Budaya
Kontrak Politik
Biyanto ;
Dosen
UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis
Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 03 Mei 2014
PERKEMBANGAN
politik setelah pemilu legislatif terasa begitu dinamis. Calon presiden
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari sejumlah partai politik
terus bergerak untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak.
Elite
partai politik yang lain juga beradu lari melakukan safari politik untuk
menjajaki kemungkinan membangun koalisi. Tidak ketinggalan, sejumlah elite
organisasi massa (ormas) keagamaan juga melakukan serangkaian pertemuan untuk
menyamakan persepsi jelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan
diselenggarakan 9 Juli mendatang.
Usaha
elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer
disebut kontrak politik. Budaya kontrak politik menjadi tren sejak pemilu
langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam
pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Jika
ditengok ke belakang, budaya kontrak politik dimulai sejak Pemilu 2004.
Kontrak politik juga mewarnai dinamika politik lokal seiring proses pilkada
mulai provinsi, juga pilkada kabupaten dan kota. Bukan hanya saat pilpres dan
pilkada, kontrak politik juga dilakukan calon anggota legislatif (caleg) pada
pemilu legislatif lalu.
Modusnya,
sebagian caleg melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya.
Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan janji
memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika terpilih sebagai
legislator.
Juga ada
kontrak bercorak money politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah
tertentu sesuai dengan perolehan suara. Secara umum kontrak politik dapat
didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi,
capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat
dengan pemimpinnya.
Sayangnya
dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya
sebagai pemandu sorak (cheer leaders)
dan sasaran mobilisasi. Dalam posisi ini rakyat tetap mengalami marginalisasi
baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan secara politik rakyat mengalami
tuna kuasa (powerlessness).
Di era
reformasi ini semua orang berpeluang menjadi pelaku kontrak politik. Termasuk
kalangan elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan yang pada masa
sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite
agama dan ormas keagamaan yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif
dan legislatif.
Kondisi
ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam budaya kontrak
politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian
jauh bermain dalam ranah politik praktis.
Realitas
inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suara-suara sumbang pada hampir
setiap ada kontrak politik. Dalam pandangan sebagian orang, kontrak politik
sering dianggap permainan di tingkat elite. Itu berarti hanya kelompok elite
yang diuntungkan dari budaya kontrak politik. Dalam tradisi Islam, kontrak
politik dapat disamakan dengan konsep baiat (al-bay’ah). Konsep ini dimaknai dalam konteks pembentukan sebuah
negara. Negara dibentuk berdasarkan keinginan berbagai kelompok masyarakat.
Tujuannya
membangun tatanan masyarakat yang tunduk dan patuh pada pimpinan. Untuk
menjaga komitmen maka dibuatlah kontrak sosial (al-‘aqd al-ijtima‘iy) yang terjadi antara pemimpin dan rakyat
dalam bentuk baiat.
Ibn
Khaldun, sosiolog dan sejarawan muslim kenamaan, dalam karya monumentalnya The Muqaddimah an Introduction to History
(1998) menyatakan bahwa bai’at adalah perjanjian atas dasar ikatan kesetiaan
rakyat dengan pemimpinnya. Melalui mekanisme bai’at inilah pemimpin terpilih
dilantik dan disumpah di hadapan rakyat.
Hampir
sama dengan tradisi Islam, di Barat juga mengenal konsep kontrak sosial (social contract) seperti dikemukakan
Jean Jacques Rousseau. Teori kontrak sosial Rousseau menekankan pentingnya perjanjian
antarunsur masyarakat sehingga terwujud kebaikan bersama (public good).
Perbincangan
mengenai kontrak politik berikut implikasinya dapat dijelaskan dengan
meminjam kerangka pikir Peter Blau (1964) mengenai teori pertukaran sosial (social exchange theory). Berdasarkan
teori ini, dapat dipahami bahwa hubungan pertukaran sosial antara seseorang
dengan orang lain terjadi karena adanya imbalan.
Karena
itu dapat dipahami jika dalam setiap pertukaran sosial terdapat unsur imbalan
(reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit). Proses pertukaran sosial
politik dimungkinkan karena ada pihak yang membutuhkan pertolongan dan pihak
yang memberikan pertolongan. Di sinilah aspek kepentingan akan tampak
menonjol. Maka, tidak mengherankan jika dalam budaya kontrak politik
pembicaraan mengenai who gets what,
how, and when (siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan) menjadi
perhatian utama.
Karena
itu, publik sering mendengar ungkapan yang menyertai kontrak politik seperti
politik dagang sapi, ongkos politik, dan bahkan ”mahar” politik. Jadi tidak
ada yang gratis dalam budaya kontrak politik yang melibatkan elite partai.
Dengan
penjelasan tersebut berarti upaya elite partai untuk membangun budaya kontrak
politik harus dipahami dalam konteks teori pertukaran. Tetapi, kita tentu
tidak boleh berburuk sangka terlebih dulu. Jika benar dalam kontrak politik
terdapat kalkulasi sosial, ekonomi, dan politik, maka itu harus dipahami
dalam konteks yang lebih proporsional.
Itu
karena setiap kontrak politik meniscayakan adanya ongkos politik. Tentu saja
akan lebih elegan jika tujuan kontrak politik adalah untuk memberikan jaminan
terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance), kepastian hukum (law enforcement), dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Itu
berarti orientasi kontrak politik seharusnya untuk kepentingan bangsa dan
negara. Persoalannya kini berpulang pada komitmen elite partai dan tokoh
agama yang sedang melakukan kontrak politik.
Adakah
dalam kontrak politik itu dilandasi kepentingan pragmatis jangka pendek? Atau
sebaliknya, motivasi melakukan kontrak politik adalah kepentingan jangka
panjang dalam rangka membangun bangsa dan negara menjadi lebih sejahtera,
terhormat, dan bermartabat.
Publik tentu akan terus mengikuti arah koalisi partai-partai politik
yang kini sedang berproses. Untuk itu, kalangan elite harus diingatkan agar
komitmen jangka panjang yang lebih diutamakan dalam budaya kontrak politik.
Lebih dari itu, budaya kontrak politik juga harus dilakukan secara transparan,
jujur, dan tanggung jawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar