“Derby”
Nasionalis
Jeffrie Geovanie ; Diretur Utama PT Sinar Harapan Media Holding
|
SINAR
HARAPAN, 02 Mei 2014
Pertarungan
di arena politik agak mirip dengan pertandingan sepak bola, penuh kejutan.
Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Mari kita tengok
sejenak, misalnya di arena Liga Champions, laga pertarungan antarklub paling
bergengsi di Eropa atau bahkan di dunia itu baru-baru ini menghadirkan
kejutan.
Klub
yang dianggap terkuat, sang petahana, Bayern Munchen, tersungkur dengan
telak, 0-4, di kandangnya sendiri saat laga leg kedua semifinal melawan Real
Madrid, yang di klasemen kompetisi domestiknya bukan yang teratas.
Siapa
pula yang menduga, Real Madrid harus bertemu lawan sekotanya, Atletico
Madrid, yang dalam semifinal mengalahkan Chelsea, yang juga tersungkur di
kandangnya sendiri yang terkenal angker, Stamford Bridge. Laga final Liga
Champion menjadi ajang derby Madrid, layaknya La Liga (Liga Spanyol).
Agak
mirip dengan Liga Champion Eropa, pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia
akan menjadi ajang derby, dua
kekuatan nasionalis bertemu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang pada Pilpres 2009 berada dalam
satu barisan melawan kekuatan liberal (Partai Demokrat) yang disokong
partai-partai pragmatis.
Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada capres-capres yang lain, menurut saya, hanya
dua capres dari dua partai itulah, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto,
yang akan beradu kuat di pilpres dengan visi, strategi, dan taktik
masing-masing. Fenomena ini semakin memperkuat adagium, dalam politik tidak
ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Pihak yang sebelumnya
berkawan, sekarang menjadi lawan.
Antitesis SBY
Baik
Jokowi maupun Prabowo sama-sama dianggap antitesis Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), yang selama dua periode pemerintahannya tidak menghasilkan
prestasi yang mengesankan. Oleh karena itu, menjadi antitesis SBY merupakan
pilihan menarik. Tentu lain ceritanya jika pemerintahan SBY sukses luar
biasa.
Siapa di
antara kedua capres yang dianggap paling tepat mewakili antitesis SBY?
Menurut banyak kalangan, Prabowo lebih tepat karena performanya tegas, decisive , bahkan cenderung galak. Ini
sangat kontras dengan pembawaan SBY yang melankolis, penuh keragu-raguan, dan
santun.
Menurut
saya, Jokowi juga tepat dikatakan antitesis SBY karena di era demokratisasi
seperti sekarang, terjadi proses transformasi dalam mendambakan sosok
pemimpin. Mulanya, rakyat mendambakan sosok pemimpin yang gagah dan pintar,
pada sosok seperti inilah tumpuan rakyat diletakkan. Tampilnya SBY dianggap
merepresentasikan tahapan ini.
Tapi,
setelah sosok yang gagah dan pintar terbukti kurang efektif menjadi pemimpin,
rakyat kemudian mengharapkan sosok pemimpin yang bersifat jujur, tulus, dan
hadir di tengah rakyat. Jadi, yang didambakan bukan lagi tampilan fisiknya,
melainkan lebih pada karakteristik.
Jika SBY
profil perfeksionis, dengan tampilan dan gaya bicara yang diatur sedemikian
rupa sehingga jauh dari kesalahan-kesalahan yang bersifat teknis dan tampak
bertumpu pada pencitraan, Jokowi adalah profil apa adanya, dengan tampilan
dan gaya bicara yang lebih terkesan ceplas-ceplos, jauh dari pencitraan.
Kompetensi dan Efektivitas
Dalam
perspektif komunikasi, ada metode distingsi yang membedakan antara satu dan
yang lain. Perbedaan menjadi penting karena publik cenderung memilih yang
berbeda dari yang ada.
Baik
Jokowi maupun Prabowo sudah berhasil menciptakan distingsi dari presiden
petahana (SBY) yang ingin digantikan. Namun, yang diinginkan publik bukan
semata presiden baru, melaikan juga sesuatu yang baru dari yang sudah ada
sebelumnya.
Tapi, perbedaan
apakah yang harus dikedepankan? Saya kira, pertanyaan ini penting diajukan
agar kita tidak terjebak perbedaan yang mengacu fisik semata, atau pada
karakteristik individual yang tampak di depan mata.
Perbedaan
yang memberi nilai tambah, inilah yang lebih penting. Nilai tambah bisa
muncul saat ditopang dua hal, pertama adalah kompetensi dan kedua adalah
efektivitas.
Banyak
pihak menilai SBY sebagai pemimpin yang kompeten. Di jajaran militer, ia
dikenal sebagai “The Thinking General”, jenderal yang berpikir. SBY menjadi
antitesis Soeharto yang dikenal sebagai “The Smiling General”.
Dalam
praktik, kompetensi saja tidak cukup karena masih membutuhkan aspek lain yang
bisa membuat kompetensi menjadi efektif. Karena itu, siapa pun yang menjadi
presiden pasca-SBY, harus mampu memadukan kompetensi dan efektivitas.
Jokowi
dan Prabowo, menurut saya, sama-sama berkompetensi sebagai modal dasar
menjadi presiden. Kompetensi keduanya sudah teruji. Sebagai pemimpindi
daerah, keberhasilan Jokowi sudah mendapatkan banyak pengakuan (berupa
penghargaan), baik nasional maupun internasional. Sementara itu, Prabowo,
meskipun belum pernah menjadi kepala daerah, kompetensi kepemimpinannya juga
sudah teruji di lapangan, saat memimpin jenjang-jenjang kemiliteran.
Bagaimana
keduanya bisa menjadi pemimpin yang efektif jika kelak menjadi presiden? Ini
akan sangat tergantung dua hal. Pertama, siapa yang dipilih menjadi (calon)
wakil presiden. Kedua, model koalisi seperti apa yang akan dibangun dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Pertama,
posisi wakil presiden penting, bukan sebagai ban serep yang menjadi pelengkap
atau sekadar aksesori. Berkaca pada pemerintahan SBY, periode pertama lebih
efektif karena di sampingnya ada Jusuf Kalla yang tangkas dan cekatan.
Sementara itu, periode kedua kurang efektif karena didampingi Profesor
Boediono yang juga pemikir seperti SBY.
Kedua,
koalisi yang dibangun SBY berjalan tidak efektif karena semata untuk
memperbesar dukungan yang dibangun atas dasar kepentingan bagi-bagi
kekuasaan. Besar, tapi rapuh, karena di dalamnya terjadi tarik-menarik
kepentingan. Koalisi dibangun hanya berdasarkan bagi-bagi kursi menteri,
bukan atas dasar kesamaan visi dan ideologi.
Dua
periode pemerintahan SBY menjadi pelajaran penting, baik bagi Jokowi maupun
Prabowo. Pertama mereka harus memilih pendamping yang tepat. Kedua, dalam
membangun koalisi, yang penting bukan besarnya, tapi efektivitasnya.
Setelah
kedua hal itu terpenuhi, akhirnya rakyatlah yang memilih, siapa di antara
kedua pemimpin nasionalis itu yang dianggap lebih tepat menjadi Presiden
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar