TVRI Mau ke
Mana?
Ishadi SK ; Mantan Dirjen Radio, Televisi, dan Film
|
KOMPAS,
24 Agustus 2012
Hari ini, 24 Agustus 2012, TVRI genap 50
tahun. Usia yang cukup lama untuk sebuah media televisi.
TVRI memang pionir dalam sistem pertelevisian
di Indonesia. Gagasan yang mulai muncul tahun 1953 itu baru terwujud sembilan
tahun kemudian saat penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta, 24 Agustus
1962–4 September 1962.
Gagasan berasal dari Maladi, Menteri
Penerangan saat itu, yang mendesak Presiden Soekarno membangun TVRI untuk
kepentingan
Pemilu 1955. Gagasan diterima Presiden
Soekarno, tetapi ditentang kabinet karena mahal. Baru tahun 1959 gagasan
diterima karena terkait Asian Games.
Kehadiran televisi tidak sia-sia karena telah
mengabadikan Mohamad Sarengat yang memenangi lomba lari 100 meter dengan
kecepatan 10,4 detik. Suatu rekor yang baru terpecahkan lima belas tahun
kemudian dan menjadikan Indonesia pengumpul medali peringkat ke-4. Sebuah
prestasi yang tidak pernah didapat lagi sekarang.
PN Adhi Karya pimpinan Ir Rooseno dan para
mahasiswa ITB berhasil menyelesaikan pembangunan kurang dari 11 bulan. Pembangunan
studio disupervisi teknisi NEC dari Jepang, produksi siaran televisi dibantu
NHK Jepang dan BBC London.
Siaran percobaan berlangsung TVRI 17 Agustus
1962 dari halaman Istana Merdeka Jakarta, berupa siaran langsung pidato
Presiden RI menyambut Hari Kemerdekaan Ke-17 RI.
Siaran resmi pertama TVRI adalah upacara
pembukaan Asian Games tahun 1962, yang semarak selama tiga jam dari pukul
16.00-19.00. Siaran diterima oleh pemirsa TVRI di Jakarta dalam radius 70
kilometer yang menerima 10.000 pesawat televisi hitam putih secara cuma-cuma.
Setelah Asian Games berakhir, pemerintah
menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 318 Tahun 1962 tentang Integrasi TVRI ke
dalam Yayasan Bung Karno, yayasan yang mengelola kompleks olahraga Senayan.
Setahun kemudian, Pemerintah menerbitkan Keppres No 215/1963 tentang
Pembentukan Yayasan TVRI dengan ketua yayasan Presiden RI. Salah satu pasalnya
menyebutkan, Yayasan TVRI adalah satu-satunya badan yang berwenang membangun
dan menyelenggarakan siaran televisi di Indonesia.
Berubah Status
Namun, status TVRI yang independen berubah
total tahun 1980. Menteri Penerangan Ali Murtopo mengubah status Yayasan TVRI
menjadi Lembaga Direktorat TVRI di bawah Departemen Penerangan RI. Direktur dan
jajaran manajemen diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Penerangan dan
karyawan TVRI jadi pegawai negeri.
Sejak itu, TVRI menjadi alat pemerintah.
Kebebasannya dibatasi dan iklannya dicabut sehingga TVRI hanya hidup dari
subsidi dan iuran televisi yang amat sulit ditarik dari masyarakat.
Tanggal 8 Juli 1976, pemerintah membangun
Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa (SKSD Palapa) sehingga seluruh
Indonesia dapat terjangkau siaran TVRI. Saat itu Indonesia adalah negara ketiga
setelah Kanada dan Rusia, yang menggunakan satelit domestik untuk siaran televisi.
TVRI juga pernah menjadi televisi produksi terbaik di luar Jepang dan Korea.
Tahun 1979, TVRI berubah dari hitam putih ke berwarna.
TVRI telah melahirkan berbagai produk
unggulan yang disukai penonton. Dari acara musik Chandra Kirana, drama TVRI Losmen
hingga tayangan kuis yang mendapat sambutan luas di seluruh Indonesia. Belum
lagi tayangan langsung bulu tangkis yang membangkitkan rasa nasionalisme dan
cinta olahraga di seluruh pelosok Tanah Air.
Tahun 1992 pasca-lahirnya lima stasiun
televisi swasta, TVRI masih mampu menampilkan program-program yang bersaing.
Namun, perkembangan pesat di bidang teknologi produksi dan transmisi penyiaran,
sumber daya manusia yang andal, serta kreativitas acara, tidak diimbangi
pembenahan manajemen. Pada masa Menteri Penerangan Harmoko, siaran TVRI menjadi
monoton dan penuh propaganda.
Di tengah keterpurukan tersebut, pemerintah
tahun 1990 memberikan izin pada lima stasiun televisi swasta: RCTI, SCTV, ANTV,
TPI, dan Indosiar. Sebagai stasiun televisi swasta yang dikelola profesional,
memiliki dana tak terbatas dari iklan, televisi baru itu mengubah paradigma
penyelenggaraan siaran. Program TVRI pun dilupakan orang.
Pada era Reformasi, Menteri Penerangan
Jenderal Yunus Yosfiah mereformasi sistem penyiaran. Akhir tahun 1998, keluar
izin lima stasiun komersial baru: MetroTV, TransTV, LaTivi, TV7, dan Global TV.
TVRI semakin terpuruk. Pada masa pemerintahan Gus Dur, TVRI semakin kehilangan
pegangan dan sumber dana karena Departemen Penerangan RI yang selama ini
menjadi induk TVRI dibubarkan.
Juni 2000, lewat Peraturan Pemerintah No
36/2000 status TVRI berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) seperti
Perusahaan Kereta Api di bawah Departemen Keuangan.
Setahun kemudian terbit PP No 64/2001 yang
menempatkan TVRI selaku perusahaan di bawah Menteri Negara BUMN. Belum genap
setahun lewat PP No 09/2002 status TVRI diubah lagi menjadi Perseroan
Terbatas–PT TVRI di bawah Kantor Menteri BUMN dan Departemen Kominfo. Tidak
sempat mengonsolidasi diri dengan status baru itu, status TVRI berubah lagi.
Berdasarkan UU Penyiaran No 32/2002, TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik.
Tergantung Subsidi
TVRI semakin redup karena hidupnya hanya
bergantung pada subsidi yang tahun 2012 hanya Rp 715 miliar. Dari jumlah itu,
Rp 400 miliar di antaranya untuk membayar gaji karyawan.
Hari ini, 24 Agustus 2012, TVRI berulang
tahun ke-50. Bagaimana TVRI ke depan?
Menurut saya, TVRI harus diberdayakan karena
keunggulannya: aset yang besar. Ada 1 stasiun televisi pusat di Jakarta dan 27
stasiun televisi daerah serta jaringan penyiaran yang terdiri dari 376 satuan
transmisi di seluruh Indonesia. TVRI juga memiliki modal dasar SDM yang andal.
Harus ada political will dari pemegang kekuasaan negeri ini: pemerintah dan
DPR, dengan pertanyaan, masihkan kita memerlukan TVRI? Kalau jawabannya ”ya”,
ada tiga hal besar yang harus dibenahi.
Pertama, visi dan misi. TVRI harus menjadi televisi publik, seperti NHK, BBC,
atau CNBC Canada dengan isi siaran yang setara, baik kualitas maupun
kreativitas, dengan televisi swasta.
Kedua, pembenahan manajemen dan
SDM agar mampu bersaing. Orang muda harus lebih banyak dilibatkan
dalam penyusunan program dan produksi.
Ketiga, TVRI dan kelak kalau
berdasarkan UU Penyiaran yang baru disatukan dengan RRI, menjadi RTRI—Radio
Televisi Republik Indonesia—harus ada dukungan dana yang mencukupi. Di
depan Komisi I DPR, saya pernah menyebut Rp 5 triliun setahun sebagai dana awal
untuk TVRI dan RRI. Dana sebesar itu untuk perbaikan peralatan, investasi
peralatan digital, memproduksi acara berkualitas dan memperbaiki kesejahteraan.
Manajemen harus bisa mengelolanya sehingga
dari tahun ke tahun jumlah itu berkurang dan akhirnya dalam lima tahun harus
bisa mandiri.
Dirgahayu
TVRI. Maju terus menyongsong masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar