Kepemimpinan negara sekarang ini agaknya
sudah dalam kondisi memprihatinkan. Tentu saja jika kita masih mempercayai
“teori aktor”, di mana pemimpin memiliki peran krusial dalam menentukan
arah dan capaian tujuan dari sebuah bangsa.
Karakter, motivasi, orientasi, dan semangat para aktor pengendali negara
dengan sendirinya akan terlihat dalam sistem dan kultur dalam mengelola
negara; di mana celakanya saat ini memperlihatkan situasi yang tidak
kondusif. Maka itu, agaknya cukup beralasan jika banyak kalangan merasa
sangat menyayangkan kondisi bangsa terjebak atau dikendalikan oleh para
aktor berkarakter buruk.
Kepemimpinanbangsasepertisekarangini akan sulit mewujudkan ide dan tujuan
dasar kemerdekaan yaitu mencerdaskan bangsa, melindungi seluruh tumpah
darah Indonesia, mewujudkan keadilan sosial, serta berketuhanan
atasdasarkemanusiaanyangadil dan beradab. Para pemimpin lebih mementingkan
diri sendiri, keluarga, golongan, atau parpol masing-masing. Penilaian
kondisional seperti itu memang sulit dibantah. Lihatlah, via media massa
tiap hari kita menyaksikan adegan atau prilaku buruk dari para aktor
pemimpin, di mana seolah kita sungguhsungguh berada dalam negara yang
dikelola oleh para mafioso.
Terbongkarnya jejaring kerja pemimpin pemerintahan berwatak dinastik di
Banten, di mana keluarga Gubernur Ratu Atut digambarkan menguasai sejumlah
jabatan strategis, termasuk menguasai proyekproyek dari APBD dan APBN,
menunjukkan begitu mengguritanya korupsi dan kolusi berbasis nepotisme
(nepotism based corruption and collusion) dipraktikkan oleh para pemimpin
yang berkuasa di daerah pinggir Ibu Kota ini. Demikian juga terindikasi dan
tersangkanya sejumlah kepala daerah terkait kasus korupsi.
Tercatat 309 tersangkut kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir. Itu
pun yang baru terungkap karena jika jujur diakui semua kepala daerah
memiliki masalah terkait penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan dan
penggunaan anggaran atau korupsi. Petinggi parpol yang menyatakan diri
“bernapaskan Islam” seperti dipertontonkan oleh Luthfi Hasan Ishaaq (LHI)
saat melakukan masih berposisi sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dalam kasus dalam impor daging sapi.
Yang paling memprihatinkan adalah tertangkap tangannya Akil Mochtar (ketua
MK) dalam kasus suap terkait sengketa pilkada. Semua itu tentu baru
sebagian data empirik yang memberi isyarat kuat bahwa eksistensi sejumlah
pemimpin di bangsa ini telah dan sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
syahwat materi bagi diri, keluarga, dan kroni. Lalu, apakah kita masih
berharap tujuan kita bernegara seperti disinggung di atas dan secara
tertulis dalam pembukaan UUD 1945 masih realistik untuk dicapai di bawah
kendali aktoraktor penyelenggara negara yang korup dan nepotistik?
Jelas “sangat sulit” karena pada era sekarang ini sebenarnya yang jadi
ujung tombak penentu capaian program pembangunan adalah pemerintah daerah.
Pada saat yang sama seharusnya presiden, baik sebagai kepala negara maupun
pimpinan eksekutif, seharusnya menjadi pengarah dan pemandu bagi seluruh
pejabat di negeri ini, termasuk memastikan atau mengoordinasikan secara
paksa para pemimpin di daerah agar bekerja mewujudkan agenda peningkatan
kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata terbukti tak sesuai harapan.
Sebagian kalangan malahan menilai Presiden SBY pun tak bisa lepas dari
jebakan “nepotistik”. Dalam kasus Bunda Putri seperti antara lain di-ungkap
oleh LHI di Pengadilan Tipikor bahkan banyak orang melihat ada keterkaitan
pihak Cikeas dengan figur yang hingga kini masih misterius itu.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sudah sangat langka pemimpin (atau
pejabat) yang mau susah-susah berpikir atau berbuat untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat. Yang ada dan cenderung terus eksis adalah figur-figur
pemimpin karbitan (instan) dengan orientasi fragmatis, hanya berpikir agar
bagaimana karier politik mereka bisa terus eksis jangka panjang (pindah
dari suatu posisi ke posisi strategis lain) sehingga bisa terus menimbun
harta seraya mengupayakan terwariskannya tahta kekuasaan pada keluarga dan
atau kelompoknya.
Semasa berkuasa dengan suasana kejiwaan yang berkejaran dengan waktu
(karena memang masa jabatan politik yang terbatas), berbagai modus canggih
“mengejar dan menimbun harta” untuk bukan saja mengembalikan pengorbanan
materi yang digunakan dalam proses-proses memperoleh atau mempertahankan
jabatan, melainkan juga harus memperoleh untung berlipat ganda – layaknya
pedagang di pasar. Kondisi dan kecenderungan seperti inilah barangkali bisa
disebut sebagai the power of money seperti yang dikatakan David Rothkopf
dalam bukunya, Superclass (2008).
Para penentu kebijakan dan atau para pemimpin sangat rentan dipengaruhi
uang dan pada saat yang sama menjadikan uang untuk mempertahankan
jabatannya. Semakin strategis dan powerful suatu kedudukan, akan semakin
banyak pula uang yang akan dikeluarkan untuk merebut dan mempertahankannya,
di mana dalam kasus Indonesia selalu terkait kepentingan politik segelintir
elite yang berkuasa—termasuk menguasai partai politik. Dalam konteks ini,
jika suatu parpol mau eksis dan berkuasa, uang akan sangat menentukan.
Tidak heran kalau sejumlah parpol tertentu menempatkan orang-orangnya jadi
pejabat dari keluarga kaya alias berduit dan atau mereka yang memiliki
“cara-cara canggih ilegal” untuk mengumpulkan uang donasi bagi kepentingan
parpolnya. Celakanya, di negeri kita ini sumber rekrutmen pemimpin adalah
parpol, di mana parpol dan jaringannya seolah mau mengunci erat-erat para
“figur dari luar” untuk mengisi formasi jabatan pemimpin. Sementara jika
jujur diakui, umumnya parpol kita sudah jauh dari nilai idealisme alias
sudah terkontaminasi oleh soal-soal pragmatis materi.
Kondisi dan kecenderungan seperti ini sungguh sangat berbahaya bagi masa
depan bangsa dan generasi. Pertama, secara fundamental, bila bicara soal
pemimpin, niscaya akan selalu terkait masalah nilai dan moralitas. Pemimpin
adalah posisi yang mulia, tak ditakar dan atau dimunculkan hanya karena
kepemilikan materi, melainkan lebih karena kefigurannya yang memperoleh
pengakuan sosial dengan landasan moralitas dan orientasi kerakyatan yang
kuat.
Kehadiran pemimpin bukanlah untuk diri dan keluarganya, melainkan untuk
orang banyak yang berada dalam ruang kepemimpinannya. Tak mungkin
mengarahkan untuk agenda perbaikan kesejahteraan rakyat jika fokus pada
diri, keluarga, dan kelompoknya— di mana inilah tampaknya yang terjadi di
Indonesia saat ini. Kedua, jika pemimpin sudah keliru baik dari segi
moralitas maupun orientasi, pada dasarnya sekaligus potensial merusak
masyarakat bangsa. Ini seperti apa yang pernah dikatakan seorang filsuf
China ternama, Confucius, bahwa karakter moral pemimpin adalah angin dan karakter
moral yang di bawahnya sama dengan rumput.
Ke mana angin bertiup ke arah itu pulalah rerumputan akan bergerak ikut
mengarah (bend). Dalam masyarakat
yang berwatak paternalistik seperti Indonesia ini, penjelasan seperti itu
memang sangat relevan dan terasakan. Pemimpin bahkan bukan sekadar patron,
melainkan penguasa yang mengarahkan kalangan aparat dan masyarakatnya. Maka
itu, tidak heran kalau barisan pertama yang dirusak oleh pemimpin adalah
jajaran birokrasi yang dikendalikan langsung oleh sang pemimpin alias
aparat bawahan.
Mereka harus bekerja dalam posisi untuk selalu “mengiyakan” kehendak
pribadi, keluarga, dan atau kelompok sang pemimpin, di mana semua berujung
pada “akumulasi uang”. Para bawahan yang mau bertahan pada jabatannya harus
ikut kehendak pimpinan itu dan sekaligus juga jadi bagian dari penikmat.
Rantai pengaruh negatif materi ini kemudian menyentuh rakyat bawah dengan
wujud antara lain maraknya politik uang dalam pemilihan pejabat publik
(kepala daerah, presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD).
Persoalannya, untuk mengubah itu memang sungguh tidak mudah karena harus
dimulai dengan keteladanan dari para pemimpin dimulai dari posisi tertinggi
di negeri ini. “Tangan besi” demi
perbaikan bahkan bisa sah-sah saja dilakukan di mana rakyat niscaya akan
mendukungnya. Jika tidak, jangan bermimpi untuk ada perbaikan meski rezim
akan terus berganti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar