ASEAN
Tersandera Politik Energi
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi BP Migas
KORAN
TEMPO, 02 Agustus 2012
Konon, baru pertama kali dalam 45
tahun sejarah ASEAN terjadi kebuntuan dalam merumuskan komunike bersama para
menteri luar negeri, terutama akibat ekses sengketa Laut Cina Selatan, wilayah
yang diyakini para ahli kebumian kaya akan minyak dan gas bumi yang diklaim
oleh enam negara, yaitu Cina, Taiwan, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
telah menyatakan kekecewaan dan keprihatinan atas kegagalan membuat pernyataan
bersama (joint communique) dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN beberapa waktu
lalu di Phnom Penh, Kamboja. Meskipun demikian, Presiden SBY membantah bahwa
ASEAN telah pecah kongsi. SBY telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa mengambil inisiatif mendatangi satu per satu negara anggota ASEAN
guna mencoba menyusun kembali posisi bersama ASEAN menghadapi isu Laut Cina
Selatan. Marty menegaskan, kegagalan penetapan posisi bersama ASEAN berpotensi
memicu persoalan yang lebih besar.
Perbedaan tajam masih terjadi,
terutama antara Kamboja, yang dikenal sebagai sekutu dekat Cina di ASEAN, dan
Filipina yang menjadi penggembira Gedung Putih. Filipina beserta negara-negara
ASEAN menyatakan klaim lebih menginginkan sikap "aksi", khususnya
terhadap sikap agresif Cina. Sebaliknya, anggota lain, khususnya Kamboja,
menolak bersikap terlalu "maju" dalam menghadapi Cina, terutama
terkait dengan insiden terbaru di perairan Laut Cina Selatan.
Sebelumnya, Cina telah
mengumumkan anggaran belanja militer 2012 yang meningkat dua digit sebesar 11,2
persen menjadi US$ 106,4 miliar, ditambah anggaran belanja keamanan dalam
negeri US$ 111,4 miliar, sehingga memicu beberapa negara ASEAN membangun
hubungan lebih erat, bahkan mengundang kehadiran AS yang lebih nyata di Asia
Tenggara untuk mengimbangi Cina yang semakin perkasa di hadapan negara-negara
ASEAN.
Peringatan Cina
Cina memperingatkan ASEAN agar
tidak "melebih-lebihkan" perselisihan di Laut Cina Selatan. Beijing
menolak sengketa itu dibahas di Forum Regional ASEAN (ARF), yang akan
mempertemukan ASEAN dengan Cina, AS, dan negara lainnya, karena hal ini akan
menyandera hubungan Cina-ASEAN. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Liu
Weimin, menegaskan bahwa masalah Laut Cina Selatan bukan masalah antara Cina
dan ASEAN, melainkan antara Cina dan beberapa negara anggota ASEAN.
Cina secara konsisten mengklaim
sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan dan berulang kali menegaskan tidak
akan menyerahkan klaimnya atas kawasan itu, meski area itu mendekati pantai
negara-negara ASEAN. Filipina, dibimbing Gedung Putih, ngotot agar ASEAN bersatu membujuk Cina untuk
menerima code of conduct (CoC)
berbasis hukum internasional seperti undang-undang perbatasan maritim dan
undang-undang konvensi laut yang disahkan PBB. Sebaliknya, Cina selalu
mengungkapkan pihaknya lebih menyukai penyelesaian masalah melalui pendekatan
individual (bilateral).
Persaingan Geo-Energi
Di masa depan, banyak faktor akan
mempengaruhi keutuhan ASEAN, salah satu yang dominan adalah faktor geo-energi.
Seperti dimaklumi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, AS siap menjadi poros
geo-energi baru sebagai sentra penghasil dan pengekspor energi, khususnya gas
bumi. Amerika Serikat, melalui revolusi teknologi shale-gas, berhasil
mengembangkan cadangan gas kelima terbesar di dunia sebesar 273 triliun kaki
kubik dan siap bersaing dengan Rusia. Ekspor gas AS masih tertunda 2-3 tahun
karena dibutuhkan di dalam negeri sebagai sarana kebangkitan ekonomi dan
industri AS yang menuntut harga gas domestik semurah mungkin. Pemerintah AS
masih menunggu waktu yang tepat untuk menjadi negara net pengekspor gas yang
siap menembus pasar Asia-Pasifik.
Namun, di sisi lain, selepas
2020, Cina sebagai salah satu pengguna energi terbesar di dunia ternyata juga
memiliki potensi menjadi sentra gas yang baru karena dihitung memiliki cadangan shale gas 19 persen dari total cadangan gas
dunia (Ernst & Young). Cina sudah memerintahkan tiga perusahaan minyak
nasional untuk segera mengadopsi teknologi fracturing
shale-gas yang mutakhir guna
mengejar ketertinggalan dari AS dan Kanada.
Suka tidak suka, AS dan Cina
selepas 2020 berpotensi menjadi dua sentra energi, khususnya gas bumi, sebagai
pengguna sekaligus pemasok yang akan bersaing di kawasan Asia-Pasifik,
khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur. Di masa depan, AS dan Cina memiliki
beberapa persinggungan kepentingan. Yang pertama adalah pasar bersama di Asia-Pasifik
dengan kebutuhan gas bumi yang terus berkembang. Yang kedua adalah jaminan
keamanan di Laut Cina Selatan sebagai akses perdagangan laut internasional
menuju negara-negara pembeli, terutama Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan,
dan lainnya.
Untuk memudahkan akses penjualan
gas ke Asia Timur, AS bersama Kanada memastikan akan memperlebar Terusan Panama
mulai 2014 sehingga akan meramaikan persaingan regional menghadapi Cina,
Australia, dan negara-negara ASEAN. Dari sisi geo-energi, beberapa kepulauan di
Laut Cina Selatan, seperti Kepulauan Parracel dan Spratly, dimaklumi mengandung
sumber daya migas yang luar biasa. Menurut hitungan para ahli kebumian yang
dikutip oleh EIA (The US Energy
Information Agency), diduga kawasan laut Cina Selatan mengandung cadangan
minyak sebesar 213 miliar barel atau 80 persen cadangan minyak Arab Saudi!
Apabila volume sumber daya migas
yang berada di jalur ASEAN dan Laut Cina Selatan digabungkan, di masa depan
kawasan ini berpotensi menjadi lumbung energi dengan kantong-kantong minyak dan
gas yang layak diperhitungkan oleh siapa pun, terutama AS dan Cina sebagai
negara pengguna energi terbesar di dunia. Hal ini mengingat sumber daya migas
di belahan dunia lain diperkirakan akan menyusut, sedangkan penemuan-penemuan
cadangan yang baru, terutama minyak, akan semakin langka.
Tidak mengherankan apabila secara
regional AS dan Cina buru-buru bersaing meningkatkan pengaruh politik menyusupi
beberapa negara ASEAN melalui berbagai manuver ekonomi, politik, dan militer
sehingga cenderung memecah-belah ASEAN dan mengancam kesetimbangan regional di
masa depan. Posisi AS saat ini adalah mengembangkan fasilitas pangkalan militer
dan logistik di Darwin dan Singapura untuk mengawal perusahaan-perusahan minyak
AS dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan ASEAN, termasuk
Indonesia, dan bersiap-siap mengambil posisi di kawasan Laut Cina Selatan,
apabila kelak sekutunya berhasil mengakuisisi sebagian wilayah dan sumber daya
migas dari kawasan tersebut, terutama Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Dampak bagi RI
Persaingan dan tarik-menarik
kepentingan geo-politik dan geo-energi dua negara adidaya AS dan Cina telah
menyebabkan kebuntuan ASEAN untuk mencapai komunike bersama dalam pertemuan
Menteri Luar Negeri di Phnom Penh pekan lalu. Fenomena tersebut adalah satu
indikasi bahwa ASEAN, khususnya Indonesia, tersandera oleh dua kekuatan adidaya
yang masing-masing mempunyai "penggembira" regional. Repotnya,
apabila Indonesia condong ke arah poros AS, dikhawatirkan hal itu menyulut
"kegusaran politik" Cina yang akan berdampak negatif terhadap keharmonisan
hubungan di antara kedua negara, termasuk kedaulatan Indonesia atas wilayah
Natuna yang kaya gas, seperti telah beberapa kali diembuskan Cina, terakhir
oleh Jenderal Guo Boxiong, Wakil Ketua Komisi Militer Cina, dalam kunjungan ke
Jakarta pada 2010. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar