|
Di Indonesia, film dan seni
menempati kedudukan yang sangat penting. Ini dibuktikan dengan tata kelola film
dan seni yang saat ini oleh pemerintah ditangani oleh dua kementerian, yaitu
Kemendikbud dan Kemenparekraf. Mengapa film dan seni sampai berpoligami?
Presiden sebagai pemegang wewenang tertinggi kabinet tentu memiliki alasan
dasar dan penting sehingga memutuskan untuk memoligamikan film dan seni.
Sesungguhnya, adakah perbedaan yang
penting dan mendasar sehingga film dan seni di tangan Dikbud dan Parekraf?
Pasti ada, setidaknya secara awam hal itu dapat dikaitkan dengan fungsi dan
tugas dari kedua kementerian tersebut. Dikbud berarti film dan seni dalam
kaitannya dengan pendidikan dan budaya, sedangkan bagi Parekraf, film dan seni
dikelola sebagai bagian dari potensi bidang pariwisata dan salah satu unsur
dari ekonomi kreatif selain iklan, desain, fashion, film, dan IT.
Harus jujur dikatakan di sini bahwa
memang sangat tidak mudah untuk melihat perbedaan wujud penerapannya. Terlebih
lagi bukan rahasia umum bahwa antarkementerian dan lembaga pemerintah belum
terbangun suatu sinergi yang kultural karena umumnya masih terganjal oleh apa
yang disebut ”ego sektoral”; ini persoalan kebudayaan.
Masyarakat luas mungkin sudah
mengetahui bahwa kini ada dua acara film tingkat nasional, yaitu FFI (Festival
Film Indonesia) dan AFI (Apresiasi Film Indonesia). FFI didukung Parekraf
sebagai ajang tahunan untuk memilih film nasional terbaik. AFI yang didukung
Dikbud juga memilih karya film terbaik. Acuan keduanya sebagai lembaga
pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Kondisi bioskop
Film sebagai salah satu seni
pertunjukan kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Rendahnya mutu film
nasional dapat dipastikan bukan disebabkan oleh rendahnya kemampuan teknis. Hal
ini terbukti karya film kita pernah menembus di hampir seluruh ajang festival
dunia. Penyakit kronis menahun perfilman nasional disebabkan kondisinya yang
sangat miskin permodalan, khususnya permodalan infrastruktur dalam bentuk
bioskop.
Bioskop sebagai tempat usaha adalah
sarana pendukung bagi masyarakat untuk mengapresiasi film secara bersama.
Bioskop adalah kunci utama kemajuan perfilman nasional secara sosial. Perfilman
nasional saat ini nyaris tidak memiliki bioskop. Jumlah bioskop yang ada sangat
minim, tidak normal jika diukur dari jumlah bioskop yang dibutuhkan.
Bioskop di daerah kondisinya paling
parah, masyarakat dicekoki habis-habisan berbagai tontonan tanpa dibangun
kesadarannya, mereka dijadikan penonton film yang kalah dan pasif serta
kesepian. Dengan peralatan ala kadarnya dan film sesukanya, rakyat menjejali
otaknya dengan film sampah. Sepintas menjamurnya kepemilikan home theatre di rumah-rumah
dianggap sebagai solusi modern akan kelangkaan gedung bioskop, padahal tidak
sesederhana itu. Menonton film di rumah sendirian menyebabkan potensi sosial dari
upacara menonton hilang. Ritual kebersamaan yang tekun, ceria sekaligus hening,
dan mendalam semakin langka. Film Indonesia sangat mendesak membutuhkan
rumahnya sendiri agar dapat hidup normal sebagai wujud budaya. Dibutuhkan satu
jenis bioskop baru yang bentuk dan fungsinya sesuai yang dibutuhkan oleh film
dan seni Indonesia.
Penulis bersama Gunawan
Paggaru—salah satu anak didik Teguh Karya—pada tahun 2008 membuat rancangan
konsep sebuah model bioskop yang tepat untuk Indonesia. Bioskop yang memiliki
multifungsi. Bioskop itu kita namai KFN; Kedai Film Nusantara. KFN adalah kedai
modern karena memiliki fungsi; apresiasi, presentasi, produksi, eksibisi, dan
rekreasi, didirikan di kota dan kabupaten secara berjaringan. Setelah berproses
selama hampir empat tahun, KFN berkesempatan diuji coba didirikan di Kota
Tanjungpinang, Kepri, di sebuah bengkel motor. Konsep KFN ternyata terbukti
mendapat sambutan hangat dan hebat dari masyarakat. Informasi tentang hal ini
dapat dilihat di status: https://www.facebook.com/GunawanPaggaru
KFN boleh dikatakan adalah rumah
ideal bagi film dan seni untuk hidup belajar dan bekerja dalam satu rumah.
Rumah yang sesuai untuk desa dan menantang di kota. Model bioskop seperti KFN
dirancang tidak saja memiliki konsep ekonomi yang unik karena lokalitasnya,
ramah, dan kreatif, tetapi bioskop model KFN sangat mungkin akan menjadi embrio
kelahiran film dan seni Indonesia yang sesungguhnya. Film dan seni yang hidup
serumah setara dan merata di seluruh nusantara berjaringan bergandengan tangan.
Adakah kemampuan untuk
mewujudkannya? Dengan ditopang dua kementerian atau ditambah dengan beberapa
kementerian lainnya, seperti BUMN dan Kementerian Koperasi dan UKM, tentulah
bukan hal yang berat untuk memulai kerja besar dan strategis ini. Dikbud dan
Parekraf. Selamat belajar dan bekerja seni dan film Indonesia! Sorotkan film
Indonesia ke layar dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar