Bargaining
Nationalism
Radhar
Panca Dahana ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 20 Mei 2014
INILAH
pertanyaan dasar (juga hipotesa) yang sering saya ajukan di balik bangunan
historik negara Indonesia kita: apakah benar modernitas bangsa kita sebagai
negara dibentuk oleh sebuat spirit juga gagasan yang bernama ”nasionalisme”.
Saya
memulai jawaban hipotetik saya dengan semacam kesangsian, ada hal atau faktor
lain yang jauh lebih kuat dimiliki oleh bangsa ini sehingga mereka (merasa
perlu, harus, bahkan niscaya) bersatu untuk membentuk identitas baru
sekaligus melawan apa yang disebut dengan kolonialisme. Faktor itu, dengan
seluruh kemampuan analitik plus keyakinan, adalah apa yang kita sebut -dan
kerap kita curigai justru sebagai potensi penghancur kesatuan dan
nasionalisme itu sendiri- dengan (identitas) lokal atau kedaerahan.
Apa yang
saya maksud ini adalah sebuah satuan-satuan kultural yang telah menciptakan,
merawat dan mengembangkan adab(t) dan tradisinya masing-masing selama ratusan
bahkan ribuan tahun di wilayahnya masing-masing di seluruh wilayah Nusantara.
Apa yang menjadi niat dan tujuan dasar dari tumbuhnya organisasi-organisasi
lokal (daerah) bersifat modern, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak,
Jong Ambon, Jong Sumataranen Bond hingga Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi
adalah kumpulan anak-anak muda yang memiliki semangat (dan tujuan memuliakan
budaya) kedaerahan.
Bahkan
Budi Utomo (BU) yang didirikan pada awalnya pun pada akhirnya harus mengambil
bentuk sejatinya sebagai organisasi priyayi Jawa yang memang menjadi golongan
pendiri dan elite pengurusnya. Kenyataan itu menggambarkan, gerakan awal di
negeri ini dimulai oleh sebuah kesadaran yang pada mulanya bukanlah politik,
tapi pada masalah-masalah praktis kesehatan, perdagangan (ekonomi) -seperti
Sarekat Islam, yang notabene primordial Jawa dan Islam- dan terutama pada
dimensi adab dan tradisi lokal mereka; apa yang kita sebut dengan sebutan:
kebudayaan.
Pada
intinya, semua organisasi itu adalah gerakan (yang bersemangat/ berdimensi)
kebudayaan. Tidak ada politik apalagi dalam bentuk modern (demokratisnya)
yang bernama partai, terlibat dan bermain di tahap awal ini. Kecuali ketika
infiltrasi gagasan baru dari Eropa yang mendesakkan universalisme sebagai
basis melihat eksistensi manusia, sebagai gagasan dasar dari apa yang kita
sebut kemudian sebagai ”human
rights", ”liberalisme” juga ”demokrasi” itu sendiri, dilakukan oleh
beberapa orang asing yang konon ”pro pergerakan” seperti Douwes Dekker,
Snevliet, atau rekanan mereka macam Soewardi yang ngotot menyeret BU menjadi
gerakan politik dengan menentang Gunawan Mangunkusumo yang berkeras
menetapkan BU dalam khittahnya sebagai pergerakan pendidikan dan kebudayaan.
Maka tidaklah
mengherankan bila milestone kedua dari sejarah pergerakan dan dibangunnya
negara modern (republik) ini, dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928, tidak hanya dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda kedaerahan di
atas, dan hampir tiada organisasi apalagi partai politik, tapi juga
sebenarnya bukanlah sebuah petanda dari sebuah revolusi (pemikiran dan
gerakan) politik, tapi lebih tepat sebagai sebuah manifesto kebudayaan
pertama dan sesungguhnya, yang tentu saja sangat berbeda karakter, sifat dan
asal-usulnya dengan istilah yang sama yang pada tahuan 1966.
Kebudayaan yang Dirampok
Kebudayaan,
dalam hal ini adalah budaya-budaya lokal yang memencar hingga 700-an varian
di seluruh pelosok negeri kita, sesungguhnya adalah pondasi ideal(istik) dari
bangunan kebangsaan dan kenegaraan (modern) kita. Kearifan adat(b) dan
tradisi itulah yang memunculkan rasa dan kebutuhan akan persatuan berbasis
pada realitas historis ribuan tahun mereka di kawasan ini, realitas yang
menyadarkan mereka bahwa keberadaan yang satu ditentukan oleh juga keberadaan
(dan nasib) dari yang lainnya. Situasi interdenpendensial yang multikultural
itu adalah keniscayaan sejarah, geografis dan kebudayaan yang tidak
terelakkan.
Pergolakan
modern yang terjadi di seluruh dunia, sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad
ke-20, dari Turki hingga Mesir, dari India hingga Cina, hanyalah momentum
global dimana kebutuhan ”persatuan” itu mengental dan mengeras menjadi
pergerakan. Keniscayaan ini jauh lebih masuk akal dan fundamental ketimbang alasan
masuknya gagasan nasionalisme sebagai ide pemersatu dan pembentukan negara
modern Indonesia. Menurut sejarah yang kita tahu bersama, nasionalisme adalah
barang baru yang dibawa oleh agen-agen Barat dan para cendekiawan/intelektual
lokal yang belajar di Barat.
Betapa
pun sebenarnya ide itu sudah didiseminasi lebih dulu secara lebih terbatas
oleh pelajar-pelajar Islam Nusantara di wilayah Arab (terutama Magribi),
gagasan baru sama sekali ini tidaklah mungkin mengalami internalisasi di
kalangan seluruh rakyat Indonesia, katakanlah dalam jangka tahunan atau
belasan tahun. Proses internalisasi budaya atau pemberadaban di dalam
tradisi-tradisi yang ada di Indonesia selalu melewati proses yang sangat
panjang, bisa ratusan bahkan ribuan tahun.
Itulah
yang terjadi pada budaya-budaya asing yang tercerap dalam budaya lokal kita,
seperti India, Cina, Arab, Persia, Armenia, Yahudi dan sebagainya. Karenanya,
hipotesis itu menguat untuk menyatakan realitas kultural yang telah menjadi
adat dan adablah faktor utama lahirnya persatuan negeri ini. Lebih tegas,
kebudayaan dan kearifan lokal yang menjadi pemegang saham utama dari
berdirinya negara atau republik ini. Bukan organisasi apalagi partai politik.
Tapi cara berpikir, sistemik-teoritik-praktik modernlah yang kemudian memberi
permisi secara formal dan legal bagi partai politik membeli bahkan merebut
saham (kebudayaan atau) daerah itu untuk menjadi aktor utama dan penerima kue
terbesar dari bangunan baru kebangsaan kita. Sampai hari ini.
Menawar Konspirasi
Berbasis
komprehensi sejarah di atas, kini kita mendapatkan diri kita dalam sebuah
dekapan -tepatnya cengkeraman- gagasan yang sebenarnya tidak memiliki akar
dalam sejarah peradaban kita sendiri: nasionalisme dan demokrasi. Gagasan
yang diintrodusir oleh afirmasi kita pada sendi-sendi fundamentalnya tentang
kebebasan, universalisme, hak asasi manusia, dan sebagainya, yang sejak awal
abad ditanamkan dengan kuat oleh kepentingan kolonial dan komprador
globalnya.
Tidak
mengherankan jika kemudian kita harus berhadapan dengan bangsa-bangsa lain
tidak dalam posisi unik sebagai sebuah bangsa yang memiliki cara berpikir,
cara hidup dan sistem bermasyarakat sendiri, tapi dalam posisi kompetitif
dalam sirkuit politik dan ekonomi yang menggunakan engine, teknologi, rasionalitas bahkan ukuran-ukuran yang sama
(universal). Sejak awal, republik ”nasionalistis” ini harus melakukan
tawar-menawar (bargaining) dengan
kekuatan-kekuatan ”nasionalistis” lain, tanpa mampu mengedepankan unikum atau
alternatif peradaban kita sendiri.
Dapat
Anda bayangkan bagaimana nasionalisme tawar-menawar (bargaining nationalism) itu mendapat bentuk dan praktisnya di
masa kini. Pada apa dan siapa yang kita melakukan bargain itu? Bagaimana
proses dan isi tawar-menawarnya? Apa kemungkinan-kemungkinan hasilnya? Apa
yang sebenarnya hasil-hasil yang pernah ditelurkan oleh pemimpin-pemimpin
bangsa/negara kita dulu? Apa yang akan terjadi pada pemimpin kita di masa
depan (yang dekat) ini?
Seorang host sebuah untuk acara diskursif
tentang hukum di sebuah stasiun TV nasional mengutip ucapan J Edgar Hoover,
guru besar intelijen AS dan pendiri FBI, bahwa "...(bahkan Boediono dan Sri Mulyani, dua pejabat tinggi
keuangan kita yang diminta jadi saksi pengadilan atas kasus Bank Century)
tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan konspirasi besar..."
juga ternyata, (pemimpin) negeri ini harus menghadapi kekuatan yang sama
-bahkan lebih besar- untuk bargaining
ide(ologi) nasionalisme dengan kepentingan-kepentingan pragmatis yang tampak
begitu kritis dan mendesak. Apa atau siapa yang akan dikorbankan, tingkat
keluasan imajinasi Anda yang akan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar