Pembinasaan dan
Penyelamatan Jamu
|
Jaya Suprana ; Ketua Umum
Yayasan Warisan Kebudayaan Dunia Indonesia
|
KOMPAS,
22 Agustus 2012
Jamu sebagai karsa dan karya
kebudayaan kesehatan dan kecantikan Nusantara saat ini sedang mengalami
pembinasaan melalui tiga jalur.
Jalur pertama adalah bunuh
diri. Disadari atau tidak, proses ini malah dilakukan oleh sekelompok pengusaha
jamu sendiri. Mereka kurang meyakini potensi jamu akibat lebih meyakini potensi
obat-obatan farmasi.
Pemujaan budaya kesehatan
asing yang mengandung ramuan kimiawi sambil di sisi lain kurang yakin terhadap
khasiat jamu menyebabkan sekelompok pengusaha jamu sengaja mencampurkan ramuan
farmasi dengan harapan bisa lebih berkhasiat. Padahal, kenyataannya lebih
sering berefek samping negatif pada konsumen. Maka, alih-alih menyembuhkan,
jamu yang mengandung bahan kimia obat malah berpotensi menimbulkan berbagai
masalah kesehatan yang bahkan bisa merenggut nyawa penggunanya!
Korban jamu bercampur ramuan kimiawi berdampak fatal itu merupakan fakta yang sangat
mencemarkan citra jamu dan merupakan salah satu pembinasaan jamu. Padahal, jamu
berpotensi sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan di kawasan nasional
ataupun internasional. Bisa jadi, mereka yang semula meyakini khasiat jamu
sebagai sarana preventif dan promotif kesehatan meragukan khasiat jamu,
gara-gara segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab!
Sistem Kesehatan Nasional
Jalur kedua merupakan jalur
sistem kesehatan nasional. Pembinasaan jamu secara lambat tetapi pasti juga
didukung oleh wabah xenofilia alias
kegemaran atas serba asing yang senantiasa asyik meradang-lela di sanubari
naluri sebagian warga bangsa Indonesia. Akibat jamu bukan kebudayaan asing,
para pengidap xenofilia secara sadar
atau tak sadar lebih meyakini khasiat produk kebudayaan asing.
Bahkan secara politis,
sistem kesehatan nasional mulai dari pendidikan sampai industri de facto didominasi oleh budaya asing,
yakni kedokteran dan farmasi. Beda dengan India, China, Jepang, dan Korea,
sistem kesehatan nasional Indonesia mulai dari hulu sampai hilir secara jalur
tunggal dimonopoli budaya asing, khususnya Barat.
Bahkan, obat-obatan kimiawi
produksi pabrik-pabrik farmasi Indonesia 90 persen
didominasi bahan impor.
Komponen produk obat-obatan farmasi Indonesia merupakan yang paling rendah
dalam hal kandungan komponen dalam negeri.
Industri Farmasi Terjajah
Industri obat-obatan farmasi
Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan sebenarnya masih terjajah imperialisme
industri! Terbukti jamu sebagai karsa dan karya kebudayaan asli Indonesia malah
dianggap tidak layak resmi diterima di jalur sistem kesehatan nasional yang
dimonopoli kebudayaan kesehatan tradisional Barat.
Memang, sekelompok dokter di
Jakarta sempat berbelas kasihan dan bersedia menjunjung tinggi harkat dan
martabat jamu untuk diterima dalam sistem kesehatan nasional, tetapi ternyata
mereka bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Beijing (yang tentu
lebih mengenal obat tradisional China ketimbang Indonesia). Lebih
memprihatinkan lagi, kelompok mereka ternyata tidak sudi menggunakan nama jamu
pada perhimpunan mereka. Apa karena merasa lebih keren dengan herbal sebagai nama asing?
Bahkan, pihak pemerintah
juga merasa kurang keren menggunakan nama jamu sehingga lebih bangga
menggunakan istilah herbal bagi jamu
yang terstandar dan fotofarmaka bagi jamu yang teruji klinis. Bukan mustahil
nama Gabungan Perusahaan Jamu akan dikerenkan menjadi Gabungan Perusahaan
Herbal atau para penjaja jamu gendong menjadi herbal gendong.
Akibat xenofilia berlebihan itu dijamin nama jamu lambat tetapi pasti
musnah dari bumi kesehatan nasional Indonesia gara-gara menggunakan nama asing
yang dianggap lebih keren.
Diskriminasi
Jalur ketiga tampil dalam
bentuk diskriminasi pelaksanaan peraturan. Sebenarnya peraturan terhadap obat
tradisional dari negara mana pun pada prinsipnya sudah diatur sama dan
sebangun. Sayang, pelaksanaannya ternyata banyak pelanggaran.
Kalau izin untuk mendirikan
rumah sehat yang mendayagunakan ilmu kesehatan dan jamu senantiasa dipersulit,
rumah sakit obat tradisional China ternyata begitu mudah didirikan dan
merajalela di Indonesia!
Lebih tragis lagi, sementara
industri jamu di Indonesia ketat diawasi, dikendalikan, dan bahkan dikekang:
bukan hanya dalam proses produksi, melainkan juga iklan yang harus lolos izin
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), iklan rumah sakit dan obat tradisional
China bertaburan di media cetak dan elektronik.
Isinya pun berupa klaim
promosi yang menyesatkan konsumen, yang dilarang keras oleh BPOM dilakukan
industri jamu dan rumah sakit Indonesia.
Coba simak iklan di surat
kabar dan televisi. Rumah sakit dan obat-obatan tradisional China bebas-merdeka
mempromosikan produk mereka dengan klaim penyembuhan yang fantastis bin bombastis terhadap penyakit hipertensi, diabetes,
gagal-ginjal, jantung bahkan kanker!
Sungguh menakjubkan
bagaimana industri kesehatan tradisional China bisa memperoleh fasilitas
sedemikian istimewa: boleh melanggar semua aturan yang diterapkan BPOM pada
industri farmasi apalagi jamu Indonesia.
Selamatkan Jamu
Sebenarnya para pembinasa
potensial bisa sekaligus berperan sebagai penyelamat. Caranya?
Pertama, berhenti melakukan
yang mereka lakukan. Para pengusaha jamu bisa menyelamatkan jamu (dan konsumen
jamu) dengan tidak mencampur produknya dengan bahan kimia obat.
Kedua, pemerintah dan
pengusaha jamu sebaiknya tidak menggunakan nama-nama asing tetapi bangga
menggunakan nama jamu: jamu terstandar, jamufarmaka, atau jamu apa pun. Penjaja
jamu gendong pun tak perlu dikerenkan menjadi herbal gendong.
Ketiga, pemerintah harus
tegas menegakkan aturan. Seyogianya jamu diberikan kesempatan untuk bersaing
secara sehat dan fair dengan obat tradisional dari kebudayaan asing mana pun.
Keempat, dukung segenap
upaya penyelamatan jamu lewat Yayasan Warisan Kebudayaan Dunia Indonesia yang
beranggotakan para tokoh pemerhati warisan kebudayaan Nusantara.
Semoga jamu bisa menjadi salah satu warisan
budaya dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar