|
Tertangkapnya
tersangka korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah, minggu ketiga Oktober lalu langsung menjadi buah bibir di
kalangan pemerhati politik dalam negeri. Wacana publik pun langsung
diramaikan dengan isu tentang politik dinasti.
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan politik dinasti? Konsep ini merujuk pada sistem
reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan hubungan darah atau
keturunan segelintir orang. Jadi, meritokrasi sama sekali tak masuk
pertimbangan dalam merekrut anggota keluarga untuk masuk ke dalam struktur
kekuasaan.
Lantas
apa bedanya dengan nepotisme? Sekilas memang mirip, tetapi nepotisme tak selalu
mengandalkan hubungan darah atau kekeluargaan. Dalam nepotisme yang penting ada
hubungan erat di masa lalu, bisa keluarga bisa juga teman.
Dalam
konteks politik Indonesia dewasa ini, fenomena mana yang lebih mengemuka:
politik dinasti atau nepotisme politik? Mengingat tak semua daerah, seperti
Banten maupun provinsi lainnya yang dikuasai satu keluarga atau kerabat yang
sama, lebih cocok jika konsep yang digunakan nepotisme. Apalagi dalam kasus
Atut, yang menjadi wakil gubernur (Rano Karno) sama sekali tak punya hubungan
keluarga dengannya.
Pertanyaannya,
baik untuk politik dinasti maupun nepotisme politik, adakah yang salah jika
keluarga atau teman diajak masuk ke struktur kekuasaan? Jelas ada, bahkan
banyak.
Pertama,
salahlah kalau mereka yang diajak ikut itu tak didasari prinsip meritokrasi
alias tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang dipersyaratkan. Kedua,
salahlah kalau prosedur rekrutmen (semisal tahapan seleksi) dilanggar alias tak
dijalani. Asas “mumpung ada keluarga atau teman yang pejabat” harus ditentang
dalam hal ini.
Nepotisme
politik atau politik koncoisme ini juga merupakan virus yang bisa melumpuhkan
demokrasi. Meskipun dilakukan melalui prosedur formal yang harus dijalani,
reproduksi kekuasaan yang primitif ini tetap saja merusak demokrasi.
Hal
ini karena di sana asas kesetaraan dalam kesempatan menjadi terkoyak karena
hubungan kekeluargaan atau pertemanan dengan sang petahana (incumbent). Alhasil, ia jadi seperti
parasit yang membuat tubuh tak bisa berkembang optimal.
Praktik
reproduksi kekuasaan yang kontra demokratis ini seiring waktu kian meluas ke
berbagai wilayah lain di Tanah Air, misalnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Tengah. Bahkan di partai politik, seperti di Partai Demokrat memang politik
koncoisme ini lazim berkecambah di negeri yang sedang berkembang secara
politik.
Dulu,
Argentina dan Filipina merupakan dua negara yang berhasil berkembang mendahului
negeri-negeri lain. Namun, surut karena digerogoti politik koncoisme. Oleh
karena itu, kita berharap Indonesia tak masuk ke dalam perangkap yang sama.
Jika politik koncoisme menyelinap di banyak aspek dan lembaga, niscaya
Indonesia hanya menyisakan para drakula yang haus menghisap “darah”.
Sebenarnya
keberatan kita atas reproduksi kekuasaan yang primitif ini masih banyak lagi.
Kita juga khawatir suatu saat orang-orang yang berkuasa itu berkolusi demi
mengejar kepentingan mereka sendiri.
Contohnya istri
menjadi kepala daerah, sedangkan suami anggota lembaga legislatif, bukankah
potensi kolusi yang koruptif sangat terbuka lebar di sana? Bayangkan, misalnya,
kepala daerah yang notabene sang istri mengajukan proposal anggaran proyek
pembangunan ke panitia anggaran di parlemen yang diketuai suaminya.
Tanpa
banyak periksa, sang suami pun langsung menyetujuinya. Lama-kelamaan kerja sama
politik dan ekonomi seperti ini, selain rawan korupsi, niscaya mengurangi
kualitas berbagai proyek atau pekerjaan. Inilah dampak negatifnya.
Politik
koncoisme juga bisa mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dalam pengelolaan
sumber-sumber ekonomi sehingga menyebabkan ketidakmerataan. Selanjutnya
ketidakmerataan distribusi ekonomi mengakibatkan kesenjangan sosial
ekonomi pun menjadi tinggi.
Itulah
realitas di Banten. Pertumbuhan ekonomi secara fiskal dan makro sangat baik,
bahkan mencapai angka 5-6 persen. Sementara pendapatan asli daerah menembus
angka Rp 5-6 triliun. Namun, capaian itu sangat bertolak belakang dengan
realita di tingkat mikro.
Kemiskinan
di Banten menyentuh angka 5,74 persen, sedangkan pengangguran menembus 10,10 persen
pada Maret 2013. Angka pengangguran itu tercatat sebagai yang tertinggi
se-Indonesia. Selain itu, angka gizi buruk di provinsi yang memiliki Pelabuhan
Merak ini memperoleh “prestasi” paling atas di Jawa.
Belum
lagi banyaknya jalan utama yang sering rusak, meski telah berkali-kali
diperbaiki. Padahal di sana terdapat cukup banyak objek wisata yang indah dan
terkenal. Tapi ironisnya, di sana juga terdapat jembatan gantung “Indiana
Jones” di Desa Sanghiang Tanjung, Kabupaten Lebak, yang harus dilalui para
siswa SD untuk bisa tiba di sekolahnya setiap hari.
Kabarnya
jembatan tersebut sudah diperbaiki, tapi tanpa disangka-sangka terungkap lagi
sebuah kenyataan pahit: ada jembatan “Indiana Jones” lain yang lebih parah
karena hanya terbuat dari kawat baja. Jembatan di atas Sungai Ciliman itu biasa
dilalui para siswa SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak,
untuk sampai ke sekolah mereka.
Pola
lain politik nepotisme juga bisa ditemukan dalam beberapa pilkada yang sudah
lewat. Contohnya Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry
Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur
Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Dari
semua yang disebut itu, contoh yang paling luas memang masih dinasti politik
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati
Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota
Serang. Data tersebut belum termasuk hubungan kekerabatan dengan suami (DPR),
anak (DPD), dan menantu (DPRD) yang juga duduk di lembaga negara.
Mungkin
lantaran itulah Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini mengusulkan pembatasan
kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada. Hingga kini gagasan tersebut masih
digodok bersama dengan DPR.
Prinsipnya
disetujui, hanya detail-detail substansinya yang masih terus dibicarakan. DPR
lebih memilih adanya pengetatan syarat kompetensi, rekam jejak, dan integritas
alih-alih membatasi keluarga atau kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Presiden
Yudhoyono pernah menyindir hal ini ketika memberikan pernyataan pers, 11
Oktober lalu. “Meskipun UUD 1945 maupun UU tidak pernah membatasi siapa
menjadi apa di pemerintahan, apakah ayah, ibu, anak, adik itu menduduki
posisi-posisi di jajaran pemerintahan, tetapi saya kira kitalah yang mesti
memiliki norma batas kepatutan, yang patut itu seperti apa dan yang tidak patut
juga seperti apa,” katanya.
Yudhoyono
pun mengingatkan bahayanya ketika kekuasaan politik menyangkut dengan kekuasaan
untuk melaksanakan bisnis. Menurutnya, potensi godaan dan penyimpangannya bisa
sangat besar.
Pertanyaannya,
kenapa Presiden Yudhoyono harus mengangkat isu ini? Bukankah itu sama saja
menempelak dirinya sendiri selaku pemimpin tertinggi di lembaga pemerintahan?
Lagi pula, apakah keluarga dan kerabatnya betul-betul terhindar dari jebakan
“permainan“ praktik politik koncoisme ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar