Responsibility
to Protect
Mimin Dwi Hartono ; Aktivis HAM, Alumni
Universitas Brandeis USA
REPUBLIKA,
02 Agustus 2012
Kekejaman terhadap etnis Rohingya seakan tiada berakhir. Dalam
peristiwa pada Mei 2012, setidaknya lebih dari 60 orang etnis Rohingya dibunuh
oleh kelompok mayoritas di Myanmar dan ratusan lainnya hilang, yang diduga
dibantai oleh pasukan militer Myanmar. Etnis Rohingya yang menganut agama Islam
hidup di perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh, tetapi kedua negara itu
enggan mengakui mereka sebagai warganya.
Ribuan pengungsi Rohingya yang berusaha mencari penghidupan lebih
baik di Australia banyak yang terdampar di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Sekretaris Jenderal ASEAN telah meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk
memberikan penjelasan atas kasus tersebut dan menanganinya secara proporsional.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) telah
mengirimkan tim investigasi untuk memeriksa pelanggaran HAM itu dan mengambil
langkah-langkah untuk menuntut akuntabilitas Pemerintah Myanmar.
Sebagai bagian dari komunitas internasional yang mempunyai mandat
untuk menjaga stabilitas kawasan dan perdamaian dunia, ASEAN dituntut untuk
bisa mengimplementasikan konsep `Tanggung Jawab untuk Melindungi' (Responsibility to Protect) yang
dicetuskan dalam pertemuan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005.
Konsep `Tanggung Jawab untuk Melindungi' menegaskan bahwa
komunitas internasional mempunyai tanggung jawab untuk menghentikan kejahatan
kemanusiaan di suatu negara jika otoritas setempat tidak mampu dan tidak mau
melindungi rakyatnya, atau bahkan menjadi pelaku atau terlibat dalam kejahatan
(perpetrator). Lebih lanjut, prinsip
dasar `Tanggung Jawab untuk Melindungi' adalah bahwa negara bersangkutan
menjadi penanggung jawab utama untuk melindungi rakyatnya dari tindak kejahatan
kemanusiaan, seperti genosida,
kejahatan perang, dan pemusnahan etnis.
Kemudian, komunitas internasional bertanggung jawab untuk mendorong
akuntabilitas negara yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya. Komunitas
internasional mempunyai tanggung jawab untuk mempergunakan mekanisme diplomasi,
misi kemanusiaan, dan tindakan lainnya untuk membantu masyarakat terdampak atau
korban. Jika negara yang bersangkutan gagal dalam mengemban kewajibannya,
komunitas internasional harus mengambil tindakan kolektif untuk melindungi
masyarakat sesuai dengan amanah yang termaktub dalam Piagam PBB (United Nations Charter).
‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ dilandasi oleh semangat untuk
menciptakan perdamaian dunia dan menjunjung tinggi HAM yang bersifat universal
dan nondiskriminasi. Hak asasi manusia harus berdiri di atas semua bangsa dan
berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang melintasi batas negara, afiliasi politik,
agama, dan kewarganegaraan.
Untuk itu, komunitas internasional mempunyai hak untuk
mengintervensi dalam peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan jika negara yang
bersangkutan gagal atau bahkan terlibat dalam kejahatan.
Hak asasi manusia di ASEAN memang menjadi hantu, terutama bagi
negara-negara yang belum demokratis seperti Myanmar. Namun sejak 2009,
terbentuk Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Human
Rights Commission) sebagai wujud komitmen dari negara-negara ASEAN untuk
memperbaiki kepatuhan mereka terhadap norma, prinsip, dan standar HAM. Walaupun
tidak mempunyai fungsi proteksi dan investigasi, kehadiran Komisi HAM ASEAN
diharapkan akan memberi perbaikan situasi HAM di ASEAN, termasuk dalam
menyikapi kasus Rohingya.
Selama ini, prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi menjadi
justifikasi bagi ASEAN untuk tidak bisa mencampuri urusan domestik negara
anggotanya.
Namun, ‘sesat pikir’ tersebut harus segera diakhiri. Dalam era
saat ini, pihak lain mempunyai hak untuk mengintervensi sebuah negara jika
negara yang bersangkutan tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melindungi
rakyatnya. Hal ini sesuai dengan prinsip ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ yang
menjadi semangat pergaulan internasional sejak era 2000-an.
Di samping negara yang mempunyai tanggung jawab melindungi etnis
Rohingya, kelompok non-negara seperti lembaga swadaya masyarakat juga berperan
sangat penting dan strategis.
Di saat negara yang sering kali terhambat oleh aturan diplomasi
dan birokrasi sehingga memperlambat proses intervensi, lembaga swadaya
masyarakat mempunyai fleksibilitas dan kecepatan dalam memberikan bantuan
kemanusiaan.
Sayangnya, dalam kasus pembantaian dan tindakan sewenang-wenang
terhadap etnis Rohingya, tidak banyak lembaga swadaya masyarakat, khususnya di
bidang hak asasi manusia, yang terlibat dan bersuara kencang. Hal ini membuat
masyarakat mempertanyakan imparsialitas lembaga-lembaga hak asasi manusia yang
seakan tidak sigap dalam menanggapi kasus-kasus hak asasi manusia yang
korbannya adalah masyarakat Muslim. Ini menjadi tantangan tersendiri kelompok
advokasi HAM di Indonesia maupun di kawasan ASEAN untuk berdiri di atas semua
korban dan independen dari donor asing.
Derita etnis Rohingya harus diatasi secara komprehensif anggota
ASEAN dengan negara-negara lain, seperti Australia, dan dengan melibatkan lembaga
swadaya masyarakat serta lembaga internasional. Jangan sampai kasus ‘pertukaran
pengungsi’ antara Malaysia dan Australia terjadi lagi di mana Australia
menukarkan sebanyak 800 etnis Rohingya yang terdampar di Australia dengan 4.000
pengungsi lain dari Malaysia. Cara yang tidak elok dan tidak manusiawi ini
sungguh merendahkan martabat kemanusiaan.
Saatnya kita menunggu bagaimana
aksi ASEAN dalam memperjuangkan HAM etnis Rohingya. Kita juga berharap ada
terobosan dari Pemerintah Myanmar yang mulai melakukan reformasi, khususnya
melalui kiprah ikon demokrasinya, Aung San Sun Kyi, untuk memperjuangkan etnis
minoritas, termasuk etnis Rohingya. ASEAN harus mendorong anggotanya untuk meratifikasi
konvensi tentang pengungsi 1951 sebagai langkah awal yang bagus untuk menangani
kasus-kasus pengungsi seperti yang dialami oleh etnis Rohingya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar