Selasa, 05 November 2013

Derita Keris Pusaka Keraton

Derita Keris Pusaka Keraton
M Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, 
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 04 November 2013


Saya menyesal—dan memohon maaf sebesar-besarnya— tidak bisa ikut menghadiri dan memenuhi undangan Ngarso Dalem, Sampeyan Dalem, Ingkang Sinuwun, Khalifatullah, Sayidin Panotogomo, Sri Sultan Hamengku Buwono yang menduduki takhta ke-10 di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat , yang merayakan pernikahan Agung Putri IV ”sekaring kedaton” Gusti Kanjeng Ratu Hayu. 

Kehilangan momentum penting seperti ini dengan sendirinya juga berarti ketinggalan zaman yang tak terkira jauhnya, sekaligus kehilangan informasi mutakhir dan gossip-gosip mewah mengenai hubungan ”hate” and ”love” antara keraton Yogyakarta dan keraton baru Jakarta, yang hingga kini belum juga menemukan format politik yang tulus, dan apa adanya sejak persengketaan bertele-tele mengenai undang-undang keistimewaan Yogyakartakarta. 

Apa yang mencemaskan keraton Jakarta tentang keistimewaan yang sudah mapan berpuluh-puluh tahun sebagai imbalan yang diberikan Republik terhadap sikap dan jiwa besar keraton Yogyakarta yang rela meleburkan diri ke dalam Republik, yang membuat relevansi politik keraton Yogyakarta berkurang, demi kebesaran Republik? Keistimewaan Yogyakarta digoyah-goyah, dan mau digusur karena curiga bahwa keraton tak bisa menempatkan diri seutuhnya di depan kekuasaan keraton Jakarta? 

Kerelaan menjadikan dirinya bagian dari Republik tercinta ini bukankah sebenarnya berarti bahwa keraton Yogyakarta itu pada hakikatnya telah menjadi sejenis monarki konstitusional, yang cair ke dalam tatanan demokrasi modern? Ejekan dan politik ”labelling” dari para ”punggawa” maupun ”abdi dalem” keraton Jakarta, menandakan mereka tidak begitu paham akan kebudayaan keraton. Sikap yang mereka ambil dengan demikian merupakan tanda—menurut ungkapan kidung Pangkur dalam Wedhatama—” tan mikani rasa”— seonggok ketidaktahuan yang dilembagakan dengan penuh percaya diri yang—menurut bahasa Wedhatama lagi— ”nglelingsemi”, memalukan dan merusak harmoni hidup mereka sendiri. 

Begitulah keadaan ”tan mikani rasa” itu berlangsung hingga terjadinya apa yang kemudian telah terjadi di dalam ”palace wedding reception” yang serbapenuh tata susila sesuai dengan tatanan budaya tadi. Pada mulanya muncullah logika ”security” yang keras, disiplin dan tak kenal kompromi itu. ”Security” ya ”security”. Ini menjadi prioritas tertinggi dalam pengamanan pada tingkat VVIP: orang yang harganya mahal sekali, dan yang memerlukan jasa pengamanan luar biasa ketat agar tak secuil pun kemungkinan ancaman yang bisa mendekat. 

Ukurannya sangat standar, di tingkat lokal maupun internasional. Tapi jenis pengamanan macam itu sebagian—setidaknya sebagian kecilnya—tergantung pada sang VVIP tadi. Jenderal Muhammad Yusuf almarhum, kabarnya selalu menolak dan tak memerlukan pengawalan. Mungkin saja ini menyangkut sikap pribadi yang tak mau menerima prosedur yang baginya hanya menambah repot. Dan mungkin hal itu memiliki latar belakang yang berhubungan dengan keberanian dan sikap percaya diri yang tinggi. Kabarnya, Pak Harto juga tak terlalu cemas dengan keamanan dirinya. 

Orang bilang, ketika berkunjung ke Kosovo, para pengawal bahkan disuruh mengeluarkan semua peluru di dalam senjata mereka. Ini tanda beliau tak cemas terhadap ancaman bersenjata. Jadi buat apa para pengawal memanggul senjata berisi peluru yang siap dimuntahkan demi pengamanan VVIP, yang tak lain diri beliau sendiri? Sikap percaya diri seperti menimbulkan kekaguman. Pak Harto pastilah memiliki ilmu, entah ilmu apa namanya, yang bisa membuat moncong senjata tak bisa meletupkan peluru. Mungkin, siapa tahu, peluru bisa keluar, tapi kemudian meleleh tak berdaya mendekati beliau. 

Siapa tahu? Semua jenderal se-Yogyakartanya memiliki sikap, dan mungkin juga ilmu ”kadigdayaan” ”kanuragan” yang sangat istimewa macam Pak Yusuf dan Pak Harto. Maklum, jenderal memang hidup di ”tengah” bahaya dan bahkan tak jarang ”bermain-main” dengan bahaya. Bagi yang paham, dan yang memiliki kekuatan jiwa untuk berlatih menempa diri sebagai jenderal, hal ini merupakan ukuran standar yang tak bisa diabaikan. Tiap jenderal semestinya memiliki ilmu macam itu. 

Dengan kata lain, tidak ada jenderal yang bisa diumpamakan kayu ”growong”—pohon berlubang—kosong, yang ditempati tokek. Sebagai kayu, atau pohon, mereka harus seperti kayu jati: keras, padat, tak mudah ditebas senjata. Bung Karno bukan jenderal, tapi beliau memiliki kualifikasi jenderal sejati: berani, tak pernah gentar, dan tak mudah diteror oleh rasa takut. Mungkin ketakutan itu sendiri yang menjadi sangat takut pada beliau. Dalam berbagai peristiwa— terutama mungkin peristiwa Cikini yang terkenal itu—beliau dihujani peluru. Tapi peluru-peluru itu enggan mengenai beliau. 

Jadi, peluru-peluru itu yang takut membentur tubuh beliau. Presiden yang tak pernah senam, tak pernah olahraga, dan jelas tak memiliki ilmu bela diri sedikit pun, Presiden Gus Dur, diancam hendak ditembaki dari bawah jika berani berkunjung ke Aceh. Beliau tak membatalkan kunjungan itu. Juga tak menundanya. Dan ketika pesawat kepresidenannya mendarat, burung besi itu mendarat begitu saja seolah tak ada apa-apa. Dan memang tak ada apa-apa yang perlu ditakutkan. Ini soal nyali, menyangkut syaraf ”baja” menghadapi perang urat syaraf. Gus Dur juga berkunjung ke mana-mana, dan menghormati tuan rumah. Pengamanannya diatur seperti apa, ibaratnya selalu bersikap ”monggo mawon”. 

Di dalam resepsi agung keraton Yogyakarta, semua pihak— para ”punggawa” dan ”kadang sentana” keraton, memakai keris. Jelas bukan keris sekaliber dagangan di Malioboro, melainkan keris pusaka yang bertuah. Namanya juga keris keraton. Demi pengamanan, keriskeris itu diikat. Ada yang mengatakan dengan ”lawe”, benang, ada yang mengatakan dengan kain pita yang kuat. Dengan apapun keris-keris keraton itu diikat, mereka pasti menderita. 

Minimal tidak suka kebebasan asasinya dibekap begitu demi pengamanan tamu. Raja Astina, Suyudono, punya keris yang pamornya menyala sebesar obor. Kresna pernah diancam dengan keris itu tapi titisan dewa Wisnu itu hanya ”mesem”, senyum, sambil merapal kekuatan aji jaya kawijayan yang hebat, yang membuat Suyudono gemetar, dan jatuh terjengkang seperti petinju kena ”upper cut”, keras dan telak di dagunya. Kresna tak gentar. Apakah keris-keris di keraton Yogyakarta memiliki pamor yang menyala sebesar obor? 

Apakah mereka memiliki watak jahat untuk mengancam tamu VVIP dari keraton Jakarta? Saya tidak tahu, sebesar apa pamor mereka, dan juga tidak tahu kehebatannya seperti apa. Tapi saya tahu satu hal: dalam kebudayaan Jawa, keris yang dipakai dalam suasana aman, di belakang punggung, itu tanda bahwa pemiliknya tak mungkin berniat jahat. Keris di belakang punggung itu jaminan penuh rasa aman bagi siapa pun. 

Lain lagi keris Pangeran Diponegoro yang terselip di pinggang kiri, karena beliau berada dalam suasana perang. Jadi siapa pun yang menyuruh mengikat keris-keris itu, demi apa pun, dia orang yang ”tan mikani rasa”. Dan tak punya sikap hormat pada budaya. Siapa pun yang membuat keris-keris keraton Yogyakarta menderita, dia tidak berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar