|
Tidak
berlebihan kalau Indonesia dikatakan negeri para pencuri. Mulai dari pencuri
burung piaraan hingga pencuri harta negara. Ada pencuri kelas ecek-ecek dengan
strategi yang tak terlalu rumit. Ada pencuri berkelas tinggi yang membutuhkan
taktik yang sangat sistematis dan canggih. Tetapi sayang sekali, untuk pencuri
kategori kedua (maling harta negara), ganjaran awalnya tak seperti pencuri tipe
pertama, yang seringkali dihajar babak belur terlebih dahulu oleh massa.
Untuk
memberikan satu contoh dari sekian banyak tamsil tentang dihajarnya pencuri
kelas sandal jepit, yaitu di Solo Jawa Tengah, ada residivis spesialis pencuri
burung bernama Tintus Joko Wibowo (25) alias Tintus yang dihajar massa menyusul
kepergok mencuri burung Love Bird, (www.krjogja.com, 20/10/2013). Saya mengandaikan
ada berita utama koran atau televisi dengan judul "Koruptor Dihajar Babak Belur oleh Massa". Tetapi saya
yakin, ini tidak mungkin terjadi. Entah masyarakat yang takut menghajar
koruptor atau koruptornya yang memang seperti mastodon yang menakutkan
masyarakat, sehingga belum perlu dalam sejarah ada koruptor babak belur dihajar
massa. Padahal, tak diragukan lagi, baik pencuri burung maupun pencuri uang
negara, sama-sama maling yang seharusnya mendapat perlakuan sama.
Menemukan
rasa keadilan di negeri hukum bernama Indonesia memang tidak mudah. Putusan
atau vonis sering kali tidak pernah membuat para pelanggar jerah, terutama
pelanggar hukum berat. Hukum, yang berfungsi sebagai alat untuk
"mengkapokkan" mereka yang bersalah, tak jarang justru dipermainkan
oleh penegak hukum. Akibatnya, hukum tidak lagi berwibawa dan cenderung
bersifat remeh-temeh.
Tentu
saja realitas penegakan hukum seperti ini tidak mengajarkan pendidikan hukum
bagi publik. Justru yang terjadi adalah pembangkangan hukum oleh masyarakat.
Rakyat tidak lagi percaya pada penegak hukum. Pada akhirnya, dramaturgi
penegakan hukum yang rusak ini akan menggiring ke arah pengerdilan hukum. Hukum
tidak lagi tampil garang, melainkan sudah berubah menjadi badut-badut yang siap
menghibur para penonton pertunjukan hukum.
Anehnya,
berbagai upaya meremeh-remehkan hukum di negeri ini terus saja dilakukan tanpa
ada penghentian secara tegas dan berani dari seorang presiden sebagai pemimpin
bangsa dan negara. Presiden seakan tidak berdaya menghadapi semua ini. Tuntutan
para intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat akar rumput
yang mencoba menghentikan ambruknya penegakan hukum sudah sering digaungkan.
Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Cita-cita menegakkan wibawa hukum
hanya tinggal cita-cita tanpa ada wujudnya. Reformasi sebagai "pintu
masuk" menegakkan supremasi hukum dan memberantas berbagai tindakan
penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat di
negeri ini.
Kekuatan
hukum tidak mampu menyeret para penjahat kerah putih. Kekuataan hukum hanya
mampu mengadili penjahat-penjahat kelas teri. Maling uang negara dihukum dengan
ringan bahkan dibiarkan bebas. Sementara maling ayam diproses secara ketat dan
dihukum berat. Padahal, satus mereka adalah sama, yaitu maling yang harus
diadili.
Sementara
itu, kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus hukum, misalnya
korupsi, masih menjadi bagian dari masalah penegakan hukum. Mereka melempen
menghadapi "siluman-siluman hukum" dengan modal uang dan
kekuasaannya. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di
Indonesia. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Negara dalam darurat
banalitas hukum dan kehancuran peradaban. Di sinilah kita menyaksikan baju
kekuasaan dan uang membuat dosa semakin berkuasa.
Budaya
Rendah
Istilah
peradaban sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap
perkembangan kebudayaan. Peradaban yang mengandung unsur-unsur budaya yang
bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya, maka masyarakatnya
dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang
melekat pada budaya kasar, jorok, tidak sopan, remeh, dan lain sebaginya
dikatakan masyarakat dengan peradaban yang rendah.
Harus
diakui bahwa seluruh komponen negara akan tersesat tanpa hukum dan peraturan.
Dihukumnya koruptor dengan pidana ringan atau bahkan dibebaskannya koruptor
dari segala pidana adalah tontonan yang menyedihkan sekaligus mengerikan ketika
hukum absen yang kemudian mendorong runtuhnya peradaban bangsa Indonesia. Tidak
diberangusnya koruptor karena banalitas penegakan hukum tidak hanya dilihat
dari beratnya beban negara, tetapi juga harus dibaca sebagai bagian dari
runtuhnya peradaban.
Ambruknya
peradaban juga bisa dilihat dari berkoarnya pemegang kekuasaan misalnya, hidup
reformasi, berantas KKN, tegakkan hukum, adili pelanggar hak asasi manusia
(HAM). Tapi, semua hanya teriakan saja. Rakyat akhirnya terpental jauh berada
dalam situasi hyper-reality of law, yaitu ruang yang disarati dengan kebohongan
barang bukti, kepalsuan saksi, pemutarbalikan fakta, penopengan realitas, dan
sebagainya. Mereka yang mestinya direformasi malah berteriak, hidup reformasi.
Mereka yang terlibat KKN, malah teriak, berantas KKN. Mereka yang terlibat kasus
kekerasan HAM, justru bebas ikut mengatur negeri ini.
Jadi,
sudah saatnya realitas rapuh dan penegakan hukum yang tidak bermutu
mengakibatkan rendahnya peradaban bangsa harus disikapi secara radikal oleh
seluruh elemen bangsa (pemerintah, masyarakat, tokoh agama, intelektual dan
sebagainya) untuk perbaikan peradaban. Negara dengan seluruh komponennya perlu
bersinergi serius dan konsisten menegakkan hukum dengan budaya yang luhur.
Penegakan hukum secara adil dan tidak memihak harus diperjuangkan demi tercapainya
peradaban bangsa yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar