|
ADA yang menarik dari perkembangan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN),
yaitu tetap tinggalnya nuansa dualisme pada aspek pengembangan akademik.
Sementara itu, ranah ilmu-ilmu keagamaan tetap dipertahankan, seperti
usuluddin, dakwah, adab, tarbiah dan syariah, serta fakultas baru yang lebih
berorientasi pada keilmuan umum seperti kedokteran, psikologi, ekonomi, dan
teknologi informasi juga dikembangkan. Lebih menarik lagi, dan ini perlu untuk
diteliti lebih lanjut, jumlah mahasiswa yang masuk ke UIN tak lagi menempatkan
fakultas-fakultas agama menjadi pilihan utama sehingga minat mereka untuk
mempelajari ilmu-ilmu keislaman menjadi sepi peminat.
Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
misalnya, jumlah pendaftar untuk fakultas kedokteran, ekonomi, dan psikologi
begitu membeludak, tetapi yang mendaftar ke fakultas usuluddin, syariah,
dakwah, dan adab jauh berkurang. Bahkan konon, di UIN Alauddin Makassar,
jurusan yang paling laris dan diserbu calon mahasiswa adalah kebidanan dan
keperawatan. Jika faktafakta ini benar adanya, apa yang bakal terjadi dengan
tradisi pemikiran Islam 20 tahun ke depan di Indonesia? Inilah salah satu
pekerjaan rumah para rektor UIN yang saat ini sedang memimpin kampus mereka
masing-masing.
Mengapa pertanyaan tentang
mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang terbuka, toleran, dan modern
penting dikemukakan? Karena secara historis IAIN banyak menelurkan
sarjana-sarjana dengan tradisi pemikiran Islam yang memang kuat secara keilmuan
dan punya akar yang juga lumayan kuat di masyarakat. Saya khawatir fenomena di
atas akan menjadi salah satu sebab mundurnya tradisi pemikiran Islam Indonesia
di masa depan. Hal ini bisa dilihat dari kualitas mahasiswa UIN saat ini yang
rata-rata masuk ke fakultas tarbiah saja, misalnya, tak cukup punya pengetahuan
dasar tentang akar pemikiran Islam di Indonesia.
Ketika mengajar, saya sering
bertanya kepada mahasiswa UIN tentang tokoh-tokoh pemikiran Islam, baik yang
berkaliber dunia maupun Indonesia. Saya heran bukan kepalang karena baik
mahasiswa yang dari lulusan aliah sekalipun--apalagi lulusan SMA--rata-rata tak
tahu siapa itu Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun, Ahmad Khan, Iqbal, sampai Fazlur
Rahman. Lebih miris lagi bahkan mereka juga tak mengenal siapa itu Harun
Nasution, Hasbi Ash-Shiddiqie, Buya Hamka, Nurcholis Madjid, hingga Amin
Abdullah. Saya hanya termenung, jika nama saja mereka tak kenal, bagaimana
mengenali corak-ragam pemikiran keislaman para tokoh tersebut. Jangan ditanya
penguasaan bahasa Arab dan Inggris mereka, maka lengkaplah kondisi UIN saat
ini.
Berangkat dari fakta-fakta ini,
saya kira UIN harus berani melakukan review
kurikulum secara keseluruhan agar tradisi pemikiran keislaman dapat terus
diperkenalkan dan diajarkan secara baik. Sisi ini menurut saya menjadi bagian
terlemah dan akan cukup sulit untuk dilakukan oleh UIN jika tak ada komitmen
besar dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi Islam di Indonesia.
Keberanian untuk menjadikan tradisi pemikiran keislaman di Indonesia tetap
hidup harus secara kongkret dijabarkan dalam kebijakan pengembangan bahan ajar
yang relevan dengan nomenklatur `Islam' dalam konteks Universitas Islam Negeri.
Selain itu, seleksi masuk mahasiswa di UIN juga harus ada porsi dan persentasi
yang jelas tentang aspek pemikiran Islam yang ingin diujikan. Jika tak lulus,
membuat matrikulasi dan remedial tentang mata kuliah tradisi pemikiran Islam
Indonesia juga penting untuk dilakukan.
Review kurikulum dalam arti
sesungguhnya untuk kebutuhan mempertahankan tradisi pemikiran Islam sebelum di
UIN menurut saya banyak dilakukan, terutama di tingkat pengambil kebijakan
maupun institusi pelaksana pendidikan. Review
kurikulum merupakan sebuah proses untuk mengetahui seberapa besar kebijakan
pengembangan kurikulum memengaruhi tujuan-tujuan pendidikan yang dirumuskan,
baik dalam skala mikro di sekolah maupun dalam skala makro secara nasional.
Sistem manajemen kurikulum yang
baik biasanya selalu menyediakan ruang dan struktur yang jelas serta tegas
dalam setiap tahapan dimensinya. Dari mulai mengonstruksi kurikulum,
mengembangkan, mengimplementasikan dan mengevaluasinya dilakukan berdasarkan
timeline dan penanggung jawab yang jelas dan terkontrol. Telaah kurikulum (curriculum review) wajib dilakukan oleh
segenap sivitas akademika UIN untuk memperoleh kepastian apakah basis dan
tradisi pemikiran Islam tetap menjadi arus utama dan ciri khas UIN.
Menurut saya, salah satu kelemahan--untuk
tidak menyebutkan sebagai kesalahan-kebijakan menjadikan IAIN menjadi UIN
adalah lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap struktur kurikulum yang
seharusnya tetap mengajarkan tradisi pemikiran Islam yang komprehensif. Saya
khawatir perubahan IAIN menjadi UIN hanya kental dengan agenda politik tanpa
menimbang akibat terhadap upaya mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang
baik dan terbuka. Karena itu, memperbaiki manajemen kurikulum secara sehat
adalah dengan melakukan review kurikulum yang menjadi ciri khas UIN dari waktu
ke waktu.
Melakukan telaah kurikulum (curriculum review)
sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar bagi UIN saat ini. Tujuannya adalah
untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa UIN tetap bersandar pada
rohnya semula, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara
berkesinambungan tetap mempertahankan tradisi pemikiran Islam yang toleran,
modern, dan terbuka.
Karena itu, telaah kurikulum yang
konsisten dan simultan diharapkan akan meningkatkan kemampuan UIN untuk terus
memberikan sumbangannya bagi kelangsungan NKRI di masa depan. Sangat sulit
membayangkan NKRI menjadi nihil karena UIN, misalnya, tak mampu menyumbangkan
sarjana-sarjana yang tangguh dari aspek moral sekaligus memiliki tradisi
pemikiran keislaman yang mampu menjaga keutuhan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar