Sabtu, 02 November 2013

Demokrasi “Antah-berantah”

Demokrasi “Antah-berantah”
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 02 November 2013

Apa pun motifnya, menarik pernyataan Pangkostrad Letjen Gatot Nurmantyo, Minggu (27/10) di Jakarta. Di hadapan Pemuda Pancasila, Gatot bilang, ”Demokrasi kita saat ini adalah kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan dengan cara voting.”
Ilustrasi Gatot tentang penentuan pilihan: sesuatu yang benar tak selalu disukai banyak orang. ”Yang banyak belum tentu benar,” kata Gatot yang berbicara hampir sejam.
Pernyataan ini dikritik karena the singer, not the song: pernyataannya relevan dengan kondisi saat ini, tetapi yang ngomong tak boleh berpolitik. Democrazy  kita memang sudah gagal.
Sila keempat Pancasila menyebut ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Bedanya jelas: yang berbasis voting versus konsensus.
Sila itu menempatkan warga dalam kedudukan, hak, dan kewajiban sama. Tak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada orang lain.
Ironisnya kini yang sering terjadi pemaksaan sistematis yang dilakukan penguasa, ormas, buruh, ataupun masyarakat. Democrazy doyan bicara hak, alpa dengan kewajiban.
Sila keempat mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan demi kepentingan bersama. Musyawarah diadakan untuk mencapai mufakat yang bersemangat kekeluargaan.
Kita sudah lama melupakan musyawarah, lebih sering melampiaskan amarah. Mufakat pada zaman wani piroini transaksional karena melibatkan suap, fee, atau gratifikasi.
Sila keempat bermakna warga menjunjung tinggi keputusan hasil musyawarah dan dengan itikad baik dan bertanggung jawab melaksanakannya. Dan, keputusan itu mengutamakan kepentingan bersama.
Era voting sering diimbuhi amok, lalu uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa lacur ada Trias Corruptica yang dikuasai execu-thieves, legisla-thieves, dan judica-thieves.
Musyawarah diselenggarakan dengan akal sehat dan sesuai hati nurani. Keputusan yang diambil dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat/martabat, nilai-nilai kebenaran/keadilan, dan mengutamakan persatuan/kesatuan demi kepentingan bersama.
Namun, akal sehat dan hati nurani telah lama lenyap diganti sumpah pocong dan hilangnya rasa malu. Persatuan dan kesatuan sudah semu karena penguasa menganggap ”Indonesia milik saya/keluarga/partai, rakyat ngontrak doang”.
Tingkat praksis sila keempat mustahil dipraktikkan dalam democrazy. ”Kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan dengan cara voting” yang dimaksud Gatot bersandarkan pada perilaku wani piro, intimidasi, konspirasi, dan manipulasi.
Itu yang terjadi pada Pemilu-Pilpres 2009, yang terindikasi dari skandal Century serta ratusan pilkada beberapa tahun terakhir. Dan, ternyata kita masih belum kapok karena kini lagi girang menyongsong ”tahun politik”.
Ya, kita masih percaya kepada mereka yang duduk di eksekutif/legislatif pusat/daerah. Saya yakin banyak yang apatis, tetapi jauh lebih banyak lagi yang masih percaya terhadap demokrasi voting meski memakai kacamata kuda.
Terlebih lagi preview tentang ”tahun politik” digembar-gemborkan seolah nasib kita dan Indonesia 2014-2019 bakal berubah. Pertanyaannya: apakah nasib Anda dan Indonesia kini lebih baik dibandingkan dengan periode 2009-2013?
Saya iba kepada yang mencalonkan diri di pilkada, pileg, ataupun pilpres. Mereka menghadapi tantangan yang paling berat dalam sejarah demokrasi sejak 1945. Musuh terbesar mereka adalah apatisme pemilih. Mereka ibarat membeli kartu SIM prabayar karena harus merogoh kocek dulu meski sinyal belum tentu moncer.
Sebab, dana kampanye belum menjamin kemenangan karena pemilih mulai berprinsip ”ambil uangnya jangan pilih orangnya”. Kalau terpilih, mereka ibarat membeli kartu SIM pascabayar karena balas budi menyetor dana ke partai.
Nah, saat apatisme mewabah, tiba-tiba popularitas Jokowi-Ahok meroket. Mereka jadi harapan baru yang kini digadang-gadang menjadi pemimpin-pemimpin nasional.
Apatisme mulai memudar dengan kemunculan pemimpin yang jujur, sederhana, dan bekerja. Dan, belakangan ini muncul para pemimpin ala Jokowi-Ahok di berbagai daerah.
Namun, tetap ada segelintir tokoh/politisi/akademisi/media yang ingin lilin-lilin harapan itu padam. Mereka picik, dramatis, dan suka gaduh.
Pepatah mengatakan, ”Banyak orang yang terlalu pintar menilai orang lain, tetapi sayang terlalu bodoh menilai dirinya sendiri.” Sayangnya, bagi media yang berlaku bad news is good news.
Democrazy kita makin absurd karena pluralisme dilecehkan sejak terjadinya Tragedi Monas 1 Juni 2008. Sebegitu absurdnya kini seorang lurah pun didemo—bukan karena kinerjanya, melainkan karena agamanya.
Pendek kata, semakin banyak trouble maker yang unjuk gigi dan aksi yang semakin memuramkan ”tahun politik”. Ibarat sepak bola, mutu pertandingan merosot drastis dan makin banyak penonton meninggalkan stadion.
Barangkali sikon ini yang mendorong Pangkostrad prihatin terhadap demokrasi voting. Sayangnya, keprihatinan itu tidak ditunjukkan secara serentak oleh elite penguasa.
Semua tahu ada gajah di ruang tamu. Tetapi, semua pura-pura tak melihatnya. Maklum saja menjelang tahun politik semua sibuk cari dana. Dan, agar ngetop, mereka lebih sering memperdengarkan noises, not voices.
Mestinya Pangkostrad paham tidak banyak yang bisa dilakukan untuk keluar dari democrazy ini. Sikon politik kita sekarang ini macet total seperti lalu lintas di Ibu Kota.
Kita pernah punya demokrasi parlementer, demokrasi presidensial, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. Kini giliran ”demokrasi antah-berantah”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar