Nasionalisme
Nasi Goreng
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
SINDO,
11 Agustus 2012
Jauh sebelum dikenal istilah jenius lokal, nenek
moyang telah mengenal dan menciptakan nasi goreng. Karya budaya yang
menyelamatkan nasi basi––karena saat itu belum dikenal penghangat nasi, dan
sebagai karya tetap open ended,terbuka.
Nasi goreng yang dengan luwes bisa berkoalisi dengan apa saja, dari iwak peyek, petai, daging kambing, sea food, sampai ikan air tawar. Bisa berkolaborasi dengan cabai jenis keriting,ijo, rawit, atau bumbu lain. Nasi goreng bisa dihidangkan melalui pedagang keliling–– bahkan kita bisa membawa nasi sendiri agar lebih murah, bisa ada dalam hotel berbintang ”jenderal besar”. Banyak ragamnya.
Saya pernah heran ketika bersama penyair Sapardi Djoko Damono berada di Belanda saat menghadiri Poetry Reading International, pembacaan puisi internasional, mendapatkan nasi goreng yang disertai pisang goreng dan diberi santan. Sayangnya, nasi goreng tidak dikenali dalam bahasa komputer sehingga setiap kali menuliskan goreng, otomatis berganti menjadi ’goring’. Seakan kata nasi goreng adalah salah dan perlu dikoreksi.
Tragedi Budaya
Nasib nasi goreng tidak seburuk durian, terasi, keretek, atau jamu kuat. Durian buah yang berasal dari tanah ini, sehingga bahasa internasionalnya tetap durian, perlu dimusuhi. Di negerinya sendiri, durian tak leluasa disajikan di hotel, bahkan dalam kamar, atau sebagai tentengan ketika naik pesawat terbang. Terasi dianggap kotor, diganti bumbu masak plastikan. Keretek, juga rokok dianggap jelek, jorok, dan berbahaya, sedangkan jamu kuat dianggap ilegal.
Yang tengah terjadi bukan semata masalah kesehatan, melainkan juga pemaksaan pada gaya hidup, penyeragaman dengan meniadakan tata krama dan tata nilai yang sudah berlaku sebelumnya, dengan arogansi otomatis sebagaimana kerja komputer, yang ketika diketik berubah menjadi ’computer’, dengan c, tanpa peduli yang mengetik orang Indonesia. Seakan cara lain bukan tak diakui keberadaannya, melainkan juga salah.
Yang terus terjadi, legitimasi peniadaan keberagaman yang muncul dalam dan melalui birokrasi, atau cara kerja pemerintah. Hegemoni gaya hidup yang ujung-ujungnya pastilah penguasaan secara ekonomi adalah monopoli kapitalisme secara buruk yang mengatakan dalam slogan ”kami tidak memonopoli, melainkan memiliki market sharing”.
Seiring dengan itu, posisi untuk berdaulat dalam budaya, mencintai produk sendiri, dan mendapatkan manfaat dari itu menjadi sikap yang keliru. Inilah tragedi nasionalisme yang dimusuhi sebagian penduduk negeri ini, baik secara sadar atau tidak. Baik karena dibayar atau tidak tahu. Sebagai perbandingan lain, tata krama dan tata nilai pada bidang lain telah berlaku tanpa bisa ditawar. Bagaimana untuk menentukan kecantikan seorang gadis, harus diukur dan dibandingkan antara lingkar dada, pinggang, dan pantat.
Bagaimana menentukan warna hijau dalam sebuah film, atau mengisi suara jangkrik dan kokok ayam ditentukan standarnya oleh bank musik––yang semuanya tak dimiliki laboratorium di sini. Kalaupun ada dianggap kurang memenuhi syarat, termasuk kualitas air dalam proses penyucian film. Dengan demikian, film setenar Laskar Pelangi pun bakal tersandung mendung iklim peredaran yang mengharuskan menyediakan sekian banyak copy. Sampai mengatur berapa pohon di hutan kita yang boleh ditebang untuk menjamin keberadaan oksigen dunia.
Tragedi Penyeragaman
Dalam perlawanan untuk dimusnahkan atau diseragamkan dengan tata krama dari luar ini, barang kali keretek menemukan pijakan untuk tidak menyerah kalah dengan mudah. Banyak hal bisa dibantah, dan terutama pengemohan kepada tembakau. Slogan ”hari tanpa tembakau” adalah terlampau berlebihan mengingat tembakau juga bisa untuk kepentingan lain, selain rokok. Bagaimana meramu adonan keretek juga merupakan penyampaian sendiri dengan unsur-unsur yang berlaku di tempat kelahirannya, dan tidak selalu patuh dengan tata nilai lain.
Sebagaimana kita bisa menentukan kecantikan seorang gadis––dalam pemilihan sekalipun, tanpa berpatokan ukuran lingkar yang diharuskan. Ada tata etika, ada kearifan, di mana variasi cantik pun sedemikian besar variannya, mulai cantik, manis, nggegetake, ataupun semlohe. Semua punya makna yang dipahami meraka yang terlibat di dalamnya.
Dan, inilah sesungguhnya kekayaan budaya yang unggul,yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Menjadi nasionalis dan mempertahankan sikap batin untuk mewarisi karya budaya seperti ini bukanlah suatu kesalahan, apalagi dosa. Inilah yang terkikis dalam gempuran apa yang dinamakan globalisasi dan atau modernitas, di mana kemungkinan berbeda ditumpas habis.
Suatu ketika nanti, bisa jadi nasi goreng pun akan diatur bumbu-bumbunya dengan alasan kesehatan, kelayakan, atau pemenuhan standar. Bukan hanya nasi goreng yang beredar di Amerika Serikat––atau mana saja, melainkan bahkan di negeri ini. Dan yang menyalahi atau di luar standar itu dianggap barbar, ilegal, atau ditiadakan. Kita bukan menjadi dikalahkan, tapi dinyatakan salah.
Proses serentak penyeragaman ini yang sebaiknya–– untuk tidak mengatakan seharusnya menjadi bahan permenungan sebelum kita mengemohi budaya sendiri. Atau lebih sadis lagi, menghabisi karena merasa lebih benar. Permenungan bahwa sesungguhnya keberagaman masing-masing negeri adalah keberadaan yang tak bisa dimungkiri dan memiliki akar jauh ke dalam, atau malah bukan dalam rangka meniadakan budaya yang lain, terutama dari sisi ekonomi.
Dalam pergaulan dunia, saling memberi adalah hal yang baik. Namun, tidak dengan meniadakan sama sekali. Sesekali rambut kita dicat pirang, kalau itu membuat girang, tak disalahkan. Akan tetapi kalau mengatakan berambut hitam itu paria, sudra, tak terdidik, lain soalnya. Sesekali atau beberapa kali menggunakan pil biru juga tak apa. Namun, kalau karena itu mengatakan jamu kuat tradisi adalah ilegal, sungguh tak masuk akal.
Memakai jeans dan merasa gagah tak apalah, selama ini tidak menyalahkan kalau memakai sarung itu tanda kampungan dan tidak sopan. Wujud budaya tidak lahir untuk meniadakan wujud yang lain juga tidak memusuhi. Nasi goreng lahir tidak untuk meniadakan atau memusuhi nasi liwet, nasi uduk, atau rendang atau gudeg, atau apa pun. Kita boleh menikmati nasi goreng tanpa merasa bersalah, atau disalahkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar