Sabtu, 02 November 2013

Pemilik Televisi Sebagai Aktor Politik

Pemilik Televisi Sebagai Aktor Politik
Nina Mutmainnah Armando  ;  Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI,
Komisioner KPI Pusat 2010-2013
TEMPO.CO, 02 November 2013


Susah sekali untuk tidak mengatakan bahwa stasiun–stasiun TV yang disebutkan di atas telah menjadi media propaganda partai atau kepentingan politik pemilik media.

Pemilik media televisi sekarang menjadi bintang iklan. Paling tidak, itu tampak dari iklan Win-HT, Perindo, dan ARB. Kedua iklan pertama dibintangi oleh Hary Tanoesoedibjo (HT), calon wakil presiden Partai Hanura dan komandan ormas Perindo. Iklan ARB dibintangi oleh Aburizal Bakrie (ARB), calon presiden Partai Golkar. Masing-masing iklan kerap tampil di media TV milik masing-masing sang bintang iklan. HT adalah pemilik Grup MNC (RCTI, Global TV, dan MNC TV) dan ARB adalah pemilik stasiun TV milik Bakrie (TV One dan ANTV).

Dari iklan-iklan ini tampak bahwa stasiun TV yang dimiliki oleh para pemimpin partai itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik sang pemilik. Namun para penonton TV tidak hanya mengenal para pemilik stasiun TV ini melalui iklan. Para pemilik ini juga kerap tampil dalam pemberitaan. Umumnya, sepak-terjang sang pemilik TV yang adalah pemimpin partai diberitakan oleh stasiun TV miliknya dalam durasi yang lumayan. Bagaimana tidak? Biasanya, berita tentang sang pemilik TV itu ditampilkan lengkap dengan wawancara atau cuplikan pidato.

Maka, kita pun kerap menyaksikan pidato yang penuh retorika dari Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, di Metro TV, stasiun TV miliknya. Berita tentang acara Partai NasDem atau ormas Nasional Demokrat (yang juga dipimpin Surya Paloh) sekecil apa pun tampaknya disiarkan oleh Metro TV, lengkap dengan cuplikan pidato sang ketua umum yang menggebu-gebu. 

Pola pemberitaan yang sama juga muncul pada berita tentang ARB dan HT. Kegiatan mereka diberitakan lengkap dengan cuplikan pidato atau wawancara. Misalnya, acara Kabar Pagi di TV One 8 September menampilkan berita ARB ke Banyuwangi, menengok pasar. Acara jurnalistik yang sama pada 13 Oktober menampilkan berita tentang ARB menyampaikan kuliah umum tentang kewirausahaan di Universitas Internasional Batam. ARB pun diwawancarai soal semangat kewirausahaan. Tidak cukup sampai di situ, setelah berita tersebut usai disampaikan, si pembawa berita berkomentar, "Benar sekali yang dikatakan ARB, kalau mau sesuatu, harus pantang menyerah."

HT, misalnya, diberitakan saat melepas mudik gratis Hanura dalam Seputar Indonesia (RCTI) 4 Agustus sore. Cuplikan pidato HT ditampilkan. Berita yang sama disiarkan oleh Global TV esok paginya. Pada 4 Agustus itu RCTI juga menampilkan berita kunjungan HT ke Pesantren Tegalrejo, Magelang, untuk berbagi pengalaman hidup hingga jadi pengusaha sukses. Global TV pada siaran Buletin Indonesia Pagi menyiarkan berita yang sama. HT diwawancarai hingga dua kali. Menariknya, HT berkunjung bersama Menteri Tenaga Kerja. Namun hanya HT yang diwawancarai. HT juga tampil diwawancarai dalam berita tentang pembekalan caleg Hanura di Seputar Indonesia Sore (RCTI) 31 Agustus.

Berita-berita yang menampilkan kiprah pemimpin partai atau partai atau ormas semacam itu umumnya hanya ditampilkan oleh stasiun TV pemilik partai yang bersangkutan. Kita patut mempertanyakan soal nilai berita (news value) dari berita-berita semacam itu. Kalau memang berita-berita tersebut bernilai berita tinggi, mengapa stasiun TV lain tidak menyiarkannya? Jelas sekali bahwa frame berita semacam itu adalah untuk sosialisasi partai atau pemimpin partai yang menjadi capres.

Susah sekali untuk tidak mengatakan bahwa stasiun–stasiun TV yang disebutkan di atas telah menjadi media propaganda partai atau kepentingan politik pemilik media. Media-media siaran tersebut telah bersikap partisan. Sikap partisan ini susah dihindari karena aktor politik itu adalah si pemilik media. Bahkan newsroom, yang seharusnya netral dan independen, juga tampak diintervensi oleh si pemilik media, dengan seringnya kiprah sang pemilik media diberitakan.

Aktor politik ini bukan hanya pemilik. Profesional di media siaran juga ada yang merupakan aktor politik. Contohnya, di Grup MNC. Arief Suditomo, Pemimpin Redaksi RCTI yang (menurut data di Internet) adalah juga salah seorang direktur Sindo TV, merupakan caleg nomor 1 Hanura untuk daerah pemilihan Jawa Barat I. Arya Sinulingga, Pemimpin Redaksi Global TV sekaligus sekretaris perusahaan Grup MNC, adalah Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura. Maka, kita pun bisa mempertanyakan, mungkinkah pemberitaan redaksi RCTI atau Global TV dapat independen dan obyektif dari bias Hanura? 

Jadi, aktor-aktor politik ada dalam media siaran, baik sebagai pemilik maupun tenaga profesional, bahkan jurnalis. Tampaknya, para aktor politik ini tidak mempedulikan bahwa media mereka bersiaran dengan menggunakan spektrum frekuensi milik publik. Karena merupakan milik publik yang dipinjamkan (untuk TV, jangka waktu pinjaman itu 10 tahun), pemanfaatan frekuensi siaran haruslah menempatkan kepentingan publik di atas segala-galanya. Frekuensi tidak boleh digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Artinya, dalam hal politik, media siaran tidak boleh menjadi agen propaganda salah satu kandidat atau kepentingan politik tertentu. Ketentuan ini dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 (UU Penyiaran) Pasal 36 ayat (4), yakni, "Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu."

Sementara itu, kewajiban bagi program jurnalistik di media penyiaran untuk melaksanakan idealisme jurnalistik telah diatur dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 22 ayat (1), "Lembaga penyiaran wajib menjalankan dan menjunjung tinggi idealisme jurnalistik yang menyajikan informasi untuk kepentingan publik dan pemberdayaan masyarakat, membangun dan menegakkan demokrasi, mencari kebenaran, melakukan koreksi dan kontrol sosial, dan bersikap independen."

Bahkan, secara lebih tegas, KPI telah membuat aturan tentang kewajiban bagi media penyiaran untuk bersikap independen dalam pemberitaan, bebas dari pengaruh pemilik media, yakni pada Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 22 ayat (5): "Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal, termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran."

Mengenai tidak independennya ruang pemberitaan dari aktor-aktor politik, KPI sebagai regulator di bidang penyiaran dan Dewan Pers sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik diharapkan lebih proaktif untuk berkoordinasi menangani hal ini. Dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentulah menjadi pihak yang harus dilibatkan, karena menyangkut juga tentang kampanye pemilu.

Televisi, melebihi media lainnya, memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Karena itu, bila televisi ditunggangi oleh pemain politik tertentu, dikhawatirkan masyarakat akan tergiring untuk mengambil keputusan tentang proses politik yang mempengaruhi kehidupan bangsa ke depan tidak dengan informasi yang akurat, lengkap, dan berimbang. Ini tentu sangat mengkhawatirkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar