Senin, 19 Mei 2014

Akhir Co-Branding Dahlan-PD

Akhir Co-Branding Dahlan-PD

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Etika Bisnis Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN pada Desember 2009, publik tentu menilai langkah SBY sebagai sebuah kejutan yang memberikan harapan bagi perbaikan pelayanan listrik. Ragam persoalan PLN ditaruh di pundak Dahlan. Dahlan bukanlah kader parpol koalisi, tetapi seorang profesional sekaligus owner media besar. Sebagai pengusaha plus analis kebijakan yang sangat produktif, Dahlan bakal mampu membawa perubahan besar dalam budaya organisasi PLN.

Buktinya, meskipun sempat menghadapi restriksi dari internal, Dahlan berhasil memangkas birokrasi investasi dan pelayanan PLN. Kebijakan dan idealisme Dahlan pun terus terdengar di Nusantara yang membuat personal brand-nya terus menguat. Misalnya, dialog langsung dengan karyawan PLN, tidak ambil gaji, perjalanan dinas tanpa surat perjalanan dinas (SPD), dan program listrik prabayar yang sudah bisa kita nikmati saat ini. Juga, pencanangan penggunaan gas metana batu bara (CBM) untuk mengganti bahan bakar solar, program mengatasi byarpet, dan Gerakan Sehari Sejuta Sambungan (Grass).

Di tengah banyaknya kasus korupsi yang menjerat kader-kader Partai Demokrat (PD) dan beberapa kader koalisinya, SBY justru kembali menempatkan Dahlan di posisi yang jauh lebih strategis, yakni menteri BUMN (Oktober 2011). Kali ini Dahlan bukan lagi pengendali satu BUMN (PLN), tetapi seluruh BUMN. Tak pelak, Dahlan pun melakukan banyak gebrakan, baik dalam birokrasi maupun kultur korporasi yang dahulu penuh intervensi elite menjadi BUMN yang mandiri. Gebrakan Dahlan yang terfenomenal ialah keberaniannya mengungkap oknum DPR yang sering minta jatah ke BUMN.

Hal ini membuat sebagian anggota DPR tidak senang ke Dahlan. Semakin dimusuhi DPR, personal branding Dahlan justru semakin menaik di hadapan publik. Anehnya, tokoh idealis dan antiintervensi BUMN ini dipertahankan SBY di kabinetnya. Di sinilah terjadi co-branding (gabungan citra) antara Dahlan dan PD. Di satu sisi Dahlan semakin dikenal publik karena kinerjanya, di sisi lain PD bisa memakai Dahlan sebagai investasi branding guna mengangkat elektabilitasnya di pemilihan legislatif (pileg) sekaligus menjaga citra dan wibawa pemerintahan yang terus tergerogoti kasus-kasus korupsi.

Roket Peluncur di Konvensi

Ketika Dahlan mulai masuk ke dalam sistem politik SBY dengan PD-nya, sebagian kalangan sebenarnya sudah mulai bertanya-tanya, apakah Dahlan tidak salah masuk rumah? Artinya, apakah Dahlan tidak salah masuk parpol? Ada juga yang berpendapat, bukankah Dahlan seharusnya lebih baik bersikap netral saja di kabinet supaya nanti di pemilihan presiden (pilpres) bebas dilamar oleh parpol mana pun? Sebab, jika sudah masuk ke PD, Dahlan akan terikat aturan partai dan tidak bebas lagi diusulkan oleh parpol lain sebagai capres/cawapres.

Tetapi, bukan Dahlan namanya jika tidak melakukan langkah berani untuk mewujudkan idealismenya. Asumsinya, Dahlan diharapkan bukan saja akan menopang branding PD, tetapi juga bisa mengubah karakter atau kultur demokrasi di PD. Sebagai pebisnis besar, Dahlan ingin menjadikan PD seperti halnya perusahaan yang hampir bangkrut atau omzetnya terus menurun karena salah kelola. Dahlan ingin memulihkan PD sampai nilai jualnya naik sekaligus diharapkan bisa membawanya menjadi salah seorang kandidat presiden yang diajukan PD. 

Namun, merenovasi PD, tampaknya, tidak semudah merenovasi perusahaan.
Sebab, politik itu penuh dengan intrik yang bisa saja menunggangi pihak lain untuk kepentingannya. Sayangnya, di tengah upaya Dahlan terus memperbaiki kinerja BUMN yang sekaligus mengangkat citra pemerintahan SBY, ternyata kader-kader PD yang terlibat kasus korupsi terus-menerus terberitakan buruk di berbagai media. Sungguh ironis, Dahlan dan beberapa tokoh yang ikut konvensi capres PD berupaya mengangkat citra pemerintah dan PD lewat prestasi atau iklan-iklan personalnya, tetapi upaya itu seolah mubazir atau tergerus oleh berita-berita negatif yang menimpa kader-kader PD.

Anehnya, dalam pengumuman pemenang konvensi capres PD, Pak SBY dan tokoh-tokoh PD seolah dengan mudah berkata bahwa perolehan suara partainya di pileg April lalu hanya 10,19 persen sehingga tidak mungkin mencalonkan sendiri capresnya. Persoalannya, siapa sebenarnya yang salah? Apakah kinerja dan personal branding peserta konvensi yang salah? Atau, karena terlalu banyaknya kader PD yang terlibat kasus korupsi? Mustinya, elite PD berani berkata jujur bahwa betapa beratnya meraih jumlah suara di pileg walaupun peserta konvesi sudah berusaha keras untuk menaikkannya.

Peserta konvesi PD pun berhak menyatakan bahwa kami sudah berusaha keras untuk menaikkan elektabilitas partai, tetapi kasus-kasus korupsi kader telah membuat beban perjuangan kami begitu berat. Karena itu, minimnya suara PD di pileg bukan menjadi alasan untuk tidak mengajukan pemenang konvensi sebagai capres/ cawapres. Pernyataan elite PD bahwa PD sudah sulit menjadi king maker dalam membangun koalisi pencapresan merupakan bentuk peremehan terhadap pemenang maupun peserta konvensi.

Andaikata SBY jauh-jauh hari (setelah pileg) langsung mengumumkan pemenang konvensi sekaligus memberikan wewenang kepada pemenang untuk melakukan komunikasi politik ke berbagai parpol lainnya, niscaya konvesi PD memiliki bargaining yang kuat dalam pencapresan. Sebab, yang namanya king maker harus cepat dan tepat sasaran, seperti slogan Dahlan Das des set set wuet. Kenyataannya, PD malah membuang kesempatan itu hingga ”cokelatnya habis” (istilah Dahlan). Bukankah Dahlan (sebagai pemenang konvensi) bisa diandalkan PD dalam melakukan lobi-lobi politik ke semua parpol, seperti Megawati mengikhlaskan Jokowi telah melakukannya?

Lebih aneh lagi jika akhirnya PD mengutus Pramono Edhie (ipar SBY) yang bukan pemenang konvensi sebagai cawapres ke parpol lain. Di sini PD menunjukkan politik yang bukan saja tidak etis, tetapi cukup kentara memakai konvensi sebagai roket peluncur bagi anggota keluarga dalam pencapresan. Inikah akhir co-branding itu?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar