|
TULISAN Prof
Sri - Edi Swasono di Jawa Pos (25/10/13/A4), Surabaya Masih Kota Pahlawan?,
menarik kita bahas lebih lanjut. Tulisan itu merupakan kritik atas lemahnya
penghargaan kita terhadap Hari Pahlawan. Dia menulis: ''...pemda sajalah yang tampak memperingati dan merayakan Hari
Pahlawan. Tetapi, kami tidak melihat lagi rakyat Surabaya penuh antusias
mengibar-ngibarkan Sang Saka Merah Putih.''
Kritik Prof Sri-Edi itu bisa kita rasakan kebenarannya. Rakyat di Surabaya dan sekitarnya memang tampak tidak begitu antusias memperingati dan merayakan Hari Pahlawan. Seperti halnya rakyat pada umumnya, rakyat di Surabaya dan sekitarnya menganggap perjuangan serta pengorbanan bagi bangsa dan negara adalah kewajiban yang lumrah-lumrah saja.
Tampaknya, rakyat Surabaya dan sekitarnya sudah cukup menerima penghargaan penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan, adanya gerak jalan Mojokerto - Surabaya, penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional (2008), serta upacara nasional diadakan di Surabaya.
Dahsyat dan Strategis
Dalam beberapa diskusi kebangsaan dan kerakyatan di FISIP Unair, kami sering membahas pertempuran Oktober-November 1945 itu. Kami bisa membuat kesimpulan sementara yang masih perlu diuji dengan penelitian ilmiah.
Pertama, pertempuran tersebut merupakan perang kota terbuka satu-satunya (pertama dan terakhir) antara Indonesia dan sekutu. Berbeda dengan perang di tempat lain yang merupakan perang gerilya yang pelaku utamanya kombatan, perang di Surabaya adalah perang kota terbuka. Selain kombatan, pelaku utamanya adalah seluruh elemen masyarakat lintas suku, daerah, agama, dan haluan ideologi.
Kedua, pertempuran itu merupakan perang melawan pasukan asing yang pertama setelah proklamasi, terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Pertempuran tersebut sangat dahsyat karena berlangsung tiga minggu dan menelan korban hingga 16.000 orang dari pihak Indonesia. Pertempuran itu pun strategis karena membuktikan kepada dunia betapa kuatnya dukungan rakyat terhadap keberadaan Republik Indonesia.
Ketiga, kendati lebih dahsyat dan strategis, pertempuran Surabaya tampak belum mendapat cukup apresiasi yang memadai jika dibanding, misalnya, pertempuran Ambarawa (Desember 1945) dan serangan umum enam jam di Jogja (1 Maret 1949). Hal itu, tampaknya, terjadi karena elemen kombatan tidak cukup dominan dalam mengarsiteksi perang di Surabaya tersebut. Laskar-laskar pelbagai unsur dan daerah justru tampak lebih menonjol dalam menggerakkan perlawanan melawan sekutu saat itu.
Keempat, dari pelbagai pertemuan di Surabaya maupun Jawa Timur, kuat terasa bahwa bara nasionalisme dan patriotisme masih hidup kuat. Bara itu bisa dirasakan, misalnya, di Bang Bang Wetan, Surabaya Juang, Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi, Gusdurian, serta Diskusi dan Sarasehan Kebangsaan. Bara itu perlu dipelihara, dikelola, dan didayagunakan untuk hal-hal produktif untuk membangun bangsa dan negara kita.
Kelima, pertempuran itu menyimpan banyak fakta yang bisa diungkap. Misalnya, bagaimana penyobekan bendera Belanda pada 19 September 1945? Bagaimana pertempuran 27-30 Oktober 1945 yang akhirnya menewaskan Brigjen Mallaby? Bagaimana keputusan heroik Gubernur Suryo pada 9 November 1945 malam untuk tetap tidak mau menyerah terhadap ultimatum sekutu setelah rekomendasi pemerintah pusat tidak kunjung diberikan?
Masih ada fakta lain yang perlu diungkap. Bagaimana pertempuran terbuka selama 20 hari itu diorganisasi? Bagaimana pimpinan agama membuat fatwa dan menyuplai laskar-laskar ke Surabaya? Bagaimana mengelola logistik dan dukungan dari rakyat dari daerah-daerah lain, baik dari daerah Jatim maupun dari daerah-daerah lain di seluruh Indonesia? Bagaimana Bung Tomo memelihara dan membakar semangat perjuangan dan keberanian masyarakat?
Mengelola Bara
Bara nasionalisme dan patriotisme itu perlu dipelihara, dikelola, serta didayagunakan dengan beberapa strategi dan cara.
Pertama, jangka pendek. Diperlukan gerakan masyarakat untuk memelihara bara itu dengan mengadakan tradisi malam tirakatan tiap tanggal 9 malam memasuki tanggal 10 November di lingkungan masing-masing. Tradisi itu khas dan merakyat yang tentu bisa memelihara bara nasionalisme serta patriotisme masyarakat kita.
Kedua, jangka menengah. Misalnya, dalam satu-dua tahun ke depan, diperlukan langkah strategis dari Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur untuk koordinasi menggali dan menyingkap fakta-fakta pertempuran tersebut. Tentu saja perlu dukungan kebijakan dan anggaran yang konsisten. Untuk itu, ilmuwan kampus-kampus di Surabaya dan Jawa Timur, termasuk akademi militer, perlu didorong untuk melakukan penelitian tersebut. Bila itu segera dilakukan, pada 2015 kita sudah punya dasar yang lebih kukuh untuk memperingati Hari Pahlawan yang ke-70 dan seterusnya.
Ketiga, jangka panjang. Atas dasar upaya penggalian histori itu, Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim bisa memantapkan sistem serta teknologi untuk mengemas wisata sejarah secara profesional. Misalnya, lewat museum dan rangkaian kegiatan yang bisa memelihara, mengelola, dan mendayagunakan bara nasionalisme serta patriotisme itu. ●
Kritik Prof Sri-Edi itu bisa kita rasakan kebenarannya. Rakyat di Surabaya dan sekitarnya memang tampak tidak begitu antusias memperingati dan merayakan Hari Pahlawan. Seperti halnya rakyat pada umumnya, rakyat di Surabaya dan sekitarnya menganggap perjuangan serta pengorbanan bagi bangsa dan negara adalah kewajiban yang lumrah-lumrah saja.
Tampaknya, rakyat Surabaya dan sekitarnya sudah cukup menerima penghargaan penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan, adanya gerak jalan Mojokerto - Surabaya, penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional (2008), serta upacara nasional diadakan di Surabaya.
Dahsyat dan Strategis
Dalam beberapa diskusi kebangsaan dan kerakyatan di FISIP Unair, kami sering membahas pertempuran Oktober-November 1945 itu. Kami bisa membuat kesimpulan sementara yang masih perlu diuji dengan penelitian ilmiah.
Pertama, pertempuran tersebut merupakan perang kota terbuka satu-satunya (pertama dan terakhir) antara Indonesia dan sekutu. Berbeda dengan perang di tempat lain yang merupakan perang gerilya yang pelaku utamanya kombatan, perang di Surabaya adalah perang kota terbuka. Selain kombatan, pelaku utamanya adalah seluruh elemen masyarakat lintas suku, daerah, agama, dan haluan ideologi.
Kedua, pertempuran itu merupakan perang melawan pasukan asing yang pertama setelah proklamasi, terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Pertempuran tersebut sangat dahsyat karena berlangsung tiga minggu dan menelan korban hingga 16.000 orang dari pihak Indonesia. Pertempuran itu pun strategis karena membuktikan kepada dunia betapa kuatnya dukungan rakyat terhadap keberadaan Republik Indonesia.
Ketiga, kendati lebih dahsyat dan strategis, pertempuran Surabaya tampak belum mendapat cukup apresiasi yang memadai jika dibanding, misalnya, pertempuran Ambarawa (Desember 1945) dan serangan umum enam jam di Jogja (1 Maret 1949). Hal itu, tampaknya, terjadi karena elemen kombatan tidak cukup dominan dalam mengarsiteksi perang di Surabaya tersebut. Laskar-laskar pelbagai unsur dan daerah justru tampak lebih menonjol dalam menggerakkan perlawanan melawan sekutu saat itu.
Keempat, dari pelbagai pertemuan di Surabaya maupun Jawa Timur, kuat terasa bahwa bara nasionalisme dan patriotisme masih hidup kuat. Bara itu bisa dirasakan, misalnya, di Bang Bang Wetan, Surabaya Juang, Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi, Gusdurian, serta Diskusi dan Sarasehan Kebangsaan. Bara itu perlu dipelihara, dikelola, dan didayagunakan untuk hal-hal produktif untuk membangun bangsa dan negara kita.
Kelima, pertempuran itu menyimpan banyak fakta yang bisa diungkap. Misalnya, bagaimana penyobekan bendera Belanda pada 19 September 1945? Bagaimana pertempuran 27-30 Oktober 1945 yang akhirnya menewaskan Brigjen Mallaby? Bagaimana keputusan heroik Gubernur Suryo pada 9 November 1945 malam untuk tetap tidak mau menyerah terhadap ultimatum sekutu setelah rekomendasi pemerintah pusat tidak kunjung diberikan?
Masih ada fakta lain yang perlu diungkap. Bagaimana pertempuran terbuka selama 20 hari itu diorganisasi? Bagaimana pimpinan agama membuat fatwa dan menyuplai laskar-laskar ke Surabaya? Bagaimana mengelola logistik dan dukungan dari rakyat dari daerah-daerah lain, baik dari daerah Jatim maupun dari daerah-daerah lain di seluruh Indonesia? Bagaimana Bung Tomo memelihara dan membakar semangat perjuangan dan keberanian masyarakat?
Mengelola Bara
Bara nasionalisme dan patriotisme itu perlu dipelihara, dikelola, serta didayagunakan dengan beberapa strategi dan cara.
Pertama, jangka pendek. Diperlukan gerakan masyarakat untuk memelihara bara itu dengan mengadakan tradisi malam tirakatan tiap tanggal 9 malam memasuki tanggal 10 November di lingkungan masing-masing. Tradisi itu khas dan merakyat yang tentu bisa memelihara bara nasionalisme serta patriotisme masyarakat kita.
Kedua, jangka menengah. Misalnya, dalam satu-dua tahun ke depan, diperlukan langkah strategis dari Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur untuk koordinasi menggali dan menyingkap fakta-fakta pertempuran tersebut. Tentu saja perlu dukungan kebijakan dan anggaran yang konsisten. Untuk itu, ilmuwan kampus-kampus di Surabaya dan Jawa Timur, termasuk akademi militer, perlu didorong untuk melakukan penelitian tersebut. Bila itu segera dilakukan, pada 2015 kita sudah punya dasar yang lebih kukuh untuk memperingati Hari Pahlawan yang ke-70 dan seterusnya.
Ketiga, jangka panjang. Atas dasar upaya penggalian histori itu, Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim bisa memantapkan sistem serta teknologi untuk mengemas wisata sejarah secara profesional. Misalnya, lewat museum dan rangkaian kegiatan yang bisa memelihara, mengelola, dan mendayagunakan bara nasionalisme serta patriotisme itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar