Sabtu, 02 November 2013

Upah Murah dan Daya Saing Industri

Upah Murah dan Daya Saing Industri
Anton A Setyawan ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
KORAN SINDO, 02 November 2013


Tanggal 31 Oktober sampai dengan 1 November 2013, kurang lebih dua juta buruh melakukan mogok kerja nasional. Para buruh ini mengajukan empat tuntutan, pertama, menuntut kenaikan upah minimal sebanyak 50%. 

Kedua, pelaksanaan jaminan jesehatan pada seluruh masyarakat pada 2014. Ketiga, penghapusan sistem kerja outsourcing termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keempat, pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) terkait pembantu rumah tangga yang rawan akan kejahatan perdagangan manusia. Kelima, buruh menuntut pemerintah untuk mencabut pemberlakuan Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003. 

Tuntutan ini mau tidak mau berpengaruh terhadap iklim bisnis dan kondisi industri nasional. Faktor buruh, baik dari sisi kesejahteraan dan kompetensi menjadi salah satu sumber daya saing industri. Dalam laporan Bank Dunia tentang Doing BusinessTahun 2014, Indonesia mengalami peningkatan peringkat dari peringkat 120 tahun lalu, menjadi peringkat 108 tahun ini. Salah satu sumber peningkatan daya saing Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam industri. 

Industri nasional sejak lama dikritik tidak mempunyai cetak biru pengembangan yang jelas, sehingga urusan mempertahankan daya saing juga tidak pernah menjadi perhatian pemerintah maupun pelaku usaha. Selain masalah perburuhan, industri nasional juga mengalami masalah melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar AS yang menyebabkan beberapa industri mengalami pembengkakan biaya industri. 

Nampaknya industri nasional yang terlalu bergantung pada bahan baku impor dan industri retail yang didominasi produk impor mulai menuai akibat kelalaian mereka. Ketergantungan pada bahan impor ini yang mengakibatkan defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar US$2,5 miliar. Tuntutan kesejahteraan buruh yang terjadi saat ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi masalah baru bagi industri. Masalah buruh dengan tuntutan kesejahteraan nampaknya menjadi masalah tahunan yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Usaha pemerintah untuk menetapkan kenaikan UMK tahunan dengan rencana Inpres sudah ditolak buruh, sehingga perlu mekanisme baru yang lebih adil bagi semua pihak. 

Kinerja dan Daya Saing 

Tuntutan upah buruh adalah hal yang wajar, mengingat angka rata-rata UMK di Indonesia masih rendah. Namun demikian, ada kekhawatiran jika tuntutan upah buruh dan kesejahteraan tidak dikelola dengan baik yang terjadi adalah relokasi industri. Biaya tenaga kerja sangat dominan dalam industri-industri padat karya sehingga peningkatan upah buruh pasti mempengaruhi besarnya biaya produksi secara signifikan. 

Beberapa kawasan industri di Jabodetabek dan Jawa Tengah didominasi oleh industri padat karya seperti tekstil dan mereka sudah mulai mengeluhkan tentang tuntutan dan aksi buruh yang mulai memengaruhi produksi. Beberapa pabrik tekstil PMA dari Korea dan Taiwan bahkan sudah mulai merelokasi pabriknya ke negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh dengan alasan biaya tenaga kerja lebih murah. 

Laporan dari World Economic Forum menunjukkan bahwa salah satu sumber daya saing Indonesia adalah kualitas SDM. Hal ini berarti peran buruh dalam struktur ekonomi Indonesia semakin meningkat. Kompetensi dan kemampuan mereka menyesuaikan diri dengan organisasi diperhitungkan oleh industri. Namun demikian, ukuran kualitas SDM ini tidak termasukkebutuhanjumlah tenaga kerja. 

Secara umum, kondisi industri di Indonesia mengikuti tren global yang bergerak ke arah industri padat teknologi dan bukan lagi padat karya. Pada satu sisi kompetensi dan kemampuan buruh meningkat, namun di sisi lain kebutuhan jumlah tenaga kerja dalm setiap industri semakin menurun karena perkembangan teknologi. Secara empirik kenaikan upah pekerja akan meningkatkan produktivitas pekerja (Dobbelaere, 2003; Ramstetter, 2004). 

Namun demikian, dalam jangka panjang kenaikan upah hanya menyebabkan pergeseran titik keseimbangan biaya dari sebuah industri (Bester dan Petrakis, 2004). Hal ini berarti konsep yang menyatakan bahwa upah meningkatkan produktivitas berlaku secara mikro, namun dalam kondisi makro menyebabkan penyesuaian yang pada akhirnya dalam jangka panjang kenaikan upah akan direspons oleh kenaikan biaya industri. Penjelasannya adalah misalnya tingkat upah dinaikkan, yang berarti kenaikan harga produksi, maka beban kenaikan biaya pasti dibebankan pada konsumen dengan kenaikan harga jual produk. Jika itu terjadi, maka nilai riil dari upah buruh pada dasarnya sama.

Implikasi 

Tren tuntutan buruh yang semakin marak mempunyai risiko karena berlawanan dengan tren industri yang semakin padat teknologi. Artinya pada banyak kasus peran buruh sebenarnya banyak digantikan oleh teknologi, sehingga daya tawar menawar mereka semakin lemah. Tuntutan buruh dengan kenaikan upah tinggi sebenarnya tetap diperhitungkan oleh pengusaha, hanya saja mereka menghitung kenaikan upah itu sebagai biaya produksi yang kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengganti buruh dengan peralatan dan teknologi. 

Upah buruh yang berarti nafkah manusia dihitung dengan metode yang sama dengan biaya pemeliharaan mesin. Pemimpin di serikat pekerja harus menyadari hal ini. Buruh sejahtera adalah sebuah keharusan karena hal itu juga berarti memikirkan kepentingan kelompok warga negara yang berprofesi pekerja. Namun demikian, kompromi dan perhitungan yang wajar juga diperlukan, jika tuntutan buruh ini mengandalkan aksi mogok dan lain sebagainya, para pemimpin serikat pekerja ada baiknya juga memikirkan kepentingan jutaan pencari kerja baru dan para pekerja di sektor informal yang pasti terkena dampak dari terganggunya aktivitas industri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar