Alienasi
Rakyat dan Wakilnya
Danang Probotanoyo ;
Peneliti
Centre for Indonesia Reform Studies UGM
|
SINAR
HARAPAN, 03 Mei 2014
Partisipasi
politik rakyat dalam kadar minimal sudah ditunaikan pada 9 April. Menurut
data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak kurang dari 185 juta rakyat Indonesia–
dari total 235 juta populasi–tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Namun,
berdasarkan hasil survei penghitungan cepat yang dilakukan Center for Strategic and International
Studies (CSIS) dan Cyrus Network,
tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilihan legislatif (pileg) hanya 75,3
persen, yang tidak memilih atau golput 24,7 persen.
Memang,
tidak semua dari 24,7 persen itu akibat alasan “ideologis” sehingga tak
menggunakan hak pilihnya. Halangan teknis tak jarang turut menyumbang angka
golput.
Seseorang
bisa saja tidak terdaftar dalam DPT, lantas malas mengurusnya atau tak punya
cukup waktu untuk itu. Di luar kendala teknis, angka golput yang mencapai
24,7 persen cukup merisaukan.
Itu
merupakan angka golput tertinggi dalam sejarah pemilihan umum (pemilu) di
Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan pada 1955!
Meski
secara ideal, tindakan golput mencerminkan minimnya sikap partisipatif dan
tanggung jawab terhadap nasib bangsa lima tahun ke depan. Namun, tak
serta-merta pilihan untuk tidak memilih bisa dipersalahkan.
Tindakan
menggolputkan diri berangkat dari rasa kecewa yang kronis terhadap tingkah
laku para pemimpin dan elite-elite politik yang selama ini kerap berbuat tak
pantas. Jagad perpolitikan Tanah Air sangat diwarnai polutan demokrasi dalam
wujud perilaku korupsi elite politik yang duduk di berbagai lembaga negara,
serta lembaga perwakilan rakyat.
Selain
korupsi, para wakil rakyat belum mampu menunjukkan etos kerja dan kinerja
seperti yang diharapkan. Ini tercermin dari rendahnya daftar presensi
kehadiran di sidang dan rapat-rapat. Kalau toh hadir di ruang sidang, tak
jarang waktunya dihabiskan untuk tidur. Ujungnya, produktivitas para wakil
rakyat terkait fungsi legislasi masih amat rendah.
Sebagai
gambaran, dari target 76 rancangan undang-undang (RUU) dalam Prolegnas 2013,
sepanjang masa sidang I tahun 2013-2014, hanya 15 RUU yang berhasil mereka
sahkan. Sementara itu, pada masa sidang II, DPR baru membahas 33 RUU.
Celakanya,
itu pun baru tahap pembicaran tingkat pertama. Selain menyeruaknya kasus
korupsi serta rendahnya etos kerja dan kinerja wakil rakyat, publik kerap dibuat
jengah dengan aksi foya-foya uang negara di kalangan wakil rakyat. Meski
banyak pihak kerap menyuarakan tak efektifnya “budaya” kunjungan kerja dan
studi banding ke luar negeri, nyatanya komisi- komisi di DPR tetap bergeming.
Nah,
gambaran buruk wakil rakyat dan elite politik tadi telah “mendapat hukuman”
dalam Pemilu 9 April. Wujudnya tercermin dengan tingginya angka golput.
Sebagian masyarakat merasa “lelah” menyaksikan segala anomali para wakil
rakyat di berbagai tingkatan. Rasa “lelah” itu lantas bertransformasi dalam
wujud apatisme, tidak peduli dan ketiadaan kepercayaan lagi.
Selama
ini, rakyat merasa hanya alat demokrasi semata, dengan kedudukan sebagai
“donatur” suara di tempat pemungutan suara (TPS). Seusai rakyat memberikan
suaranya, para “resipien” suara justru tak peka dengan yang dimaui rakyat.
Mereka
terlampau asyik dengan dunianya: dunia elite! Apatisme sebagian masyarakat
dalam wujud golput merupakan kulminasi dari ketidakberartian (meaninglessness), ketidakmenentuan (normlessness), hingga keterasingan (isolation). Rakyat merasa teralienasi
secara politik, di tengah permainan politik para elite.
Dalam
bahasa Yinger (1973), alienasi politik rakyat merupakan bentuk kehilangan
keterhubungan (loss of a relationship)
rakyat terhadap para elite politik. Rakyat merasa, segala keluh kesah dan
aspirasinya tak terwakili lagi oleh para dewan di parlemen. Jadi, rakyat
merasa tidak perlu lagi berpartispasi dalam menentukan arah politik bangsa.
Kendali
politik berbangsa dan bernegara sepenuhnya berada di tangan elite yang telah
berjarak dengan aspirasi rakyat sehingga rakyat merasa kehilangan kemampuan
mengendalikan (loss of control)
dalam setiap putusan politik.
Rasa
teralienasi rakyat dalam proses dan putusan politik negeri ini harus segera
disikapi dengan perubahan perilaku para wakil rakyat yang telah terpilih pada
pileg 9 April.
Perubahan
perilaku wakil rakyat yang terpilih nantinya, dalam tataran minimal, justru
untuk kepentingan para wakil rakyat itu sendiri. Perubahan sikap itu paling
tidak bisa menghindarkan para wakil rakyat dari aksi cibiran, cemooh, dan
umpatan rakyat yang kerap merasa dibohongi.
Dalam
ranah yang lebih konseptual, perubahan perilaku wakil rakyat dan elite
politik ke arah yang lebih baik mampu meningkatkan legitimasi semua proses
dan produk politik yang dihasilkan.
Rasa
teralienasi rakyat secara politik, bila tak tertangani, akan berakibat
penarikan diri rakyat (withdrawl)
terhadap segala aktivitas politik negara. Kedua, ini menumbuhkan rasa tak
percaya secara politik (political trust),
pada akhirnya menggerus dukungan keberlanjutan proses politik negara (political support and political
sustainability).
Segala
anomali wakil rakyat dan elite politik yang lalu hendaknya tak terulang di
periode 2014-2019, dan juga periode-periode berikutnya. Perubahan perilaku
itu hendaknya diwujudkan dalam beberapa tindakan nyata ke depannya.
Minimal, jangan pernah terlibat kasus korupsi; tingkatkan etos kerja
dan kinerja sesuai tugas dan fungsinya; jangan suka mengumbar hobi
“pelesiran” ke luar negeri yang minim manfaat dan memakai uang negara; serta
integritas pribadi dan keteladanan mesti dirawat. Bila perubahan itu tak
kunjung dilakukan, rakyat kembali merasa asing terhadap para wakilnya dan
menganggap mereka bak “alien” dari negeri antah berantah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar