Senin, 04 November 2013

Apolitisme dan Apatisme Kaum Muda

Apolitisme dan Apatisme Kaum Muda
Bambang Arianto ;  Dosen Ilmu Politik,
Peneliti Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC)
SUARA KARYA, 02 November 2013

Mewujudkan pemuda yang santun, cerdas, inspiratif dan berprestasi menjadi semangat ritual Sumpah Pemuda tahun 2003. Apolitisme dan apatisme yang sedang menyelimuti nalar pemuda, menjadikan ritual ini pelecut bagi regenerasi pemuda dalam mengawal perubahan di negeri ini.
Patronase kaum tua dan gencarnya pemberitaan korupsi telah menyulut pemuda (baca : kaum muda) kehilangan rasa afiliasitas, afeksitas, maupun afinistas terhadap realitas politik tanah. Pemuda akan selalu dihadapkan pada mandeknya regenerasi, seiring membengkaknya patronase kaum tua dalam setiap ajang kontestasi politik.

Kuatnya cengkeraman partonase kaum tua, mengindikasikan terus merebaknya upaya pengkerdilan regenerasi politik kaum muda. Menjadi renungan kita bersama, apakah benar politik kaum muda masih tetap memiliki tempat dalam aspek kehidupan politik di Tanah Air? Fenomena gerontokrasi juga telah sedemikian membuat kejenuhan bagi kaum muda, sebab estafet kepemimpinan saat ini masih didominasi kaum tua. Keengganan untuk menyerahkan estafet kepemimpinan pada kaum muda, telah menjadi identitas struktur bahkan kultur politik kita. Ataukah, mungkin kaum muda belum siap tampil percaya diri guna menggantikan posisi yang dimiliki kaum tua?

Kultur Politik

Ini menjadi realitas bagi masa depan politik kaum muda ke depan. Selama ini dominasi kepemimpinan kaum tua, pengkondisiannya seolah hanya milik kaum tua. Mereka merasa sudah demikian nyaman duduk sebagai petinggi yang strategis dan memanfaatkan kaum muda untuk menjadi tangga karir politik. Bahkan iklan politik menjelang Pemilu 2014, terkesan hiper realitas, sebab selalu menyelipkan pesan bahwa kaum muda belum boleh banyak bicara, apalagi untuk menjadi pemimpin nasional.

Kaum muda selama ini pun dikenal, terlalu menikmati dan larut dalam kultur politik yang patronatif. Banyak politisi kaum muda hanya menjadi kacung kaum tua, bahkan harus rela menjadi tangga politik bagi pelestarian kultur politik kaum tua. Kaum muda terlalu terbuai dengan bujuk rayu, sehingga lupa untuk meningkatkan kapabilitas personal bahkan kerap menjadi aktifis yang lupa diri. Namun, sayangnya gejala ini membuat kita selalu menyalahkan patronase kaum tua dalam hadirnya realitas gerontokrasi.

Struktur dan kultur politik yang masih terkesan patronatif, dan menipisnya demokrasi seharusnya menjadikan kaum muda tetap berani tampil di permukaan. Bila realitas kaum muda benar memiliki kualitas, integritas dan kapabilitas, apakah mungkin kultur politik kita mau menerima kepemimpinan kaum muda? Realitas politik sangat sulit menerima regenerasi kaum muda yang cakap, padahal walaupun demokrasi terkikis, kaum muda yang memiliki kemampuan cakap harus dapat diterima dalam kultur politik.

Hambatan untuk maju dan berkembang masih terbuka luas, namun kaum muda yang berpendidikan tinggi dan kreatif luput dari pemberitaan. Mereka bahkan enggan untuk pulang ke Indonesia, sebab realitas ke-Indonesian masih banyak yang kurang menghargai karya anak negeri.

Di bidang politik, sesungguhnya regenerasi sudah terjadi, namun itungannya masih sedikit. Komposisi kepengurusan struktural dan kultur partai politik, secara umum masih didominasi kaum tua. Secara kultural, pengaruh budaya Timur masih amat kuat, yang tua selalu dituakan dalam arti harus dipatuhi tanpa otokritik. Dewan pembina partai politik masih menjadi milik kaum tua.

Maraknya partai politik yang tidak demokratis secara internal, menjadikan kaum muda harus berani tumbuh di beberapa peran strategis secara politik, terutama di daerah. Perekrutan pengurus parpol banyak melibatkan kaum muda, namun tampak belum optimal dan bahkan terkesan setengah hati.
Merebaknya apatisme politik kaum muda harus segera diantisipasi, sebab mereka adalah pilar kaderisasi, terutama bagi partai politik. Kalau partai politik gagal menarik minat kaum muda terjun dalam kancah politik, fenomena gerontokrasi akan merebak dalam tubuh parpol. Padahal parpol merupakan produsen pejabat publik dan pintu masuk regenerasi politik nasional. Ketika parpol banyak dikuasai oleh kaum tua, maka kepemimpinan nasional akan didominasi oleh wajah lama yang otomatis menghambat regenerasi kaum muda.

Potret suram ini akan terus menjadi mimpi buruk bagi politik kaum muda. Ketika partai kehilangan daya tarik, pemuda akan memfokuskan energi dan pikirannya untuk menarik batas pemisah dengan apa pun yang berbau politik. Kaum muda pun akhirnya dilanda apatisme politik, apalagi ketika regenerasi koruptor kini tengah melanda politisi kaum muda yang seharusnya bisa menjadi pengawal demokrasi.

Partai politik harus segera berbenah dengan menampilkan program yang pro kaum muda. Visi kepemudaan harus terus ditampilkan secara terbuka, termasuk menarik ikon kaum muda di pucuk pimpinan partai politik. Hal ini penting ditegaskan, sebab sistem kaderisasi partai selama ini sering mengabaikan kapasitas dan kompetensi kader muda, namun lebih mengedepankan atau mendahulukan kader yang memiliki patronase politik, bahkan oligarkis. Kaum tua seharusnya memahami dan memberi ruang bagi spasi regenerasi politik kaum muda.

Parpol yang akan berkontestasi pada Pemilu 2014 haruslah lebih peka menanggapi degenerasi politik pada kaum muda. Sebab, tanpa kaum muda, regerasi politik akan tersendat. Regenerasi politik layak dikedepankan guna mengerem krisis kepemimpinan. Kalau demokrasi egaliter, mengapa meritokrasi tidak dibiarkan berkembang? Caranya, dengan gencar melakukan pendidikan politik guna memberikan tempat kaum muda untuk tetap berdaya kritis dalam kultur politik patronatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar