Nasionalisme
Ekonomi
|
Revrisond Baswir ; Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
|
KOMPAS,
16 Agustus 2012
Nasionalisme ekonomi
Indonesia ternyata sering disalahpahami. Sebagian kalangan cenderung
mereduksinya menjadi persoalan peran negara melawan pasar. Sebagian yang lain
cenderung mereduksinya menjadi persoalan pro dan antiasing.
Padahal, dengan menyimak
penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang asli, dapat diketahui bahwa nasionalisme
ekonomi Indonesia tidak ada hubungannya dengan kategori-kategori sempit
tersebut. Sebagaimana paragraf pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang asli,
nasionalisme ekonomi Indonesia pada dasarnya dibangun dengan komitmen untuk
mewujudkan demokrasi ekonomi atau kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.
Faktor utama yang memicu
terjadinya kesalahpahaman dalam memahami nasionalisme ekonomi Indonesia adalah
terdapatnya kecenderungan untuk mengabaikan keberadaan Pasal 33 Ayat 1, serta
kaitannya dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3.
Sebagaimana dikemukakan oleh
Pasal 33 Ayat 1, perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan. Bung Hatta berulang kali mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Ayat 1 itu ialah koperasi. Artinya, sejalan
dengan komitmen untuk mewujudkan demokrasi ekonomi, nasionalismeekonomi
Indonesia menghendaki agar politik perekonomian Indonesia dibangun dengan memuliakan kolektivisme atau semangat kegotong-royongan.
Jika secara makropolitik
perekonomian Indonesia dibangun dengan dasar kolektivisme, paradigma yang sama
semestinya berlaku pula secara sektoral. Artinya, amanat Pasal 33 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara tadi, tidak dapat secara
semena-mena ditafsirkan sebagai upaya sengaja untuk membenturkan peran negara
melawan pasar.
Negara Menguasai
Menurut Bung Hatta,
penguasaan negara terhadap cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak berarti pemerintah bertindak
selaku pelaksana usaha. Pelaksanaan cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dapat diserahkan kepada
badan-badan lain yang bersifat otonom.
Namun, sejalan dengan dasar
kolektivisme sebagaimana terungkap dalam Pasal 33 Ayat 1, Bung Hatta juga
menambahkan bahwa kepemilikan badan-badan usaha itu sebaik-baiknya berada di
tangan pemerintah.
Dengan diutamakannya
pelaksanaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak bagi badan usaha milik negara (BUMN), tidak berarti bahwa dalam kegiatannya BUMN
sama sekali mengabaikan keadaan pasar. Penetapan upah para pekerja BUMN, misalnya,
tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pengupahan yang berlaku
nasional. Demikian halnya dengan penetapan harga jual barang dan jasanya.
Sejalan dengan komitmen
demokrasi ekonomi dan dasar kolektivisme yang menjiwai ketiga ayat yang
terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut, harga jual barang dan jasa yang
dihasilkan BUMN-BUMN yang melaksanakan cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ini memang tidak ditetapkan
berdasarkan mekanisme pasar, tetapi berdasarkan mekanisme musyawarah dengan
tetap memperhatikan keadaan pasar.
Sejalan dengan itu, dengan
diutamakannya pelaksanaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak bagi BUMN, tidak dapat diartikan pula
bahwa pelaksanaan cabang- cabang produksi tersebut sama sekali tertutup bagi
perusahaan swasta. Perusahaan swasta domestik dan asing tetap dapat berperan
dalam melaksanakan cabang-cabang produksi, tetapi kedudukannya tidak dapat
disetarakan dengan BUMN.
Perusahaan-perusahaan swasta
domestik dan asing dapat berperan sebagai rekanan atau kontraktor dari
BUMN-BUMN yang melaksanakan cabang-cabang produksi yang bersangkutan.
Ruang untuk Swasta
Perlu ditambahkan, di luar
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak itu masih tersedia ruang yang sangat luas bagi perusahaan swasta
untuk bertindak sebagai pelaku utama perekonomian Indonesia. Pada cabang-cabang
produksi yang tidak dikuasai negara, perusahaan-perusahaan swasta domestik dan
asing diperlakukan secara setara dan mereka wajib menjalankan usaha sesuai
dengan mekanisme persaingan yang sehat.
Demikianlah, berdasarkan
penjelasan sebagaimana di atas, dapat disaksikan bahwa nasionalisme ekonomi
Indonesia sama sekali tidak ada hubungannya dengan
etatisme dan chauvinisme. Meminjam ungkapan Bung
Karno, nasionalisme ekonomi Indonesia adalah turunan langsung dari
sosio-nasionalisme. Artinya, nasionalisme ekonomi
Indonesia memang memuliakan kolektivisme dan menentang kapitalisme. Namun,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
33 Ayat 3 UUD 1945, tujuannya
semata-mata untuk memastikan agar bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dirgahayu
Indonesia! ●
namun kenyataannya pembangunan ekonomi indonesia berjalan ditempat krna bangsa ini setiap hari selalu disibukan oleh berita tentang korupsi yg memilukan, smentara sektor2 vital ekonomi bangsa ini pun dikuasai oleh pihak asing
BalasHapusterbukti 80% texstil & farmasi dikuasai asing sedangkan teknologi 92% juga dikuasai pihaka asing
membeli produk indonesia dan membela bangsa indonesia merupakan bntuk perjuanagan kongkrit dalam melawan penjajahan ekonomi, bkn krna lbh baik, lbh mrah tp karena milik diri sendiri
http://beliindonesia.com/