Kebangkitan
Peradaban
Parni
Hadi ; Wartawan dan
Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 20 Mei 2014
Sekarang,
kata “kebangkitan” menjadi jargon yang populer. Apalagi pada bulan ini, Mei,
yang sudah dijadikan bulan kebangkitan nasional, merujuk pendirian organisasi
gerakan Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 oleh dr Wahidin Soedirohoesodo dan
dr Soetomo.
BO
bertujuan membangun kesadaran berbangsa untuk melawan penjajah Belanda, tidak
dengan mengangkat senjata sendiri-sendiri di masing-masing daerah, tetapi
menggunakan kekuatan pikiran. Salah satu caranya, “mengangkat pena” atau
menulis gagasan-gagasan yang kemudian disebarluaskan melalui penerbitan untuk
memengaruhi dan menghimpun kekuatan.
Mengacu
niat BO, 90 tahun kemudian pada awal gerakan Reformasi, tepatnya 1998, muncul
gerakan “Indonesia Bangkit”. Karena tidak juga bangkit-bangkit, sekelompok
orang yang sinis dan skeptis mengatakan, yang terjadi adalah Indonesia
bangkrut. Tentu, kita tidak boleh pesimistis apalagi sinis, sebaliknya harus
tetap optimistis dan berpikir positif.
Awalnya,
setelah BO berdiri, istilah yang dipakai adalah “kebangoenan” (kebangunan),
bukan kebangkitan. Masuk akal juga. Jika bangsa ini dibaratkan sebagai orang
yang sedang tidur, harus bangun dulu, baru bangkit. Pertanyaannnya hari ini,
apanya yang bangkit?
Peradaban
Jawabnya,
peradaban kita! Mengapa? Silakan baca sejarah. Mengapa Indonesia dan hampir
semua bangsa Asia dan Afrika dijajah bangsa Eropa? Jawabnya: kita kalah
peradaban dengan bangsa-bangsa Barat. Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan,
bangsa berperadaban lebih tinggi selalu mengalahkan bangsa yang berperadaban
lebih rendah.
Apakah
itu peradaban? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradaban adalah
kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin atau hal yang menyangkut sopan
santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Kecerdasan adalah
kecanggihan berpikir sebagai hasil pendidikan, sedangkan kebudayaan adalah
buah peradaban.
Ki Hajar
Dewantara, bapak pendididikan nasional yang kita peringati hari kelahirannya
setiap 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, dalam salah satu tulisannya di
penerbitan Wasita pada 1936 mengatakan, kebudayaan adalah buah “keadaban”
manusia. “Adab adalah keluhuran budi maka buahnya disebut budaya,” tulisnya.
Budi,
menurut Ki Hajar (Pusara, 1948), adalah jiwa yang sudah masak, sudah cerdas.
Karena itu, ia sanggup dan mampu mencipta. Budi manusia mempunyai sifat luhur
dan halus jadi segala ciptaannya bersifat luhur dan halus pula, sesuai
pelajaran etika dan estetika.
Karena
budi manusia meliputi segala gerak-gerik pikiran, rasa, dan kemauan,
kebudayaan sebagai buahnya meliputi ketiga hal itu. Buah pikiran meliputi
ilmu pengetahuan, pendidikkan, dan pengajaran filsafat. Buah perasaan
mencakup segala sifat keindahan dan keluhuran batin, kesenian, adat istiadat,
kenegaraan, keagamaan, dan kesosialan. Sementara itu, buah kemauan berupa
industri, pertanian, perkapalan, dan bangunan, tulisnya lebih lanjut.
Belakangan,
ditemukan orang yang pandai dan berpendidikan tinggi belum tentu berbudaya
tinggi. Itu karena yang terakhir itu memerlukan pengamalan atau praktik
sehari-hari dalam kurun yang cukup lama.
Membuat
orang pandai lebih mudah daripada membuat orang berbudaya, apalagi beradab
tinggi. Memang harus diakui, orang berpendidikan lebih mudah diajak menjadi
beradab.
Jadi,
yang pertama-tama dibangkitkan adalah kesadaran atau jiwa. Persis seperti
bunyi lagu Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Pertama
jiwanya, karakternya, sikap mentalnya, atau pola pikirnya yang harus
dibangun, baru ilmu dan keterampilan teknisnya. Agama, budaya, dan kearifan
lokal adalah sumber pedoman pembentukan karakter.
Bung
Karno pada 1960-an telah mencoba membangkitkan bangsa Indonesia melalui
seruan Trisakti, berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Hasilnya, merdeka dan berdaulat dalam arti diakui eksistensi kita oleh bangsa
lain, yes.
Namun
dalam bidang ekonomi, kita belum berdikari, bahkan tergantung utang luar
negeri dan impor pangan, sedangkan sumber daya alam negeri ini dikuras
habis-habisan. Karena itu, kini lantang diserukan kedaulatan pangan. Di
bidang kebudayaan, agak sulit menjawabnya. Mungkin stagnan atau bahkan
mundur.
Salah
satu bukti konkretnya adalah maraknya korupsi dan transaksionalisme dalam
pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April, 2014. Ditemukan banyak
kecurangan. Orang-orang yang berkapasitas dan berintegritas kalah dengan
orang yang mengandalkan popularitas berkat politik uang (money politics).
Calon pemilih
terang-terangan meminta uang atau sembako. Selain itu, banyak calon anggota
legislatif (caleg) yang sejak awal sudah menyediakan yang diminta itu. Klop,
sama-sama “matre”. Namun karena pemimpin harus memberi contoh, saya lebih
menyalahkan yang memberi.
Dengan
wakil rakyat yang memperoleh kedudukan dengan cara tidak beradab tinggi,
kebangkitan yang diharapkan sulit terjadi. Alasannya, mau tidak mau, suka
tidak suka, nasib bangsa ini lima tahun ke depan ditentukan keputusan politik
mereka. Tak perlu pesimistis, justru sebalkiknya, ayo bangkit untuk membangun
politik yang beradab, prophetic politics (politik profetik atau kenabian),
meneladani para nabi dan rasul.
Bagi
umat Islam, pedomannya adalah empat akhlak Muhammad SAW, yakni siddiq
(benar), tabligh (menyebarkan kebenaran dengan cara mendidik), amanah (dapat
dipercaya), dan fathanah (penuh kearifbijaksanaan). Sekali lagi, mari
bangkitkan politik profetik melalui jalan lurus, tanpa main fulus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar