Akhir
Co-Branding Dahlan-PD
Augustinus
Simanjuntak ; Dosen Etika
Bisnis Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 19 Mei 2014
Ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat Dahlan Iskan sebagai Dirut
PLN pada Desember 2009, publik tentu menilai langkah SBY sebagai sebuah
kejutan yang memberikan harapan bagi perbaikan pelayanan listrik. Ragam
persoalan PLN ditaruh di pundak Dahlan. Dahlan bukanlah kader parpol koalisi,
tetapi seorang profesional sekaligus owner media besar. Sebagai
pengusaha plus analis kebijakan yang sangat produktif, Dahlan bakal mampu
membawa perubahan besar dalam budaya organisasi PLN.
Buktinya,
meskipun sempat menghadapi restriksi dari internal, Dahlan berhasil memangkas
birokrasi investasi dan pelayanan PLN. Kebijakan dan idealisme Dahlan pun
terus terdengar di Nusantara yang membuat personal brand-nya terus
menguat. Misalnya, dialog langsung dengan karyawan PLN, tidak ambil gaji,
perjalanan dinas tanpa surat perjalanan dinas (SPD), dan program listrik
prabayar yang sudah bisa kita nikmati saat ini. Juga, pencanangan penggunaan
gas metana batu bara (CBM) untuk mengganti bahan bakar solar, program
mengatasi byarpet, dan Gerakan Sehari Sejuta Sambungan (Grass).
Di tengah
banyaknya kasus korupsi yang menjerat kader-kader Partai Demokrat (PD) dan
beberapa kader koalisinya, SBY justru kembali menempatkan Dahlan di posisi
yang jauh lebih strategis, yakni menteri BUMN (Oktober 2011). Kali ini Dahlan
bukan lagi pengendali satu BUMN (PLN), tetapi seluruh BUMN. Tak pelak, Dahlan
pun melakukan banyak gebrakan, baik dalam birokrasi maupun kultur korporasi
yang dahulu penuh intervensi elite menjadi BUMN yang mandiri. Gebrakan Dahlan
yang terfenomenal ialah keberaniannya mengungkap oknum DPR yang sering minta
jatah ke BUMN.
Hal ini
membuat sebagian anggota DPR tidak senang ke Dahlan. Semakin dimusuhi DPR, personal
branding Dahlan justru semakin menaik di hadapan publik. Anehnya, tokoh
idealis dan antiintervensi BUMN ini dipertahankan SBY di kabinetnya. Di
sinilah terjadi co-branding (gabungan citra) antara
Dahlan dan PD. Di satu sisi Dahlan semakin dikenal publik karena kinerjanya,
di sisi lain PD bisa memakai Dahlan sebagai investasi branding guna mengangkat elektabilitasnya di pemilihan legislatif (pileg)
sekaligus menjaga citra dan wibawa pemerintahan yang terus tergerogoti
kasus-kasus korupsi.
Roket
Peluncur di Konvensi
Ketika Dahlan
mulai masuk ke dalam sistem politik SBY dengan PD-nya, sebagian kalangan
sebenarnya sudah mulai bertanya-tanya, apakah Dahlan tidak salah masuk rumah?
Artinya, apakah Dahlan tidak salah masuk parpol? Ada juga yang berpendapat,
bukankah Dahlan seharusnya lebih baik bersikap netral saja di kabinet supaya
nanti di pemilihan presiden (pilpres) bebas dilamar oleh parpol mana pun?
Sebab, jika sudah masuk ke PD, Dahlan akan terikat aturan partai dan tidak
bebas lagi diusulkan oleh parpol lain sebagai capres/cawapres.
Tetapi, bukan
Dahlan namanya jika tidak melakukan langkah berani untuk mewujudkan
idealismenya. Asumsinya, Dahlan diharapkan bukan saja akan menopang branding PD, tetapi juga bisa mengubah karakter atau kultur demokrasi di
PD. Sebagai pebisnis besar, Dahlan ingin menjadikan PD seperti halnya perusahaan
yang hampir bangkrut atau omzetnya terus menurun karena salah kelola. Dahlan
ingin memulihkan PD sampai nilai jualnya naik sekaligus diharapkan bisa
membawanya menjadi salah seorang kandidat presiden yang diajukan PD.
Namun,
merenovasi PD, tampaknya, tidak semudah merenovasi perusahaan.
Sebab, politik
itu penuh dengan intrik yang bisa saja menunggangi pihak lain untuk
kepentingannya. Sayangnya, di tengah upaya Dahlan terus memperbaiki kinerja
BUMN yang sekaligus mengangkat citra pemerintahan SBY, ternyata kader-kader
PD yang terlibat kasus korupsi terus-menerus terberitakan buruk di berbagai
media. Sungguh ironis, Dahlan dan beberapa tokoh yang ikut konvensi capres PD
berupaya mengangkat citra pemerintah dan PD lewat prestasi atau iklan-iklan
personalnya, tetapi upaya itu seolah mubazir atau tergerus oleh berita-berita
negatif yang menimpa kader-kader PD.
Anehnya, dalam
pengumuman pemenang konvensi capres PD, Pak SBY dan tokoh-tokoh PD seolah
dengan mudah berkata bahwa perolehan suara partainya di pileg April lalu
hanya 10,19 persen sehingga tidak mungkin mencalonkan sendiri capresnya.
Persoalannya, siapa sebenarnya yang salah? Apakah kinerja dan personal
branding peserta konvensi yang salah? Atau, karena terlalu banyaknya
kader PD yang terlibat kasus korupsi? Mustinya, elite PD berani berkata jujur
bahwa betapa beratnya meraih jumlah suara di pileg walaupun peserta konvesi
sudah berusaha keras untuk menaikkannya.
Peserta
konvesi PD pun berhak menyatakan bahwa kami sudah berusaha keras untuk
menaikkan elektabilitas partai, tetapi kasus-kasus korupsi kader telah
membuat beban perjuangan kami begitu berat. Karena itu, minimnya suara PD di
pileg bukan menjadi alasan untuk tidak mengajukan pemenang konvensi sebagai
capres/ cawapres. Pernyataan elite PD bahwa PD sudah sulit menjadi king
maker dalam membangun koalisi pencapresan merupakan bentuk peremehan
terhadap pemenang maupun peserta konvensi.
Andaikata SBY
jauh-jauh hari (setelah pileg) langsung mengumumkan pemenang konvensi
sekaligus memberikan wewenang kepada pemenang untuk melakukan komunikasi
politik ke berbagai parpol lainnya, niscaya konvesi PD memiliki bargaining
yang kuat dalam pencapresan. Sebab, yang namanya king
maker harus cepat dan tepat sasaran, seperti slogan Dahlan Das des
set set wuet. Kenyataannya, PD malah
membuang kesempatan itu hingga ”cokelatnya habis” (istilah Dahlan). Bukankah
Dahlan (sebagai pemenang konvensi) bisa diandalkan PD dalam melakukan
lobi-lobi politik ke semua parpol, seperti Megawati mengikhlaskan Jokowi
telah melakukannya?
Lebih aneh
lagi jika akhirnya PD mengutus Pramono Edhie (ipar SBY) yang bukan pemenang
konvensi sebagai cawapres ke parpol lain. Di sini PD menunjukkan politik yang
bukan saja tidak etis, tetapi cukup kentara memakai konvensi sebagai roket
peluncur bagi anggota keluarga dalam pencapresan. Inikah akhir co-branding itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar