Rabu, 21 Mei 2014

Kebangkitan Peradaban

Kebangkitan Peradaban

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sekarang, kata “kebangkitan” menjadi jargon yang populer. Apalagi pada bulan ini, Mei, yang sudah dijadikan bulan kebangkitan nasional, merujuk pendirian organisasi gerakan Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 oleh dr Wahidin Soedirohoesodo dan dr Soetomo.

BO bertujuan membangun kesadaran berbangsa untuk melawan penjajah Belanda, tidak dengan mengangkat senjata sendiri-sendiri di masing-masing daerah, tetapi menggunakan kekuatan pikiran. Salah satu caranya, “mengangkat pena” atau menulis gagasan-gagasan yang kemudian disebarluaskan melalui penerbitan untuk memengaruhi dan menghimpun kekuatan.

Mengacu niat BO, 90 tahun kemudian pada awal gerakan Reformasi, tepatnya 1998, muncul gerakan “Indonesia Bangkit”. Karena tidak juga bangkit-bangkit, sekelompok orang yang sinis dan skeptis mengatakan, yang terjadi adalah Indonesia bangkrut. Tentu, kita tidak boleh pesimistis apalagi sinis, sebaliknya harus tetap optimistis dan berpikir positif.

Awalnya, setelah BO berdiri, istilah yang dipakai adalah “kebangoenan” (kebangunan), bukan kebangkitan. Masuk akal juga. Jika bangsa ini dibaratkan sebagai orang yang sedang tidur, harus bangun dulu, baru bangkit. Pertanyaannnya hari ini, apanya yang bangkit?

Peradaban

Jawabnya, peradaban kita! Mengapa? Silakan baca sejarah. Mengapa Indonesia dan hampir semua bangsa Asia dan Afrika dijajah bangsa Eropa? Jawabnya: kita kalah peradaban dengan bangsa-bangsa Barat. Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan, bangsa berperadaban lebih tinggi selalu mengalahkan bangsa yang berperadaban lebih rendah.

Apakah itu peradaban? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradaban adalah kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin atau hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Kecerdasan adalah kecanggihan berpikir sebagai hasil pendidikan, sedangkan kebudayaan adalah buah peradaban.

Ki Hajar Dewantara, bapak pendididikan nasional yang kita peringati hari kelahirannya setiap 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, dalam salah satu tulisannya di penerbitan Wasita pada 1936 mengatakan, kebudayaan adalah buah “keadaban” manusia. “Adab adalah keluhuran budi maka buahnya disebut budaya,” tulisnya.

Budi, menurut Ki Hajar (Pusara, 1948), adalah jiwa yang sudah masak, sudah cerdas. Karena itu, ia sanggup dan mampu mencipta. Budi manusia mempunyai sifat luhur dan halus jadi segala ciptaannya bersifat luhur dan halus pula, sesuai pelajaran etika dan estetika.

Karena budi manusia meliputi segala gerak-gerik pikiran, rasa, dan kemauan, kebudayaan sebagai buahnya meliputi ketiga hal itu. Buah pikiran meliputi ilmu pengetahuan, pendidikkan, dan pengajaran filsafat. Buah perasaan mencakup segala sifat keindahan dan keluhuran batin, kesenian, adat istiadat, kenegaraan, keagamaan, dan kesosialan. Sementara itu, buah kemauan berupa industri, pertanian, perkapalan, dan bangunan, tulisnya lebih lanjut.

Belakangan, ditemukan orang yang pandai dan berpendidikan tinggi belum tentu berbudaya tinggi. Itu karena yang terakhir itu memerlukan pengamalan atau praktik sehari-hari dalam kurun yang cukup lama.

Membuat orang pandai lebih mudah daripada membuat orang berbudaya, apalagi beradab tinggi. Memang harus diakui, orang berpendidikan lebih mudah diajak menjadi beradab.

Jadi, yang pertama-tama dibangkitkan adalah kesadaran atau jiwa. Persis seperti bunyi lagu Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Pertama jiwanya, karakternya, sikap mentalnya, atau pola pikirnya yang harus dibangun, baru ilmu dan keterampilan teknisnya. Agama, budaya, dan kearifan lokal adalah sumber pedoman pembentukan karakter.

Bung Karno pada 1960-an telah mencoba membangkitkan bangsa Indonesia melalui seruan Trisakti, berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Hasilnya, merdeka dan berdaulat dalam arti diakui eksistensi kita oleh bangsa lain, yes.

Namun dalam bidang ekonomi, kita belum berdikari, bahkan tergantung utang luar negeri dan impor pangan, sedangkan sumber daya alam negeri ini dikuras habis-habisan. Karena itu, kini lantang diserukan kedaulatan pangan. Di bidang kebudayaan, agak sulit menjawabnya. Mungkin stagnan atau bahkan mundur.

Salah satu bukti konkretnya adalah maraknya korupsi dan transaksionalisme dalam pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April, 2014. Ditemukan banyak kecurangan. Orang-orang yang berkapasitas dan berintegritas kalah dengan orang yang mengandalkan popularitas berkat politik uang (money politics).

Calon pemilih terang-terangan meminta uang atau sembako. Selain itu, banyak calon anggota legislatif (caleg) yang sejak awal sudah menyediakan yang diminta itu. Klop, sama-sama “matre”. Namun karena pemimpin harus memberi contoh, saya lebih menyalahkan yang memberi.

Dengan wakil rakyat yang memperoleh kedudukan dengan cara tidak beradab tinggi, kebangkitan yang diharapkan sulit terjadi. Alasannya, mau tidak mau, suka tidak suka, nasib bangsa ini lima tahun ke depan ditentukan keputusan politik mereka. Tak perlu pesimistis, justru sebalkiknya, ayo bangkit untuk membangun politik yang beradab, prophetic politics (politik profetik atau kenabian), meneladani para nabi dan rasul.

Bagi umat Islam, pedomannya adalah empat akhlak Muhammad SAW, yakni siddiq (benar), tabligh (menyebarkan kebenaran dengan cara mendidik), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (penuh kearifbijaksanaan). Sekali lagi, mari bangkitkan politik profetik melalui jalan lurus, tanpa main fulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar