Zakat dan Opsi
Harakiri
Misranto ; Rektor Universitas
Merdeka, Pasuruan
MEDIA
INDONESIA, 11 Agustus 2012
ADA banyak pertanyaan yang bisa diajukan kepada negara ini.
Benarkah atau sungguh-sungguhkah negara (rezim) ini mengurus orang miskin?
Terbuktikah janji konstitusi, bahwa rakyat yang telantar atau orang miskin
dipelihara oleh negara? Tidakkah selama ini elite kekuasaan atau elemen negara
hanya sibuk dan sering mengobral janji dalam soal pembe basan masyarakat
miskin?
Janji elemen negara memang harus terusmenerus digugat dan
dipertanyakan. Pasalnya, di antara mereka, sangat banyak yang hanya bisa
mengobral janji yang mem bius publik. Janji yang diucapkan hanya kosong. Mereka
lebih sering hanya memainkan politik verbalitas dan ambiguitas saat di hadapkan
dengan ‘proyek akbar’ yang bernama kemiskinan. Mereka paham kalkulasi ekonomi
yang bisa digunakan untuk memberantas kemiskinan. Namun, dalam kenyataan,
mereka tidak bisa atau mandul dalam mengaplikasikannya.
Dalam paradigma elitis, mereka itu berhasil menjemput ranah
kemajuan. Mereka berhasil
menaikkan sedikit pamor negeri. Sebut misalnya Indonesia mencatat pertumbuhan
ekonomi positif. Pada triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi mencapai
6,4%. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi In donesia semester I 2012 tumbuh
6,3%. Pertumbuhan tersebut menggembirakan karena di saat perekonomian global
meriang, makroekonomi Indonesia terbukti tetap tang guh.
Wajar jika pemerintah bertepuk dada (bergembira). Sayangnya
kegembiraan itu ternyata bukan milik semua rakyat bangsa ini. Hal itu
disebabkan pertumbuhan tidak punya akselerasi dalam mengatasi problem sosial
seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kemiskinan masih
berputar-putar pada angka yang itu-itu saja.
Pada Maret 2012, jumlah warga
miskin di Indonesia masih sebesar 29,13 juta jiwa atau 11,96% dari total
penduduk. Angka itu hanya turun tipis 0,53% ketimbang jumlah penduduk miskin
pada Maret tahun sebelumnya. Ketimpangan pendapatan pun melebar sebagaimana
tecermin dari rasio Gini yang menjadi alat ukur ketimpangan pendapatan. Pada
2002, rasio Gini baru 0,32 dan melesat menjadi 0,41 pada 2011 (Media Indonesia, 9 Agustus 2012).
Ironis dan paradoks adalah kata yang tepat untuk menggugat
pertumbuhan itu. Pasalnya kue pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang atau
jadi monopoli elite. Mereka yang miskin tetap miskin atau tetap
menjadi--meminjam istilah Jalaluddin Rachmat-mustadh'afin (sekelompok orang
yang dibikin teraniaya). Mereka ini bukan hanya miskin, tetapi dimiskinkan,
sehingga `selalu' kesulitan membebaskan dirinya dari ketidakberdayaan ekonomi (economical empowerless).
Akibat kemiskinan itu sangatlah fatalistik. Tak sedikit di antara
orang miskin itu yang menjatuhkan opsi harakiri atau bunuh diri. Mereka tak
kuat menjalani kehidupan serbakurang dan tersiksa secara berkepanjangan
sehingga memilih jalan mengakhiri hidup.
Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama tiga tahun
terakhir. Kemiskinan dan impitan ekonomi menjadi penyebab tingginya jumlah
orang yang mengakhiri hidup. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti A Prayitno mengatakan faktor penyebab orang nekat bunuh diri ialah
kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta
penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya
beban hidup.
Paparan Prayitno didasarkan pada data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang dihimpun
pada 2005-2007 bahwa sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri. Jumlah
kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang
mencapai 50 ribu orang setiap tahun.
Dari jumlah tersebut, 41% bunuh diri dilakukan dengan cara gantung
diri dan 23% dengan cara meminum racun serangga. Faktor psikologis yang
mendorong bunuh diri ialah kurangnya dukungan sosial dari masyarakat sekitar,
kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis,
dan konfl ik berat yang memaksa masyarakat mengungsi (Hilman Hadi, 2011).
Sebagai perbandingan dengan perkembangan bunuh diri sekarang,
kasus bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8% per 100 ribu
penduduk, kebanyakan lelaki. Dari 1.119 orang bunuh diri di ibu kota negara,
41% dengan cara gantung diri dan 23% menenggak racun. Selain itu, 256 orang
menemui ajal akibat overdosis obat. Tingginya angka bunuh diri di Indonesia
mendekati negara peme gang rekor dunia seperti Jepang yang mencapai lebih dari
30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu orang per tahun.
Fenomena belakangan ini juga kian menunjukkan kondisi mem
prihatinkan sehubungan dengan gampangnya elemen rakyat miskin menjatuhkan opsi
harakiri. Awal Juli lalu setidaknya kita mendapatkan pelajaran berharga.
Tragedi Markiah, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, yang nekat
menjemput kematian bersama buah hatinya dengan cara menceburkan diri ke Sungai
Cisadane, Bogor, merupakan salah satu gambaran betapa sudah membelitnya
kemiskinan di masyarakat jelata. Di antara mereka, tak sedikit yang gagal
mempertahankan atau memperjuangkan hak keberlanjutan hidup. Mereka jadikan
harakiri sebagai opsi untuk mengakhiri akumulasi penderitaan.
Dalam Islam, tragedi seperti yang menimpa Markiah bisa dicegah
jika negara atau komunitas elite sungguh sungguh mengerahkan segala ke mampuan
untuk mengeluarkan dan mengelola zakat. Zakat bukan hanya potensial
menanggulangi kemiski nan, tetapi juga mampu menyucikan keyakinan dan
menguatkan ketahanan psikologis komunitas miskin sehingga tidak sampai
terjerumus dalam opsi harakiri.
Menurut hasil riset Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), FEM IPB,
dan IDB, terjadi kenaikan potensi zakat di Indonesia sebesar Rp217 triliun atau
3,14% dari GDP (gross domestic product)
Indonesia. Potensi demikian besar ini akan mampu menjadi instrumen yang
membebaskan, menyejahterakan, dan mencerahkan, bilamana benar-benar menga lir
ke dalam kehidupan rakyat secara riil.
”jika zakat itu dibagikan dengan jujur, tak akan ada kemiskinan,”
demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan bahwa soal kewajiban
menjalankan zakat bukan hanya bagaimana orang kaya (upper class) atau golongan muzaki (pihak yang dibebani kewajiban
mengeluarkan zakat) atas harta kekayaannya, tetapi bagaimana distribusi zakat
dilakukan dengan jujur, transparan, dan akuntabel? Ukuran yang disampaikan oleh
Nabi tersebut terletak pada dimensi moralitas distribusi zakat atau manajemen
zakat berbasis akuntabilitas moral. Baik elite ekonomi atau komunitas kaya
maupun pengelola zakat (seperti negara melalui badan amil-amilnya), termasuk
penyelenggara UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang dituntut
dalam doktrin Islam ialah penegakan atau pembumian kejujuran (norma etis).
Etika kejujuran yang bisa ditegakkan oleh setiap muslim atau
‘organisatoris’ yang dipercaya menerima, mengelola, dan mem bagikan zakat
merupakan kata kunci yang menentukan bisa sampai tidaknya zakat diterima oleh
yang berhak atau sukses tidaknya masyarakat bisa dibebaskan dari kemiskinan,
diprevensi dari kemungkinan keterjerumusan menjatuhkan opsi harakiri, dan
diantarkan menuju keberdayaan kemanusiaannya.
Ketika etika kejujuran sudah tidak dipegang teguh oleh penerima
zakat atau amil (panitia penerima zakat) mengidap ‘kemiskinan’ moral, maka
zakat akan sulit terdistribusi kepada orang-orang yang tergolong prioritas
menerimanya. Komunitas yang diistimewakan oleh agama untuk berhak menerima
zakat ialah fakir miskin. Pasalnya komunitas ini tergolong paling rentan ketika
dihadapkan dengan tantangan berat dan komplikatif yang mengujinya.
Di negeri ini, memang di satu sisi, kehadiran muzaki dalam program
penanggulangan kemiskinan dan penyejahteraan sangatlah dibutuhkan, khususnya
untuk menyelamatkan hak keberlanjutan hidup warga miskin. Akan tetapi repotnya,
elemen negara ini juga gampang silau ketika dihadapkan dengan uang dalam jumlah
besar. Jangankan dana zakat, dana APBN untuk pengadaan Alquran saja bisa
dikorupsi secara terorganisasi, apalagi kalau uang itu dari zakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar