|
Apa pun
motifnya, menarik pernyataan Pangkostrad Letjen Gatot Nurmantyo, Minggu (27/10)
di Jakarta. Di hadapan Pemuda Pancasila, Gatot bilang, ”Demokrasi kita saat ini adalah kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan
dengan cara voting.”
Ilustrasi Gatot
tentang penentuan pilihan: sesuatu yang benar tak selalu disukai banyak orang. ”Yang banyak belum tentu benar,” kata
Gatot yang berbicara hampir sejam.
Pernyataan ini
dikritik karena the singer, not the
song: pernyataannya relevan dengan kondisi saat ini, tetapi yang ngomong tak
boleh berpolitik. Democrazy kita memang sudah gagal.
Sila keempat
Pancasila menyebut ”kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Bedanya jelas: yang berbasis voting versus
konsensus.
Sila itu
menempatkan warga dalam kedudukan, hak, dan kewajiban sama. Tak boleh ada yang
memaksakan kehendak kepada orang lain.
Ironisnya kini
yang sering terjadi pemaksaan sistematis yang dilakukan penguasa, ormas, buruh,
ataupun masyarakat. Democrazy doyan bicara hak, alpa dengan
kewajiban.
Sila keempat
mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan demi kepentingan bersama.
Musyawarah diadakan untuk mencapai mufakat yang bersemangat kekeluargaan.
Kita sudah lama
melupakan musyawarah, lebih sering melampiaskan amarah. Mufakat pada zaman wani
piroini transaksional karena melibatkan suap, fee, atau gratifikasi.
Sila keempat bermakna
warga menjunjung tinggi keputusan hasil musyawarah dan dengan itikad baik dan
bertanggung jawab melaksanakannya. Dan, keputusan itu mengutamakan kepentingan
bersama.
Era voting sering diimbuhi amok,
lalu uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa lacur ada Trias Corruptica yang dikuasai execu-thieves, legisla-thieves, dan judica-thieves.
Musyawarah
diselenggarakan dengan akal sehat dan sesuai hati nurani. Keputusan yang
diambil dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi
harkat/martabat, nilai-nilai kebenaran/keadilan, dan mengutamakan
persatuan/kesatuan demi kepentingan bersama.
Namun, akal
sehat dan hati nurani telah lama lenyap diganti sumpah pocong dan hilangnya
rasa malu. Persatuan dan kesatuan sudah semu karena penguasa menganggap ”Indonesia milik saya/keluarga/partai,
rakyat ngontrak doang”.
Tingkat praksis
sila keempat mustahil dipraktikkan dalam democrazy. ”Kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan dengan cara voting”
yang dimaksud Gatot bersandarkan pada perilaku wani piro, intimidasi, konspirasi, dan manipulasi.
Itu yang
terjadi pada Pemilu-Pilpres 2009, yang terindikasi dari skandal Century serta
ratusan pilkada beberapa tahun terakhir. Dan, ternyata kita masih belum kapok
karena kini lagi girang menyongsong ”tahun politik”.
Ya, kita masih
percaya kepada mereka yang duduk di eksekutif/legislatif pusat/daerah. Saya
yakin banyak yang apatis, tetapi jauh lebih banyak lagi yang masih percaya
terhadap demokrasi voting meski memakai kacamata kuda.
Terlebih lagi preview tentang ”tahun politik”
digembar-gemborkan seolah nasib kita dan Indonesia 2014-2019 bakal berubah.
Pertanyaannya: apakah nasib Anda dan Indonesia kini lebih baik dibandingkan
dengan periode 2009-2013?
Saya iba kepada
yang mencalonkan diri di pilkada, pileg, ataupun pilpres. Mereka menghadapi
tantangan yang paling berat dalam sejarah demokrasi sejak 1945. Musuh terbesar
mereka adalah apatisme pemilih. Mereka ibarat membeli kartu SIM prabayar karena
harus merogoh kocek dulu meski sinyal belum tentu moncer.
Sebab, dana
kampanye belum menjamin kemenangan karena pemilih mulai berprinsip ”ambil uangnya jangan pilih orangnya”.
Kalau terpilih, mereka ibarat membeli kartu SIM pascabayar karena balas budi
menyetor dana ke partai.
Nah, saat
apatisme mewabah, tiba-tiba popularitas Jokowi-Ahok meroket. Mereka jadi
harapan baru yang kini digadang-gadang menjadi pemimpin-pemimpin nasional.
Apatisme mulai
memudar dengan kemunculan pemimpin yang jujur, sederhana, dan bekerja. Dan,
belakangan ini muncul para pemimpin ala Jokowi-Ahok di berbagai daerah.
Namun, tetap
ada segelintir tokoh/politisi/akademisi/media yang ingin lilin-lilin harapan
itu padam. Mereka picik, dramatis, dan suka gaduh.
Pepatah
mengatakan, ”Banyak orang yang terlalu
pintar menilai orang lain, tetapi sayang terlalu bodoh menilai dirinya
sendiri.” Sayangnya, bagi media yang berlaku bad news is good news.
Democrazy kita
makin absurd karena pluralisme dilecehkan sejak terjadinya Tragedi Monas 1 Juni
2008. Sebegitu absurdnya kini seorang lurah pun didemo—bukan karena kinerjanya,
melainkan karena agamanya.
Pendek kata,
semakin banyak trouble maker yang unjuk gigi dan aksi yang semakin
memuramkan ”tahun politik”. Ibarat sepak bola, mutu pertandingan merosot
drastis dan makin banyak penonton meninggalkan stadion.
Barangkali
sikon ini yang mendorong Pangkostrad prihatin terhadap demokrasi voting.
Sayangnya, keprihatinan itu tidak ditunjukkan secara serentak oleh elite
penguasa.
Semua tahu ada
gajah di ruang tamu. Tetapi, semua pura-pura tak melihatnya. Maklum saja menjelang
tahun politik semua sibuk cari dana. Dan, agar ngetop, mereka lebih sering
memperdengarkan noises, not voices.
Mestinya
Pangkostrad paham tidak banyak yang bisa dilakukan untuk keluar dari democrazy ini.
Sikon politik kita sekarang ini macet total seperti lalu lintas di Ibu Kota.
Kita pernah
punya demokrasi parlementer, demokrasi presidensial, Demokrasi Terpimpin, dan
Demokrasi Pancasila. Kini giliran ”demokrasi
antah-berantah”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar