada
pemberian sanksi keras misalnya pemecatan kepada kasek dan guru komplotan
pencuri soal UN. Langkah ini penting agar menjadi pelajaran bagi kasek dan
guru lain. Di samping pemberian sanksi yang bersifat personal, sanksi
seharusnya juga diberikan pada sekolah. Apalagi jika dalam penyelidikan
ditemukan fakta bahwa sekolah telah melakukan pembiaran terhadap praktik
ketakjujuran.
Dalam
hal ini sanksi pada sekolah dapat berupa penurunan status akreditasi.
Pengalaman negara-negara maju seperti Singapura layak dijadikan referensi.
Negeri jiran Singapura telah menerapkan sanksi penurunan status akreditasi
bagi sekolah yang tidak jujur saat UN. Hukuman ini ternyata sangat efektif
untuk meminimalkan praktik ketakjujuran. Apalagi tindakan itu kemudian diikuti
dengan ekspose ke media. Sekolah mana pun akan takut jika diumumkan ke media
telah melakukan praktik ketakjujuran saat UN.
Jika
langkah tersebut dicontoh Kemendikbud, rasanya akan memberikan efek jera pada
kepala sekolah dan guru. Sementara sekolah yang diturunkan status
akreditasinya karena kasus ketakjujuran pasti akan ditinggalkan stakeholders -nya. Sekolah ini pada
saatnya tidak akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat hingga kemudian
gulung tikar. Persoalannya, kini berpulang pada keberanian Kemendikbud.
Beranikah Kemendikbud memberikan sanksi pada pihak-pihak yang telah menodai
UN dengan menyebarkan virus ketakjujuran? Rasanya masyarakat akan memberikan
apresiasi yang setinggi-tingginya pada Kemendikbud jika berani bersikap
tegas.
Kita
harus berempati pada anak-anak yang sudah bekerja keras, bersungguh-sungguh,
dan berperilaku jujur saat UN. Mereka terpaksa harus menerima kenyataan hasil
UN-nya dinilai tidak kredibel akibat kasus ketakjujuran yang dilakukan oknum
tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar