|
KAPITALISME dan liberalisasi adalah sepasang kata yang
dipersepsikan buruk (dirty words)
bagi rakyat di kebanyakan negara berkembang, termasuk kawasan Asia Tenggara (Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz
Capitalism in Southeast Asia, 1988).
Istilah liberalisasi sering dimaknai sebagai ”pembiaran
secara besar-besaran atau hampir tanpa batas” bagi terjadinya dominasi asing
terhadap perekonomian domestik. Liberalisasi juga merupakan kata kunci yang
direkomendasikan Konsensus Washington bagi pemulihan ekonomi negara-negara
berkembang (John Williamson, 1994).
Itulah sebabnya, liberalisasi lekas menimbulkan penolakan dan kontroversi di
negara-negara berkembang.
Ketika Indonesia memulai liberalisasi industri perbankan pada
1983, pemerintah memilih istilah deregulasi agar terasa lebih lunak dan mudah
diterima publik. Kebijakan memberikan kemudahan pendirian bank seperti yang
kita lakukan sejak 1987, di luar negeri diberi nama liberalisasi, tetapi di
Indonesia kita gunakan istilah deregulasi. Hasilnya? Aman. Kontroversi yang
berlebihan tidak terjadi. Deregulasi dipersepsikan tidak ”jahat”.
Namun, sekarang, pemerintah sulit mengelak untuk menghindari
istilah liberalisasi ketika mereka membuka peluang lebar bagi investor asing
untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Istilah liberalisasi kini sudah lazim
digunakan. Pada akhir tahun ini, pemerintah akan menerbitkan revisi daftar
negatif investasi (DNI). Pemerintah membuka akses baru dan perluasan akses yang
sudah ada bagi investor asing di sejumlah sektor. Di satu pihak, investasi akan
meningkat. Namun, di lain pihak, dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia
akan menguat (Kompas, 7/11).
Motivasi
liberalisasi
Dalam situasi tekanan berat terhadap keseimbangan eksternal,
yang ditunjukkan dengan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan
sehingga cadangan devisa merosot menjadi 97 miliar dollar AS (dari puncaknya
124,7 miliar dollar AS pada 2011), strategi untuk mengumpulkan devisa melalui
kenaikan investasi asing (PMA) merupakan hal yang logis. Memang kita masih
punya harapan untuk mengumpulkan devisa dari tenaga kerja kita di luar negeri
(remitan) dan turis asing. Namun, tren kenaikannya akan lambat. Turis asing ke
Indonesia memang terus meningkat, tetapi jumlahnya diperkirakan maksimal 8 juta
hingga 8,5 juta orang per tahun. Belum seperti Turki, misalnya, yang bisa
menarik lebih dari 30 juta orang per tahun.
Dalam tata perekonomian global yang semakin kuat
mencengkeram, kita juga sulit untuk mengelak datangnya investasi asing karena
berbagai skema regionalisasi dan globalisasi yang kita ikuti, mulai dari
masyarakat ASEAN, APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik), hingga WTO
(Organisasi Perdagangan Dunia). Liberalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun,
kita juga tidak boleh mengabaikan adanya arus penentang liberalisasi karena
selalu akan ada dampak negatif liberalisasi.
Dalam kasus industri otomotif, liberalisasi yang dilakukan
Thailand telah mengantar negara ini menjadi produsen dan eksportir terbesar.
Tahun 2012, Thailand berhasil memproduksi 2,4 juta mobil, dengan konsumsi
domestik 1,4 juta unit. Mereka pun mengekspor 1 juta mobil. Indonesia tahun
lalu memproduksi 1,16 juta unit, dengan ekspor yang sangat kecil. Ini kisah
manis liberalisasi.
Dalam kasus industri perbankan di Indonesia, kita terpaksa
membuka amat lebar investasi asing pada saat krisis 1998, hingga mencapai 99
persen. Dalam kacamata kondisi saat itu, menarik investor asing adalah hal yang
positif. Pertama, kita memang memerlukan pemodal yang bisa menyuntikkan dana ke
bank-bank yang direkapitalisasi pemerintah. Kedua, memberikan sinyal kepada
dunia, bahwa investor asing berani mengambil posisi masuk ke Indonesia saat
perekonomian berada pada titik terburuk. Ini penting untuk menarik para
investor asing lainnya. Ketiga, kita memerlukan dana asing untuk menambah
cadangan devisa agar dapat membantu penguatan kurs rupiah, yang pernah terkulai
hingga Rp 15.000-17.000 per dollar AS.
Seiring dengan berlalunya waktu, industri perbankan pelan-pelan
terus mengalami penguatan, baik dari sisi permodalan (rasio kecukupan modal
atau CAR kini mencapai 17-18 persen), kinerja, kemampuan memitigasi risiko,
serta penerapan tata kelola yang baik. Kondisi ini mendorong ide, bagaimana
jika peraturan kepemilikan asing diubah agar setara dengan praktik di
negara-negara tetangga? Kepemilikan maksimal ditentukan 49 atau 51 persen.
Dalam situasi kinerja bank terus membaik, bahkan Indonesia
merupakan ”surga” untuk mendulang net interest margin (NIM) yang
tertinggi di kawasan ini, wajar saja jika timbul hasrat agar investor domestik
mestinya diprioritaskan mendapat kesempatan untuk mencetak keuntungan besar
tersebut. Ide ini di satu pihak sangat baik. Jika ada peluang bisnis yang
menjanjikan keuntungan besar di Indonesia, logikanya investor domestik mestinya
yang menikmati keuntungan tersebut.
Namun, sayangnya, hal itu tidak mudah direalisasikan. Usaha
bank sekarang kian membutuhkan komitmen tinggi untuk terus meladeni kebutuhan
modal yang kian besar. Aset total bank harus terus membesar karena ada prinsip economies
of scale, yakni kian besar skala usaha, akan kian ekonomis atau efisien
sehingga menguntungkan. Konsekuensinya, ketika aset total tumbuh, bank juga
harus bisa mengimbanginya dengan pertumbuhan modal yang sebanding.
Pertambahan modal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko.
Ibarat kendaraan, modal besar menyerupai volume mesin mobil yang besar yang
bisa meredam gejolak di jalanan bergelombang. Mobil dengan cc besar lebih tahan
guncangan daripada mobil dengan cc kecil. Dengan kata lain, modal bank harus
terus membesar tanpa batas. Masalahnya, investor domestik yang bisa memenuhi
syarat untuk selalu mampu menginjeksi modal jumlahnya sangat terbatas.
Bank-bank BUMN termasuk di antaranya. Sementara investor domestik swasta yang
besar, kuat, dan tahan lama (sustainable) tidak banyak. Di sinilah celah yang
memberikan peluang masuknya investor asing.
Meski demikian, ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia
meninjau kebijakan kepemilikan asing. Jika saat ini diizinkan hingga 99 persen,
bisa dikurangi menjadi lebih rendah, misalnya 60 persen, tanpa berlaku surut
agar investor asing yang sudah telanjur memiliki saham lebih tinggi tidak harus
tergopoh-gopoh menjual sahamnya.
Urgensi
dan jangan kebablasan
Tiap-tiap industri tentu saja memiliki variasi problematik
yang berbeda. Karena itu, kepemilikan maksimal saham asing di setiap industri
bisa berbeda. Faktor yang juga membedakan adalah soal urgensi. Semakin kita
membutuhkannya, semakin besar pula pintu terbuka bagi investor asing. Saat ini,
amat mendesak kita memerlukan investasi besar-besaran di bidang infrastruktur,
seperti bandar udara, pelabuhan, dan jalan tol. Jika kehilangan momentum ini,
kita akan kehilangan daya saing, investor baru tidak datang, sedangkan investor
lama kabur ke luar negeri. Akibatnya, defisit perdagangan dan transaksi
berjalan akan memburuk dan berlanjut.
Sebenarnya, kita juga sudah memberikan kesempatan investor
domestik untuk membangun infrastruktur. Namun, tidak banyak yang berani
mengambil risiko. Jika ini berlanjut, pilihannya adalah menunggu sampai
investor domestik berani melakukan investasi, tetapi tidak tahu kapan?
Alternatifnya, kita mempercepat proses pembangunan infrastruktur, tetapi
investornya asing.
Jalan tengahnya adalah investor asing boleh masuk dengan
porsi kepemilikan tertentu, tetapi tidak mencapai 100 persen (misalnya 80
persen, sisanya mitra lokal atau pemerintah), dengan syarat pemerintah masih
bisa mengendalikannya melalui regulasi. Kasus Freeport yang dulu masuk ke sini seperti
mendapatkan ”cek kosong”, sehingga penerimaan negara tidak optimal, tidak boleh
terulang.
Jalan tengah ini mirip yang dilakukan dalam kasus privatisasi
BUMN. Saat terjadi divestasi BUMN oleh pemerintah kepada swasta, pemerintah
masih dimungkinkan memiliki hak ”saham merah-putih” (golden share), yakni opsi
untuk menunjuk direksi orang Indonesia. Bisa pula hak ini diwujudkan dalam
penentuan tarif pungutan jasa bandara, tarif tol, tarif pelabuhan, dan
sebagainya.
Inilah cara yang bisa dilakukan agar liberalisasi tidak
terjerumus menjadi kebijakan yang kebablasan tanpa kendali. Bahkan, di negara
seliberal Amerika Serikat pun, pemerintah federal masih mempunyai hak untuk
memastikan agar mekanisme pasar tidak berujung pada eksploitasi harga yang
merugikan rakyat. Getting prices
right. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar